Bab 6

839 Kata
"Semoga itu kamu, Sayang!” Aku memijit klakson berulang-ulang. Namun tidak ada satu pun yang keluar untuk membukakan gerbang. Akhirnya aku turun dan memijit bell pada pintu gerbang itu. Masih sepi juga. Tidak mungkin rumah ini kosong, tadi saja aku lihat ada anak kecil masuk ke dalam. Aku mengucap salam dengan suara keras, berulang-ulang. Menunggu beberapa lama tapi tidak ada juga sahutan. Akhirnya segera kuambil gawai dan memanggil nomor Dika. Tapi nomor selalu diluar jangkauan. Aku tak akan menyerah. Sepertinya memang Safira ada di sini. Lalu Dika menyembunyikannya agar aku tidak menemukannya. Sialan memang tuh adik ipar yang satu ini. Nanti biar kusuruh orang culik istrinya biar dia ngerti seperti apa paniknya. Aku mengacak rambut kesal. Duduk di depan gerbang sambil memikirkan cara agar bisa masuk ke dalam. Tidak mungkin juga kalau aku harus manjat pagar, yang ada nanti aku disangka maling. Sepertinya satu-satunya orang yang bisa kuhubungi sekarang hanyalah mama mertuaku. Aku mengambil gawai dan menghubunginya. Hendak kucari tahu keberadaan Dika. Beruntung baru satu kali memanggil juga langsung diangkatnya. “Hallo, assalamualaikum, Bu!” sapaku. “Wa’alaikumsalam! Irfan apa kabar? Gimana kabar Saskia sama Fira, Fan?” Terdengar suara antusias dari seberang sana. Aku menarik napas kasar. Lagi-lagi dari pertanyaannya saja sudah menyiratkan jika anak istriku tidak ada di sana. “Alhamdulilah kabar kami baik, Bu. Ibu sama Bapak gimana, sehat?” sapaku berbasa-basi. “Alhamdulilah kami sehat. Rencananya minggu depan mau berkunjung ke rumah kalian! Safira selalu saja bilang kamu sibuk! Oh iya, selamat, ya akhirnya mantu Ibu sudah jadi manager!” ucapnya penuh getar kebahagiaan. “Makasih, Bu!” jawabku. “Oh iya, ibu mau ngomong sama Safira bisa? Ibu teleponin nomornya gak diangkat terus, tadi malah gak aktif!” gerutunya membuat hatiku semakin mecelos. Ke mana sebenarnya istriku pergi? “Emhh, Irfan masih di tempat kerja, Bu! Sepertinya pulang malam. Nanti Irfan sampaikan pada Safira kalau ibu mencarinya.” Akhirnya aku berbohong. Tidak ada pilihan atau ibu mertuaku akan ribut karena khawatir pada putri kesayangannya. “Oalaahhh … iya ibu lupa … kalau jadi manager pasti sibuk. Alhamdulilah akhirnya mantu ibu jadi manager juga! Ya udah kalau gitu pasti kamu lagi sibuk,” ucap Ibu mertuaku. “Alhamdulilah, Bu! Oh iya, Bu … hmm … kalau Dika sering hubungi ibu, gak?” tanyaku memulai penyelidikan. “Jarang sih, Fan! Tapi tadi sore katanya mau jalan-jalan ke jogja naik flight malam! Ibu WA juga udah gak aktif nomornya. Mungkin dalam pesawat!” jelas ibu mertuaku. “Sedang ke jogja? Tapi di rumahnya tadi seperti ada orang?” tanyaku. “Lho bukannya kamu di kantor? Kok tahu di rumahnya Dika ada orang?” Pertanyaan sang ibu mertua membuatku sedikit kebingungan. “Oh, enggak … hmmm … maksudku … itu kalau pergi ke jogja di rumahnya ada orang yang jaga enggak?” Aku sebisa mungkin meralat perkataanku yang tadi. Semoga dia tidak curiga. “Oh kalau itu sih, ibu kurang tahu, Fan! Mungkin yang biasa bantu-bantu di rumahnya kali!” jawabnya lagi. “Iya, Bu! Kalau gitu Irfan tutup dulu ya, mau menyelesaikan pekerjaan! Assalamuálaikum!” Aku berpamitan pada wanita itu. “Waálaikumsalam!” jawabnya seraya menutup panggilan. Aku masih terduduk di depan rumah Dika. Kugulir layar dan kembali mencoba menghubungi nomor Safira. Tidak aktif. Dugaanku kali ini menguat, Dika pasti mengetahui sesuatu. Aku berdiri, kutatap pintu rumah Dika. Berharap anak kecil itu keluar lagi. Namun tidak ada. Aku masih berusaha memijit kembali bell. Berharap orang yang ada di dalam sana bersedia membukakannya untukku. Syukur-syukur itu Safira. Namun nihil, usahaku sia-sia. Aku menyalakan mobil kembali. Tujuanku pulang ke rumah kali ini. Aku harus istirahat agar besok ketika bertemu bos besar aku tidak seberantakan hari ini. Semoga nanti malam nomor Safira aktif dan bisa kuhubungi. Perlahan fortunerku keluar dari perumahan ini. Menuju jalan raya dan memutar menuju arah rumahku untuk pulang. Untuk agenda besok, aku belum sempat memberikan kabar pada Devina terkait ajakan meeting bos besar ini. Mumpung ingat, aku menepikan mobilku. Segera kusuap gawai dan mengiriminya pesan. [Dev, besok bos besar mengajak meeting. Nanti pagi-pagi siapkan beberapa dokumen penting terkait project yang sudah kita berhasil dealing. Untuk alasan Pak Marfet biar nanti saya yang utarakan pada Bos, ya!] Centang dua hitam. Belum dibaca dan juga belum ada balasan. Tidak apa, seenggaknya besok pagi dia baca. Mungkin anak itu sudah tidur atau sedang tidak memgang ponselnya. Baru saja aku menyalakan kembali mesin mobil. Kedua netraku menangkap sosok yang familiar. Itu Devina yang tampak turun dari angkutan umum. Tampak dia merapikan rambutnya kemudian berlari kecil pada mobil yang terparkir tidak jauh dari sana. Hadinata, ya itu mobil milik lelaki itu. Apakah mereka ada hubungan khusus? Kalau tidak ada hubungan, untuk apa juga mereka berdua berkencan. Aku ambil foto plat nomor mobilnya, takut-takut aku salah. Besok di kantor akan kucocokan. Seingatku mobil ertiga itu memang milik Hadinata---orang yang kukalahkan dalam perebutan kursi manager beberapa waktu lalu. “Devina dan Hadinata? Apakah mereka?” Ah, sudahlah. Semenjak kehilangan Safira aku menjadi terlalu banyak berprasangka. Bahkan aku masih merasa bersalah pada Edo yang kukira dia adalah biang kerok yang menyebarkan foto-fotoku malam itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN