Terjebak Di Lift

1503 Kata
Pesanan 100 boks untuk makan siang. Renisha bersama kedua karyawannya yang mengantarkan pesanan itu ke lokasi gedung perkantoran, tepatnya di lantai sepuluh. Pemesan catering ini dulunya teman Renisha ketika SMA, tetapi hubungan mereka tak terlalu dekat, hanya sekadar pernah satu kelas. Namanya Derian. Sebelum ini, Derian juga sudah pernah makan catering di tempatnya, di cabang yang satunya. Mungkin karena itulah Derian merekomendasikan catering milik Renisha ke kantornya. Tiba-tiba Renisha merasa beruntung pernah mengenal Derian. Dentingan lift menandakan pintu terbuka. Renisha melangkah keluar, diikuti kedua karyawannya. Renisha datang tepat waktu karena jam makan siang baru akan dimulai lima menit lagi. Dengan senyum lebar Renisha meletakkan boks-boks itu saat Derian muncul dari salah satu kubikel dan menghampirinya. Renisha sengaja membawakan boks yang terbuat dari plastik dan atasnya dari mika, sehingga lebih ringkas dan isi menunya bisa terlihat. "Taruh di sana saja. Nanti biar pada ambil sendiri." Derian menunjuk sebuah meja besar yang ada di sudut ruangan, dekat dengan sebuah dispenser. Dengan sigap Derian membantu Renisha membawakan boks-boks itu. Ia tersenyum tipis. "Ayo." "Aku bisa bawa sendiri kok, enggak usah dibantu," tolak Renisha halus. Derian tersenyum lagi. "Apa sih, kayak sama siapa aja." kemudian mendahului Renisha, mengambil boks-boks itu dan menatanya ke atas meja dengan rapi. "Wah. Menu hari ini ayam panggang. Aku suka banget sama ayam panggang yang waktu itu. Bumbu kacangnya meresap banget. Apalagi sambelnya nggak terlalu pedas tapi nggak terlalu manis juga. Pas. Kentang goreng krispinya juga masih kriuk-kriuk. Nasinya pulen banget pula. Duh, jadi nggak sabar buat makan." Mata Derian berbinar-binar saat bercerita, membuat Renisha terkekeh kecil. Cowok itu memang pintar sekali memuji. Atau aslinya memang playboy yang sudah terbiasa mendapatkan wanita manapun dengan rayuan gombalnya? Derian juga punya wajah lumayan tampan, dengan tubuh proporsional dan tinggi. Senyumnya begitu manis seperti gulali. Seseorang tiba-tiba berdeham dan meninju lengan atas Derian main-main. Seringai lebarnya terlukis menggoda. "Pepet terus sampai dapat. Ati-ati ditikung sama temen sekantor sendiri. Cantik soalnya." "Sialan. Pergi nggak lo?" balas Derian kesal. Mereka tampak berdebat sejenak dan berakhir dengan tawa teman Derian. Teman Derian menghampiri Renisha dan mengulurkan tangan. "Kenalin. Aku Rudy, temannya si kunyuk Deri." Renisha membalas uluran tangan itu ramah. "Renisha." "Jangan lama-lama!" Derian langsung menyentak tangan Rudy agar terlepas. "Ah, possesif nih, nggak seru!" balas Rudy sebelum kemudian mengambil boks di atas meja dan bergabung dengan teman-temannya yang lain. Derian menatap Renisha penuh permintaan maaf. "Sorry. Temenku tadi emang agak gila, jadi gitu deh. Jangan didengerin omongan nggak masuk akalnya." "Nggak apa-apa kok," balas Renisha kalem. "Aku balik duluan ya. Pasti udah ditunggu sama karyawan-karyawanku di bawah." Derian mengangguk. Raut wajahnya tampak agak kecewa. "Ah, padahal aku pengin ngajakin kamu makan siang bareng di bawah." "Sorry," Renisha mengusap lengan atas Derian sebagai bentuk permintaan maaf. "Aku masih ada urusan lagi abis ini soalnya." "Oke, mungkin lain kali?" balas Derian. Ia menatap Renisha tepat di mata. "Nanti malam, kamu ada acara nggak?" Renisha paham sekali jika Derian sedang mencoba untuk mendekatinya. Namun, Renisha masih tidak ingin menjalin hubungan dengan siapapun. Ia ingin fokus membesarkan bisnisnya hingga bisa membeli tanah dan rumah sendiri. Bermain-main dengan Derian hanya akan membuang waktu Renisha yang berharga. "Nanti malam aku ada acara. Maaf, ya?" balas Renisha manis. Derian menggaruk tengkuknya salah tingkah. "Oh yaudah. Mau aku anterin sampai bawah?" "Aku bisa sendiri," tolak Renisha halus. Ia tersenyum dan melirik teman sekantor Derian yang curi-curi pandang ke arah mereka. "Mending kamu gabung sama teman-temanmu. Udah ditungguin tuh." "Hmm," Derian mengangguk sambil melambaikan tangan. "Hati-hati di jalan, Renisha." "Oke, selamat makan," Renisha balas melambaikan tangan dan bergerak menuju lift. Setelah memencet tombol dan pintu lift terbuka, Renisha terkejut saat menemukan Aksa di dalam sana, memakai setelan jas lengkap, tampak begitu gagah dan menggoda. Berkali-kali berpapasan dengan Renisha secara tidak sengaja, tetap saja tidak membuat Aksa terbiasa dan memasang wajah horornya yang biasa. Di lift itu hanya ada Aksa seorang, berdiri canggung seolah akan melarikan diri. Kemudian, tanpa membuang waktu, Renisha ikut masuk dan menutup lift cepat sebelum Aksa kabur. Memangnya, kapan lagi bisa berada di satu tempat yang sama, dan hanya berduaan saja dengan Aksa? Cowok itu tidak akan bisa seenaknya seperti kemarin. Aksa refleks mengambil tempat terjauh dari Renisha. Dan Renisha malah tergoda untuk semakin merapatkan diri pada Aksa. Mereka masih punya waktu sampai lift sampai di lantai paling bawah. "Bukannya aku udah bilang kalau radar kita saling terhubung?" kata Renisha ringan. Ia memutuskan untuk mengenal Aksa lebih dekat lagi, jadi, Renisha menanggalkan semua sikap formalnya pada Aksa. "Jangan nuduh aku ngestalk di mana kantormu. Aku tadi abis nganter pesanan catering di lantai sepuluh." Aksa tidak menjawab dan malahan semakin merapat ke dinding lift. Ia bahkan mengalihkan wajah dan menganggap Renisha seolah tak ada, membuat Renisha kesal bukan main. Kalau Renisha memutuskan untuk menerkam Aksa di sini, memangnya Aksa bisa apa? Berteriak? Atau menggedor pintu lift dan berharap ada seseorang yang akan menolongnya? Wah, kenapa Renisha merasa seperti psikopat gila yang akan menggigit mangsanya yang tidak berdaya? Renisha mengambil napas dalam-dalam. Menghadapi seorang Aksa itu sulit, jadi, tidak mungkin Renisha berani menyentuhnya walau hanya seujung kuku. Ia kemudian bergeser ke sisi terjauh dari Aksa. Merapat ke dinding. "Pak Aksa tenang aja. Aku nggak bakal ngapa-ngapain kok. Aku bukan cewek bar-bar." Kemudian, seolah semesta sedang berkonspirasi membuat adegan ala-ala sinetron, lift tiba-tiba mati dan berhenti bergerak, menjebak keduanya dalam takdir romantis sekaligus mengerikan. Renisha melirik Aksa yang wajahnya berubah pucat pasi. Dahinya bahkan sudah basah karena keringat. Aksa melonggarkan dasi yang mencekik leher, kemudian merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel. Jari-jari besar, panjang dan lentik itu tampak sedikit bergetar saat menekan tombol. Kening Renisha berkerut dalam. Sebenarnya, Aksa lebih takut yang mana? Terjebak di lift mati atau bertemu dengan Renisha? Well, tentu saja pilihan ketiga. Terjebak di lift mati bersama Renisha. Sebuah combo yang luar biasa hingga membuat Aksa mengeluarkan keringat dingin dan gemetaran. Diam-diam, reaksi Aksa membuat Renisha ingin menjerit frustrasi. Renisha salah apa, Tuhan? "Kenapa liftnya bisa mati?" Aksa berujar dengan nada marah pada seseorang dibalik telepon. "Apa? Sepuluh menit? Tidak! Lima menit atau kamu saya pecat!" Aksa kemudian menutup telepon dan memijat ujung hidungnya frustrasi. Wah, ternyata Aksa tipe atasan yang arogan, ya? Sudah Renisha duga. Jika ini adalah cara takdir agar Renisha bisa bicara dengan Aksa tanpa adegan kabur, maka Renisha akan memanfaatkannya dengan baik. Renisha mengikuti Aksa yang duduk sambil bersandar dan menselonjorkan kaki. "Jadi? Kita punya waktu sepuluh menit, ya?" kata Renisha, memecah hening. Ia melirik Aksa yang sudah membuka jasnya karena berkeringat. "Kamu... mau cerita? Kenapa kamu kelihatan takut dan benci banget sama aku? Seingatku, kita baik-baik aja pas kecil. Enggak ada kenangan buruk." Aksa mengalihkan tatapan ke tembok lift. Rahangnya tampak mengetat. Dadanya bergerak naik turun. "Kamu... kayak monster," kata Aksa, nadanya tercekat. "Gimana bisa kamu bilang baik-baik saja padahal aku menderita?" Renisha seolah bisa melihat Aksa kecil berusia dua belas tahun yang duduk meringkuk di sudut kelas dengan tatapan ketakutan. Renisha tidak tahu kenapa dulu Aksa sering dibully oleh teman-teman sekelasnya. Apa hanya karena nama Raden Mas yang tersemat di depan nama Aksa? Atau ada alasan lain? Semenjak Renisha menawarkan pertemanan dan sering mengikuti Aksa, mereka berteman sungguhan, melewati jam istirahat berdua. Sepulang sekolah, Aksa kadang tidak ikut Sashi pulang dan memilih bermain dengan Renisha. Mereka saling bertukar tawa, bahkan makan es krim dalam satu wadah yang sama. Sebenarnya, bagian mana yang membuat Aksa menderita? "Kalau kamu nggak bilang bagian mana dari sikapku yang nyinggung kamu, aku nggak bakalan tahu, Aksara." Renisha berujar dengan nada rendah. "Aku minta maaf kalau sikapku di masa lalu bikin kamu menderita. Waktu itu aku masih terlalu kecil untuk tahu mana yang benar dan salah." ia mengambil napas dalam. "Kita udah sama-sama dewasa sekarang, bukan anak kecil lagi. Radar kita saling terhubung pasti ada alasannya. Kamu... nggak akan menghindari aku terus kan?" Aksa hanya terdiam, seolah sibuk dengan pikirannya sendiri. Pelan-pelan, Renisha bergeser untuk mendekat ke arah Aksa, tetapi masih menyisakan jarak. "Gimana kalau kita mulai lagi dari awal? Perkenalan dulu, mungkin?" Renisha tersenyum manis dan mengulurkan tangannya. "Namaku Renisha Ayuningtyas. Usia 29 tahun. Punya usaha catering yang semoga makin sukses dan terkenal kedepannya." Renisha terkekeh kecil karena ucapannya sendiri. "Singkirin tangan kamu. Aku bukan anak kecil yang perlu dirayu," balas Aksa dingin. Tidak menoleh sama sekali. "Aku sedang berusaha, jadi, beri aku waktu. Tolong menyingkir saja jika melihatku." Tepat saat itu, pintu lift terbuka dan Aksa segera bangkit sambil membawa jasnya, meninggalkan Renisha yang sebelah tangannya masih terulur. Ditatapnya punggung Aksa yang perlahan menjauh. Renisha tidak tahan untuk mengumpat. Sialan. Sialan memang si Ramas Aksa itu! Harus bagaimana lagi cara Renisha membuat cowok itu luluh dan menerimanya? Dan kenapa pula Renisha harus repot-repot untuk melakukannya? Baiklah. Renisha akan berhenti jika itu yang diinginkan Aksa. Ia akan menghindar lagi seperti dulu jika berpapasan dengan Aksa. Persetan dengan nilai mata kuliah yang diampu Aksa. Toh, Pak Surya juga akan kembali mengajar saat sudah sembuh, jadi, harusnya ia tak perlu khawatir lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN