Ketika itu Renisha kelas satu SD saat melihat Aksa untuk pertama kalinya. Untuk anak usia sebelas tahun, Aksa sudah terlihat tampan tanpa berusaha keras. Renisha mulai mengagumi Aksa diam-diam, mengamati dari balik kaca jendela saat anak-anak di kelas Aksa sedang main sepak bola di halaman depan, bahkan sering izin ke toilet untuk melihat Aksa lebih dekat. Renisha bahkan malu sendiri jkka mengingat saat kecil ia terlalu centil dan berani.
Tepatnya hari Senin, seusai upacara, kelas Aksa ada jadwal olahraga. Renisha dengan percaya diri melewati pinggir lapangan untuk menuju toilet. Matanya tidak lepas memandang Aksa sampai tak menghiraukan langkahnya sendiri. Aksa menjadi penjaga gawang karena ia yang paling tinggi di antara teman-temannya. Karena itulah, Aksa jadi sering dilempari bola hingga mengenai wajah dan badannya. Seolah-olah, anak-anak itu bukannya berusaha memasukkan bola ke dalam gawang, melainkan hanya ingin mengerjai Aksa.
Renisha keluar dari toilet dan mendapati Aksa sedang dipukuli teman-temannya. Mereka tadi sepertinya terlibat perkelahian. Bukannya melawan, Aksa hanya diam dan membiarkan tubuhnya jadi samsak tinju. Renisha, yang sudah dajari ayahnya taekwondo sejak TK, berlari menghampiri Aksa dan menjadi tameng. Tanpa rasa takut, ia merentangkan tangan sambil menatap teman-teman Aksa dengan dagu terangkat.
"Kalian nggak boleh mukulin Aksa! Nanti aku aduin ke ibu guru loh biar dihukum."
"Memangnya kamu berani?" tanya Dodit, teman sekelas Aksa yang badannya gempal seperti lontong.
Dagu Renisha terangkat tinggi. "Berani dong! Kenapa nggak berani? Aku kan bukan anak cemen!"
Saat itulah guru olahraga yang mengajar hari ini keluar dari kantor guru. Renisha buru-buru melambaikan tangan. "Pak Ridho! Sini! Ada anak-anak nakal yang mukulin Aksa!"
Kemudian, setelah menunjuk siapa saja anak yang memukuli Aksa, mereka dihukum untuk menyapu lapangan dan hormat di tiang bendera. Hanya saja, masalah tidak sampai di sana. Bukannya berteimakasih, Aksa malah membenci Renisha dan menganggapnya sok berani dan sok ikut campur. Bullyan terhadap Aksa bukannya berhenti, tetapi semakin menjadi-jadi.
Bukan Renisha namanya kalau tidak keras kepala. Sejak saat itu, ia mulai mengekori Aksa seperti anak ayam ke induknya, setiap jam istirahat dan pulang sekolah.
****
Aksa menatap kotak berisi pillow cheese cake di bangku sebelahnya dalam diam. Tadi Aksa sudah mengunjungi tiga toko kue dan tidak ada yang menjualnya. Kalaupun ada, pasti persediaannya sudah habis. Terpaksa, Aksa membawa pulang bungkusan itu supaya Sashi tidak kecewa.
Tiba-tiba saja, perkataan Renisha terngiang-ngiang.
"Anggap saja ini sebagai bentuk permintaan pertemanan dari saya."
"Permen cokelat ini untuk Kak Aksa. Kak Aksa mau berteman denganku kan?"
Aksa menggelengkan kepala dan mengusir bayangan sialan itu. Ia segera menyambar plastik itu dan turun dari mobil. Nanti jika bertemu lagi dengan Renisha, Aksa akan memberinya uang ganti, juga sebagai penjelasan tersirat bahwa ia menolak tawaran pertemanan dari Renisha.
Sashi sedang menyusui bayi Angkasa di kamar saat Aksa tiba. Tanpa kata, ia meletakkan bungkusan itu ke atas nakas. Sashi menatapnya penuh binar.
"Makasih, Mas!"
"Hmm," Aksa mengangguk dan mengusap puncak kepala Sashi. "Kalau gitu aku ke kamar dulu ya."
"Mas Aksa nggak mau nyobain kuenya dulu?" Tanya Sashi saat Aksa hendak beranjak pergi. "Angkasa udah tidur. Kita bisa ngobrol sebentar sambil makan."
"Nggak," balas Aksa singkat. "Aku lagi nggak mood ngobrol. Ngantuk banget pengin tidur."
"Mama bilang Mas Aksa mau ngelamar Mbak Rani ya?" tanya Sashi, menghentikan gerakan Aksa yang hendak membuka pintu. "Mas Aksa bener-bener serius? Menikah itu nggak segampang kelihatannya. Mas Aksa sendiri sering liat aku berantem sama Naren cuma masalah sepele. Mas Aksa juga belum tahu gimana sifat aslinya Mbak Rani. Mumpung belum terlambat, Mas Aksa pikirin dulu baik-baik. Kenapa nggak nyoba saling mengenal dulu?"
Aksa berbalik dan memandang Sashi. Senyumnya terlukis tipis, tidak mencapai mata. "Kalau kamu aja bisa, kenapa aku enggak? Aku cuma perlu komitmen, Sashi. Sesederhana itu."
"Tapi aku nggak mau lihat Mas Aksa nyesel," kata Sashi lirih. "Aku... pengin Mas Aksa ngerasain cinta dulu sebelum menikah."
Aksa berjalan mendekati sang adik dan mengelus puncak kepalanya perlahan. "Ada banyak pasangan yang bahkan hanya mengenal nama dan latar belakangnya saja sebelum memutuskan untuk menikah. Dan mereka baik-baik saja. Kamu juga lihat sendiri, banyak pasangan yang saling mencintai sebelum memutuskan menikah, tapi akhirnya bercerai juga. Cinta itu ... bullshit. Bisa terkikis waktu, layaknya logam yang berkarat dimakan musim."
"Mas Aksa, aku..." suara Sashi terdengar sedih. Kenapa selama ini Sashi tidak menyadari jika Aksa tumbuh seperti robot penurut? Kenapa ia tidak mencoba menentang untuk mendapatkan kebahagiaannya sendiri?
"Aku baik-baik saja," kata Aksa, menundukkan kepala untuk mensejajarkan tatap. Ia kemudian mengelus pipi Angkasa yang berada di pelukan Sashi. "Setelah aku menikah, Angkasa bakal punya kakak sepupu." Aksa tersenyum lagi. "Percaya sama aku, Sashi. Aku bisa lakuin semuanya."
"Katanya Mas Aksa mau nungguin aku nyari yang terbaik buat Mas Aksa," kata Sashi tiba-tiba. Kini ia memandang Aksa dengan sorot serius. Ia menggenggam jemari Aksa erat. "Jangan buru-buru lamar Mbak Rani. Tunggu aku, ya? Aku yang bakal seleksi calon istri Mas Aksa."
Kening Aksa berkerut samar. "Tapi aku udah terlanjur bilang sama Bunda. Kupikir, Rani yang terbaik. Cuma dia yang sesuai sama kriteria Bunda."
"Gampang kalau itu mah." Sashi tersenyum tipis. "Serahin semuanya sama aku."
"Hmm," Aksa mengangguk. "Kamu boleh urus semuanya, tapi jangan lupa sama kewajibanmu jagain Angkasa dan Chika."
Senyum Sashi bertambah lebar. Ia memasang sikap hormat layaknya tentara yang patuh pada atasan. "Siap Pak! Lagian, Naren juga nggak keberatan buat jadi babu sementara waktu."
Aksa terkekeh kecil. "Dasar."
***
Hari ini adalah pembukaan cabang baru bisnis catering Renisha. Tidak ada acara potong kue atau potong pita. Ia hanya menyiapkan acara syukuran kecil-kecilan bersama karyawan barunya dan juga Ghea. Bahkan acara masak-masaknya pun mereka yang melakukannya sendiri. Kebanyakan karyawan Renisha adalah ibu-ibu rumah tangga yang jago masak dan butuh tambahan uang untuk biaya sekolah anak-anak. Renisha juga sudah punya pelanggan tetap, yaitu sebuah perkantoran yang letaknya sekitar dua kilometer dari sini. Mereka sudah boking menu makan siang berbeda untuk satu bulan penuh.
"Udah empat tahun dan lo bahkan lebih sukses dari gue," Ghea menepuk pundak Renisha bangga. "Kedai es krim gue malah masih stuck di situ aja. Nggak ada cabang-cabangan."
"Hilih, nggak ada cabang-cabangan juga duit lo masih banyak."
Bibir Ghea mengerucut. "Tapi itu kan duit Mas Zebra, bukan duit gue."
"Eh, dengerin gue ya Ghe," Renisha menghadap Ghea dan memegang pundaknya. Binar di mata hitamnya berkilat penuh nasihat. "Duit suami itu duit istri. Duit istri ya punya istri. Emang yang pegang atm si Mamas siapa? Elo kan?"
"Ya iya sih, tapi itu kan buat kebutuhan Kenio sama Flora. Buat bayar asuransi, bayar listrik, biaya makan, biaya--"
"Ssst..." Renisha memotong kalimat Ghea dan menepuk-nepuk puncak kepalanya, merasa prihatin dengan kepolosan Ghea yang tiada tara. Padahal uang suaminya sampai tumpah-tumpah. Mubazir kalau enggak digunakan. "Sekali-sekali buat beli baju sama tas mahal juga nggak dosa kok Ghe. Santai aja."
Ghea belum sempat membalas saat Kenio dan Flora berlari-lari ke arah mereka. Ghea sudah mendaftarkan keduanya ke PAUD tak jauh dari rumah. Beruntung anak kembar itu bukan tipe yang susah diatur, tidak seperti waktu mereka masih bayi dulu.
"Mama!" Flora langsung berhambur ke pelukan Ghea, sementara Kenio masih stay cool dan menatap datar, membuat Renisha gemas ingin meraupnya dalam pelukan.
Renisha sangat suka dengan anak kecil, apalagi yang seusia Kenio dan Flora. Sebab tingkah mereka masih sangat polos, murni dan gampang diatur. Apalagi kalau diajak main, langsung semangat. Tawa mereka membuat hati Renisha memuncah senang. Kapan ya, Renisha bisa memiliki anak-anaknya sendiri? Pasti seru melihat celotehan menggemaskan itu setiap hari.
Buka matamu, Renisha. Calon saja kamu belum punya.
Ah, sialan.
Bunyi dering ponsel membuat niat Renisha untuk menggoda Kenio dan jadi terealisasi. Ia mengambil ponsel dari tasnya dan menemukan nomor tidak dikenal. Renisha segera mengangkatnya, siapa tahu calon customer baru.
"Selamat Siang, ada yang bisa saya bantu?" sapa Renisha ramah.
"Ini Renisha kan?" suara di seberang sana justru balik bertanya.
Kening Renisha berkerut. "Iya, ini siapa ya?"
"Aku Sashi. Kamu ada waktu luang nggak? Gimana kalau besok pagi? Aku pengin ketemu."
Sashi meneleponnya saja sudah membuat Renisha terkejut. Dan sekarang malah ingin bertemu? Kenapa tiba-tiba sekali? Renisha ingin menyuarakan itu, tetapi ia tahan. Mau tak mau pikiran Renisha langsung mengarah pada Aksa. Apa Sashi masih belum puas bertanya perihal pernyataan konyol Renisha kemarin? Astaga, bikin malu saja. Ia baru akan membuka mulut untuk menolak, tetapi Sashi mendahului,
"Bahas bisnis kamu sama Naren. Aku juga penasaran pengin denger konsepnya langsung sama kamu."
Ah, soal bisnis, ya?
Tanpa sadar Renisha mengangguk. "Besok sore aku luang kok. Kita ketemu di kedai es krimnya temenku gimana? Sekitar jam tiga?" Renisha melirik Ghea yang sedang menatapnya penasaran.
"Oke, nanti aku hubungin lagi," balas Sashi riang. "Sekalian, aku juga mau tanya soal hubunganmu sama Mas Aksa. Kenapa Mas Aksa kelihatan benci banget sama kamu?"
Jantung Renisha seakan sedang dicabut paksa. Pada akhirnya, Sashi tetap akan mengungkit-ungkit soal Aksa, kan? Sekarang... Renisha harus bagaimana? Ia sendiri masih berpikir keras mengenai perkataan Aksa kemarin. Mana mungkin ia bisa menjelaskannya pada Sashi? Yang pegang kartunya itu Aksa. Kenapa ia tidak tanya sendiri pada kakaknya itu?