Ditolak Untuk Kesekian Kalinya.

1538 Kata
Oke, Renisha. Tarik napas dalam-dalam. Embuskan. Kamu hanya akan bertemu Sashi dan bukannya calon mertua atau apapun itu. Jadi enggak usah gugup, oke? Toh, kamu nggak suka sama Aksa, jadi, nggak perlu jaga image supaya keliatan baik dan cerdas. Ini bukan penilaian Miss Universe. Sashi juga akan membahas bisnis alih-alih hanya berkutat soal Aksa. Jadi Renisha membawa berkas yang sudah ia susun mengenai konsep dunia dongeng Disney untuk toko cokelat barunya. Meski Renisha tahu jika putri-putri itu memang sudah terlahir kaya dan berdarah bangsawan, tetapi tetap saja, dongeng itu membawa harapan untuk anak-anak. Jika mereka tidak bisa mendapatkan kehidupan layaknya seorang putri, maka mereka bisa membaca atau menontonnya. Lewat toko cokelat ini, Renisha berharap jika ia bisa mewujudkan fantasi anak-anak lewat visual sekaligus menikmati rasa cokelat yang manis. Renisha mengetuk-ngetuk jarinya ke atas meja, masih menunggu. Hingga bunyi lonceng dari atas pintu masuk membuat atensinya teralih. Sashi melangkah anggun menggunakan dress bunga-bunga selutut. Cewek itu memang sedikit lebih berisi setelah melahirkan, tetapi tidak tampak aneh dan malah terlihat seksi. Wah, Renisha jadi iri. Terkadang memang ada beberapa orang yang akan tetap terlihat berkelas meski tanpa usaha keras. "Udah lama nunggu?" Sapa Sashi ramah, kemudian duduk di kursi depan Renisha. "Nggak kok. Aku juga baru datang," balas Renisha ramah. "Mau pesen apa? Sekalian biar aku yang pesan ke kasir." "Es krim stoberi aja." "Topingnya?" "Apa aja asal jangan kacang," jawab Sashi ringan. Renisha mengangguk dan melangkah menuju meja kasir. Hari ini Ghea tidak ada di kedai, jadi, Renisha tidak bisa minta diskonan. Iya, otak Renisha memang selicik itu. Padahal ia juga pengusaha dan tidak menerima pesanan dengan harga teman. Namun, dengan Ghea, rasanya kurang afdol kalau belum bersikap licik. Setelah memesan es krim dan beberapa camilan, Renisha kembali lagi ke tempatnya. Sashi tampak sibuk memainkan ponsel. Renisha jadi canggung sendiri mau berbuat apa. "Jadi konsep toko cokelat yang mau kamu bikin itu kayak apa?" tanya Sashi akhirnya, sambil meletakkan ponsel ke atas meja. Renisha tersenyum dan menggeser berkas yang tadi ia siapkan. "Semacam kastel di dongeng anak-anak. Nanti desain dinding tokonya bakal kupasangin full stiker. Jadi pas masuk, kita kayak lagi ada di dalam kastil, di negeri dongeng. Backgroundnya enggak bakal warna-warna ngejreng kayak pink dan biru. Tapi lebih ke warna pastel, vintage, caramel, cokelat s**u. Jadi orang-orang dewasa yang pengin nostalgia masa kanak-kanaknya juga bisa datang dan ngerasa nyaman." Sashi menaikkan pandangan dan menatap Renisha tepat di mata. "Kamu kedengaran kayak lagi mau buka wahana wisata dan bukannya toko cokelat," kata Sashi, nadanya sedatar triplek. "Masalah menu, udah kamu pikirin? Apa semuanya harus berbahan dasar full cokelat? Apa yang makan nggak bosen?" Renisha meringis. "Menunya masih aku pikirin. Aku juga lagi nyoba-nyoba bikin resep cokelat baru. Yang pasti nanti menunya bakal bervariasi, nggak full cokelat. Bisa dipaduin sama scrumble, kacang almond, buah-buahan, vanilla, cinnamon, sampai kue-kuean. Aku juga ada rencana bikin dessert box gitu." "Kamu yakin bisa selesain semuanya sendiri?" tanya Sashi sangsi. "Mulai dari resep, desain, tempat, peralatan, bahan, sampai perekrutan pegawai dan manajemen toko, kamu bisa sendiri?" "Aku buka usaha catering juga semuanya kuurus sendiri," balas Renisha, lagi-lagi meringis. "Ya, walaupun untuk masalah resep masakan dan bikin pesanan aku juga dibantuin sama Ibuku. Untuk sekarang, aku udah rekrut manajer ditiap cabang supaya lebih gampang mantaunya." Senyum Sashi terlukis. "Kamu mandiri banget, bisa urus semuanya sendiri. Kalo aku, nggak bakat sama sekali di bidang bisnis. Tahunya cuma ngajar anak-anak SD." "Ah, jadi kamu guru?" tanya Renisha, agak terkejut. Jika dilihat dari penampilan, Sashi bukan tipe seperti guru-guru muda yang pakai setelan batik atau seragam PNS. Sashi kan, berasal dari keluarga kaya. Kenapa ia repot-repot jadi guru SD yang gajinya tidak seberapa? "Udah ngajar dari kapan?" "Udah lama banget sih, sejak lulus kuliah." Sashi menggedikkan bahu. "Dulu emang kuliahnya jurusan pendidikan. Suka aja kalau liat anak-anak. Tapi sejak nikah dan punya Chika, aku jadi fokus sama keluarga." Lagipula, Naren juga kaya raya. Jadi meskipun Sashi tidak bekerja, uang Naren sudah bisa menghidupi mereka sampai tujuh turunan. "Kamu sendiri, emang suka bisnis dari lama?" tanya Sashi. "Aku suka bisnis karena emang yang paling cepet dapat profit. Modal awal bisa diputer lagi dan lama-lama untungnya semakin banyak." Renisha terkekeh. "Ya, walaupun dulu juga sempat hampir bangkrut dan banyak utang, sih. Tapi akhirnya aku tetep bangkit juga." "Mas Aksa juga suka bisnis," kata Sashi tiba-tiba. "Padahal Ayah punya firma hukum, dan pengin Mas Aksa nerusin. Tapi Mas Aksa malah kuliah bisnis dan bangun perusahaan sendiri. Waktunya di hari Sabtu-Minggu juga kesita gara-gara gantiin ngajar di Bestari. Mana sempat kencan, kan?" Perasaan Renisha mulai tidak enak saat Sashi sudah mulai menyebut-nyebut nama Aksa. Astaga Renisha, kamu bukannya anak kecil yang ketahuan bernatem sama teman dan dimarahi ibunya temanmu! Renisha bedeham, melegakan tenggorokan yang mendadak kering. "Bukannya Pak Aksa udah ada Rani? Katanya mereka udah mau nikah?" Sashi terkekeh dan menepuk pundak Renisha. "Omongannya Mas Aksa mah jangan dipercaya. Emang suka nggak dipikir dia kalau ngomong. Seenaknya mau nikahin anak orang, padahal yang diajak nikah aja belum tentu mau." Renisha meringis. Entah harus merasa lega atau biasa saja mendengar ucapan Sashi. Pelayan datang mengantarkan pesanan mereka. Es krim vanilla untuk Renisha dan stoberi untuk Sashi. Juga seiring cookies renyah. "Rani orangnya baik kok. Aku kemarin ketemu di butiknya," balas Renisha pelan. "Aku lihat mereka di atas panggung pas grand opening. Kelihatan cocok benget. Kayak prince Disney sama princess-nya." Mata Sashi mendadak menyipit curiga. "Kamu beneran cuma bercanda pas bilang kalau kamu suka sama Mas Aksa?" "Iyalah," balas Renisha cepat. "Mana berani aku suka sama Pak Aksa. Kita kenal juga karena Pak Aksa dosenku dan kita pernah satu sekolah waktu SD." "Ah, ternyata kamu ambil kelas karyawan. Semangat belajar kamu tinggi juga ya. Aku jadi salut. Kok bisa gitu bagi waktu kuliah sama bisnis." Sashi mengangguk-angguk. "Dan kupikir hubungan kamu sama Mas Aksa itu kayak yang udah deket banget, terus ada konflik yang bikin Mas Aksa benci sama kamu." Renisha meringis. Entah kenapa ia terlalu banyak meringis hari ini. Ia menyendok es krim dan memakannya untuk sedikit mengulur waktu. "Aku juga nggak tau kenapa Pak Aksa benci sama aku," kata Renisha akhirnya. "Awalnya aku berusaha banget buat deketin Pak Aksa, nanya apa salahku, bahkan minta maaf. Tapi Pak Aksa tetap aja dingin, jadi, aku memutuskan buat berhenti dan pura-pura nggak kenal kalau papasan." "Jangan berhenti," kata Sashi tiba-tiba, sambil menggenggam punggung tangan Renisha yang tergeletak di atas meja. "Mas Aksa pasti punya alasan kenapa benci kamu. Dia itu tipe orang yang suka mendem semuanya sendiri. Kamu yang harus berusaha inget apa kesalahan kamu di masa lalu. Bisa jadi itu hal sepele, tapi buat Mas Aksa maknanya dalem banget." Sejenak, Renisha tertegun. Sesuatu yang sepele tetapi bisa melukai Aksa begitu dalam? Kening Renisha berkerut, mencoba mengorek-ngorek kenangannya bersama Aksa ketika SD. Mata Renisha seketika membulat. Ini... bukan gara-gara panggilan Ramas kan? Renisha ingat jika dulu ia sering memanggil Aksa Ramas, dan anak-anak lain ikut-ikutan memanggil Aksa Ramas, tetapi dengan nada mengejek. Astaga, itu kan panggilan kesayangan. Bukan ejekan. Bagaimana bisa hal sepele iru membuat Aksa membencinya? Tidak masuk akal. Pasti bukan karena itu. Namun, apa? "Gimana kalau aku kasih challenge buat kamu?" kata Sashi tiba-tiba. Matanya berbinar-binar. "Jujur aja, aku lebih suka sama kamu ketimbang Rani. Kalau aku lihat kalian tuh, sebenernya ada chemistry, tapi ada semacam penghalang yang harus dipecahkan." Kening Renisha berkerut samar. "Maksudnya?" "Aku bakal tambahin investasi lima puluh juta kalau kamu bisa baikan lagi sama Mas Aksa," kata Sashi riang, sambil menepuk-nepuk punggung tangan Sashi. "Kamu nggak perlu jawab sekarang. Pikirin aja dulu. Batu aja bakal berlubang kalau ditetesin air terus menerus. Apalagi hati kan?" ia menegedipkan mata. Sementara itu, Renisha cuma bisa meringis. Dasar orang kaya. Mudah sekali bilang mau mengeluarkan uang lima puluh juta. Tawaran Sashi memang menarik, amat sangat menarik. Namun, Renisha bukan tipe orang yang menjadikan manusia sebagai taruhan. Jika ia ingin melunakkan hati Aksa, maka itu adalah keinginannya sendiri, bukan karena embel-embel uang banyak. Renisha menatap Sashi yang mulai menikmati es krimnya. "Kamu... nggak lagi jadiin Pak Aksa taruhan, kan? Meski uang itu kedengeran menarik, tapi aku nggak bisa nerimanya. Pak Aksa pasti bakal sakit hati kalau denger ini." Di luar dugaan, bukannya merasa tersinggung, Sashi malah terkekeh kencang. Renisha cuma bisa mengerutkan kening memandangnya. Apa semua orang kaya memang seaneh ini? Setelah tawanya mereda, Sashi menatap Renisha dalam. "Karena itulah aku lebih menyukaimu, Renisha." ia menyentuh pundak Renisha pelan. "Kalau begitu, aku minta sama kamu, sebagai adiknya Mas Aksa. Tolong, bikin Mas Aksa nggak benci lagi sama kamu. Karena dari sana, aku yakin Mas Aksa bisa nemuin jati dirinya sendiri. Aku nggak mau Mas Aksa terus-terusan jadi robot yang nurut apapun kata Bunda." Jika sudah seperti ini, memangnya Renisha bisa apa? "Ah, iya." Sashi tiba-tiba mengeluarkan selembar seratus ribu dari dalam dompetnya. "Mas Aksa nitip uang, katanya buat gantiin pillow cheese cake kemarin yang kamu bayarin. Jadi kemarin kalian ketemu, ya?" Renisha tertawa, tetapi tidak mencapai mata. Ia meraih uang yang digeser Sashi. "Uang ini sebagai tanda kalau Pak Aksa nolak permintaan pertemanan dariku." ia memandang Sashi lekat. Bibirnya menyeringai. "Menurutmu, aku harus gimana lagi? Ada saran?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN