Maaf

1217 Kata
“Lintang!” panggil seseorang yang dari suaranya aku kenal. “Dwi!” panggilku. “Kemarilah! Aku ingin berbicara kepadamu.” Dwi yang bisa berbicara lancar, membuatku terheran melihatnya. Hingga dia memanggilku beberapa kali. Aku menatapnya kembali dan meminta dia untuk mendekat, tapi dia menolak dan terus saja melambaikan tangan memintaku datang. Terpaksa aku pun berjalan menghampiri. “Ada apa?” tanyaku ketika aku sudah berada di sampingnya. “Kamu baik-baik saja, kan. Tidak ada yang mengganggumu di kuburan tadi?” tanya Dwi dengan jelas. “Iya, Alhamdulillah aku baik-baik saja.” “Jangan lupa untuk tidur yang nyenyak, ya,” ucapnya sembari tersenyum dan tertawa. “Kamu benar-benar Dwi, kan?” tanyaku lagi yang heran melihat perubahan Dwi. “Ya, iyalah aku Dwi teman kamu. Masa iya aku ini hantu,” ucapnya pelan yang disertai dengan tertawa yang khas seperti hantu. “Ayo masuk ke rumah. Ini sudah mahgrib, gak baik kita ngobrol di luar rumah,” ajakku yang hanya dijawab diam oleh Dwi. Pandangan Dwi entah menatap apa, yang jelas dia seperti melihat sesuatu. Rasa penasaranku yang cukup tinggi, membuatku mengikuti langkah Dwi dengan mengendap-endap. Tatapan Dwi begitu aneh dan dia dia selalu memberiku isyarat untuk tetap diam dan tak banyak bicara. Tiba-tiba saja dengan sigap dia melompat dan menerkam ayam yang kebetulan berada di dekat sungai. “Akhirnya dapat tangkapan juga,” gerutunya sambil tersenyum. Sesuatu yang benar-benar aneh, dalam waktu semalam saja Dwi bisa berubah total. Tanpa berpamitan Dwi meninggalkanku sendirian di tepi sungai yang tak jauh dari rumah. Segera aku berlari menuju rumah, sebelum Bulik benar-benar akan marah kepadaku. Aku tahu Bulik pastinya akan khawatir tentang keadaanku, itu sebabnya aku tidak berani mengatakan yang sebenarnya tentang kejadian tadi sore kepada beliau, bahkan jika dia memukul dan memarahiku aku hanya bisa diam saja dan menerimanya. Kekhawatiranku pun terbukti, Bulik dengan sapunya di tangan kanan duduk dengan wajahnya yang seakan siap menerkamku. Banyak pertanyaan yang membabi-buta, tapi tetap saja membuatku terbungkam hingga membuat Bulik marah, terlebih ketika melihat baju dan celanaku yang kotor penuh dengan kotoran tanah. “Lintang, bukankah Bulik sudah berpesan agar kamu pulang sebelum Maghrib. Kenapa kamu melanggarnya. Bukannya Bulik melarangmu bermain, Nduk. Tapi, semua ini Bulik lakukan demi keselamatanmu. Apa kamu tidak takut kejadian yang sebelumnya! Di luar sana banyak arwah gentayangan, bahkan banyak dari kalangan siluman dan Jin yang menginginkan nyawamu. Kamu paham kan apa yang Bulik katakan,” terang beliau dengan jelas. Kemarahannya mereda dan dia mengeluh sebentar sebelum akhirnya mengatakan beberapa kebenaran yang lain kepadaku, dan Bulik berharap ke depan aku tidak akan pulang malam hari. Aku pun mengangguk tentang apa pun yang dia katakan hingga beliau berhenti mengomel. Melihat bahwa aku kembali dengan selamat, beliau akhirnya mengangkat kedua tangannya dan menyentuh kepalaku, nada suaranya akhirnya melunak. “Kamu itu. Apa yang harus aku lakukan jika sesuatu terjadi padamu? Bagaimana aku bisa menjelaskan kepada ibumu di akhirat kelak?" Air mata mengalir dan menetes di pipiku, perkataan Bulik telah membuat hatiku terenyuh dan menangis. Mataku sembab dan aku berjalan mendekat memeluk kaki Bulik untuk meminta maaf. Bagaimanapun juga, hanya beliaulah yang aku miliki saat ini. “Bulik, Lintang minta maaf, dan lintang berjanji akan mengikuti perintah dan nasehat Bulik,” ucap Lintang dengan menangis. Bulik merendahkan tubuhnya dan membawa aku ke dalam pelukan dan menenangkan hatiku. “Anak yang baik. Jangan menangis lagi, ya. Bulik lakukan semua ini demi kebaikan kamu kelak.” Segera aku membersihkan badan dan berbaring di tempat tidur ketika malam semakin petang. Di ranjang aku selalu saja memikirkan tentang Dwi, ya tatapan Dwi tatapan begitu serius. Pria berambut ikal itu benar-benar aneh, biasanya dia hanya bisa memanggil namaku, tapi kali ini dia beda sekali, layaknya pria normal yang tidak memiliki masalah. Semenjak keluar dari kuburan, Dwi bukan lah Dwi yang aku kenal seperti dulu. Aku berguling dan menatap kosong ke jendela yang gelap, perkebunan karet yang berada di samping rumahku terlihat begitu terang. Banyak lampu berkelap-kelip dari beberapa penyadap karet yang menggunakan senter di kepalanya. Rumahku, berada di tempat yang paling ujung, berbatasan dengan perkebunan karet milik PTPN Semarang. Malam ini ada yang aneh gelisah telah bersarang di hatiku, ketika mendengar anjing menggonggong milik tetangga. Tentu saja satu gonggongan anjing akan menyebabkan semua anjing di desa ikut menggonggong. Katanya anjing adalah binatang yang peka jika ada hantu atau pun makhluk lainnya yang ia lihat. Di tengah gonggongan anjing yang bersahut-sahutan, rasa kantuk melanda. Sejenak aku memejamkan mata dan selang beberapa menit kemudian, aku merasakan sesuatu yang dingin menyentuh tanganku. Namun, aku tak mampu untuk melihatnya karena kantuk ini benar-benar tak sanggup aku kendalikan. Dalam keadaan setengah sadar rasanya seperti ada yang tengah memelukku. Apakah ini mimpi? Aku berbalik, mataku sedikit terbuka dan hanya cahaya rembulan yang menerangi kamarku. Bukan mimpi! Lalu, siapa yang sedang di hadapanku. Aku pun meningkatkan kewaspadaan, merasa ada sosok lain di hadapanku. Haruskah aku membuka penutup mata ini! Ah, aku bimbang. Setiap aku tidur, jimat penutup mata yang diberikan oleh Wentira selalu aku gunakan, karena setiap kali aku tengah berbaring rambutku tidak sengaja aku gerai. “Siapa kamu? Aku yakin ada yang lain lagi di sini?” ucapku bertanya. Semakin malam, cuaca semakin dingin. Ada sesuatu yang seakan menyentuh pipi dan rambutku. “Pergi jangan ganggu aku!” teriakku sekali lagi. Bukannya berhenti kini justru ada yang meniup angin di telingaku. Sontak aku pun panik, jantungku berdebar semakin kencang dan di dadaku seperti ada genderang yang sedang dimainkan. Apalagi suara tertawa lirih terdengar begitu jelas, hingga membuat tanganku semakin gemetar. Dalam keadaan takut dan bingung, tiba-tiba saja ada seseorang yang meniup penutup mataku, dan perlahan penutup itu menjauh dari mata meski kembali lagi. Aku pun segera memejamkan mata dengan keras, kemudian aku mendengar suara tawa seorang pria yang akrab. “Sayang, ini aku." Suara seorang pria memanggilku dengan begitu mesranya. Beberapa kali sosok itu meniup telinga kanan yang membuatku terpaksa menjerit ketakutan. Namun, jeritan itu terhenti ketika ada sebuah angin yang tiba-tiba seakan membungkam mulutku. “Bukalah matamu, ini aku suamimu,” ucapnya lirih “Ini Kakak. Kak Mahesa?” tanyaku sebelum aku membuka mata. “Siapa lagi suami kamu kalau bukan aku! Soca Ludira.” Aku menarik napas dalam-dalam dan membuka mata secara perlahan, tapi tidak ada apa-apa di hadapanku. Aku menggerakkan tubuhku yang kaku karena otot yang tegang, perlahan aku membalikkan tubuhku kembali dan tidak menemukan apa pun di sana. “Kakak di mana?” tanyaku bingung. “Bukalah penutup mata kamu, jika ingin melihat keberadaanku,” jawabnya singkat. Dengan tangan yang bergetar aku mencoba membuka penutup mata. Samar terlihat bayangan wajahnya yang sedang tersenyum menatapku sembari berbaring miring dengan tangan kanannya menopang di kepala dan menatapku dengan senyuman yang mendalam. Sejenak aku kaget melihatnya, bagaimana dia bisa masuk ke dalam rumah, sedangkan Bulik sudah memasang jimat bahkan halaman rumah ini telah diberi pagar ghaib, agar mereka tidak bisa masuk. Bagaimana bisa dia tiba-tiba muncul di hadapanku. Tentu saja rasa takut itu ada, tapi bagaimana caranya aku bisa menolak semua ini. Jujur aku takut jika saja dia akan berbuat yang macam-macam padaku. Meskipun dia suamiku, tapi aku masih kecil dan belum saatnya untuk melakukan hal yang tidak-tidak dengannya. Andai saja aku tidak mendapatkan kutukan itu, aku tak perlu repot-repot menikah dengan hantu. "Kenapa? Tapi suamimu ini hantu yang tampan loh. Lihatlah, wajahku tampak muda meskipun aku sudah hidup bertahun-tahun, bahkan sudah beribu-ribu tahun lamanya!" jawabnya dengan tersenyum lebar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN