Bab 7

1075 Kata
Devina dan Hadinata? Sedang apa mereka? Rasa penasaran ini semakin menjadi. Jangan-jangan selama ini mereka berdua bersekongkol dan ada dibalik semua kejadian ini. Ertiga yang dikendarai mereka perlahan melaju. Tanpa komando kaki ini mulai menginjak gas dan mengikutinya. Sudah seperti detektif saja kali ini. Semoga aku bisa mendapatkan petunjuk dari pengintaianku kali ini. Ah, sial! Mobil yang mereka tumpangi berputar arah di bundaran depan. Apakah mereka tahu jika kuikuti? Padahal jarak mobilku dengan mereka cukup aman harusnya. Aku berpikir sejenak, kebetulan arus jalan melambat karena bundaran itu cukup padat. Ikutin? Enggak? Ikutin? Enggak? Perang batin kali ini terjadi. Namun reflek tangan dan kaki lebih mendominasi. Mobilku mengikuti mereka berputar arah dan berbaur kembali dengan kemacetan yang terjadi. Safira ... apa salahku, Dek? Lampu merah ternyata. Aku menghentikan mobil, menunggu lampunya berubah kembali menjadi hijau. Sambil menunggu lampu lalu lintas berubah kembali, beberapa pertanyaan memutar-mutar di kepala. Tidak ada jawaban. Karena aku tidak mengerti apa sebenarnya permasalahan istriku. “Dek, mas mau gowes dulu, ya!” Masih teringat jelas mimik wajahnya minggu lalu. Dia tidak menyahuti kalimatku. Hanya sebuah deheman sambil berlalu menuju dapur. “Dek, mau aku bawain apa pulang nanti?” tanyaku lagi waktu itu sambil mencantolkan botol minum pada sepedaku. Sepeda yang selalu menemaniku bersantai setiap weekend. “Gak usah,” lirihnya tanpa menoleh ke arahku. Safira berlalu ke dapur. Rambutnya masih kusut dan masih mengenakan daster rumahan kala itu. Aku tidak berpikiran kalau dia ada masalah. Hingga akhirnya hari-hariku hanya didiamkannya. Safira masih menyiapkan keperluanku seperti biasa. Hanya memang akhir-akhir ini sudah sangat irit bicara. Dia tidak lagi pernah merengek minta jalan-jalan menjelang weekend. Gak pernah lagi merajuk kalau aku pulang malam. Dia lebih banyak mendiamkanku dan kadar kecerewetannya berkurang. Namun dia tidak pernah berbicara ingin apa sebenarnya? Dia menjadi sosok yang lebih misterius dari biasanya. Kukira semua itu akan segera berakhir. Namun kini dia memberikan kejutan diluar dugaanku. Istriku menghilang. Entah ke mana dia, Ya Tuhaaan! Tin Tin Tin! Suara klakson mobil bersahutan. Ternyata aku masih terdiam sementara lampu sudah berubah menjadi hijau. Segera kuinjak gas dan melaju ke depan. Astaga, di mana mobil Hadinata yang sedang kuikuti? Aku kehilangan jejak. Kusugar rambutku kasar. Aku benar-benar apes hari ini. Kamvret memang ini otak. Sudah susah payah ikut muter arah, kini berakhir sia-sia. Kenapa juga, sih aku harus ngelamun di saat yang penting seperti ini. Akhirnya aku hanya berjalan menikmati kemacetan. Mengikuti arus kendaraan menuju bundaran yang masih jauh berada di depan. Semoga lain kali aku bisa mengorek informasi tentang semua teka-teki ini. Namun mulai besok, aku harus sudah mulai mengawasi gerak-gerik Hadinata dan Devina. Kini penyebar foto itu mungkin salah satu di antara mereka. Di kantor tidak semua orang yang memiliki nomor Safira. Hanya Edo, Devina dan staff resepsionis yang pernah aku mintakan tolong untuk menelpon istriku kala itu. Aku harus segera pulang. Jangan sampai besok kembali kesiangan dan tampak semrawut di depan Pak Prakasa. Bisa makin hancur reputasiku. Nanti malam semoga dapat ide cemerlang mengenai alasan gagalnya kerja sama dengan gemintang grup. Memakan waktu cukup lama untukku tiba di rumah. Semua ini tidak lain karena ulah mobil Hadinata yang menghilang, waktuku jadi terbuang sia-sia. Segera kubuka gerbang rumah dan memarkirkan mobilku di garasi. Kututup pintu gerbang. Ah, malas sekali mau masuk ke dalam rumah. Sepi seperti di kuburan. Aku melangkah setelah pintu terbuka. Kulempar sepatu dan kaos kaki sembarang. Eh, tunggu, aku segera memungutnya kembali dan menyimpan sepatu pada rak yang ada di depan pintu. Kubawa kaos kaki ke dapur dan di simpan pada bak cucian dekat mesin cuci. Besok aku tidak boleh kacau lagi. Atau karirku yang sedang menanjak bisa-bisa terjun bebas karena keteledoranku. Perut terasa melilit, sakit. Aku lupa sejak pagi tadi kekacauan terjadi aku hanya minum kopi dan merokok. Magku mungkin kambuh. Aku pergi ke dapur, tapi, ya memang sepi. Tidak ada Safira berarti tidak ada makanan juga. Duhh, ini perut tidak bisa diajak kompromi. Segera kubuka gawai dan kupesan makanan. Beruntung di zaman canggih ini semua bisa serba praktis selama ada uang. Sedikit tertolong walau di rumah tidak ada siapa-siapa. Bergegas aku ke kamar atas. Kali ini sudah tidak sepanik kemarin. Aku masih berharap mereka berdua baik-baik saja. Tidak mungkin juga kan kalau istriku diculik? Pasti dia hanya lagi ngambek sesaat, semoga segera pulang. Namun yang kuragukan hanya satu. Safira itu wanita yang sudah terbiasa mandiri. Aku yakin, dia bisa hidup tanpa aku. Berharap dia bergantung dan memohon sepertinya tidak mungkin. Aku yang harus berusaha keras mencari keberadaannya. Bergegas kumenyimpan tas kerjaku. Mengambil handuk dan menyalakan water heater. Otakku terasa memanas hari ini, baiknya kusiram dengan air hangat biar kadar kepanasannya berkurang. Males juga malem-malem mandi air dingin. Beruntung aku memesan makanan sejak tadi. Ternyata antrinya cukup lama. Bahkan ketikaku selesai mandi, pengemudi ojek online itu belum juga tiba. Tepat setelah kaos santai kukenakan, bell terdengar berbunyi. Gegas kuayun langkah ke depan. Dalam applikasi sudah menunjukkan jika pesanan makananku sudah sampai. Benar saja, pengemudi ojolnya seorang pria paruh baya. Ah, sudah sepantaran papa. Dia masih bekerja hingga selarut ini. “Makasih, Pak! Sudah malem masih narik?” sapaku sambil menerima kantong plastik dari tangannya. “Sama-sama, Mas! Bagaimana lagi, demi anak istri,” ucapnya. “Memang kalau malem masih suka ada yang order?” tanyaku sambil menatapnya yang hendak menyalakan lagi sepeda motornya. “Ada, Mas! Satu dua juga lumayan! Yang penting pulang aman, bisa bawa setoran buat makan dan iuran sekolah anak,” ucapnya sambil tersenyum. “Ah, sebentar, Pak!” Aku menahannya. Kuambil dompet dari saku celana. Ada beberapa lembar uang di sana. “Iya, Mas … ada apa?” tanyanya sambil menoleh. “Ini untuk bantu iuran anak sekolah, Bapak!” Aku mengulurkan beberapa lembar pecahan lima puluh ribuan. “Makasih, Mas! Semoga Allah membalasnya dengan rejeki yang berlipat ganda dan dimudahkan urusannya!” ucapnya dengan netra berkaca-kaca. Aku mengangguk dan segera masuk kembali ke dalam rumah. Aku membuka menu yang kupesan. Nasi goreng seafood kesukaan Safira. Aku memandangnya. Baru saja dua hari dengan sekarang, kenapa aku sudah begitu rindu dengannya. Selera makanku mendadak menguap begitu saja. Kumengaduk-aduk nasi itu sambil berselancar di sosial media. Salah satu media yang kulupakan untuk mencari keberadaannya. Tunggu, ada notif Safira aktif beberapa menit yang lalu dan membuat status. [Jika kau memilih untuk hidup dengan caramu. Jangan salahkan aku jika aku pun bisa hidup dengan caraku.] DEG Ada sesuatu yang terasa membentur. Apakah kalimat itu sindiran untukku? Kenapa dia sempat mengupdate status tapi sama sekali tidak mengangkat panggilan teleponku? Bahkan chatku pun hanya berubah menjadi centang biru.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN