Aksa menatap kotak beludru merah di genggaman tangannya. Isinya adalah sebuah cincin emas putih dengan hiasan berlian kecil di atasnya, hendak ia berikan pada Rani. Aksa bukan tipe orang yang suka basa-basi. Jika ia sudah yakin dengan pilihannya, maka ia akan melamarnya langsung. Bagi Aksa, pacaran itu cuma buang-buang waktu. Toh, Aksa juga sudah capek ditanya kapan menikah, ia juga sudah lelah ketika Bunda mulai membahas tentang siapa saja calon istri yang akan dipilihkan untuk Aksa. Rani adalah sosok sempurna yang akan memuasakan hasrat sang bunda. Terlebih, dan yang paling penting, Rani masih punya garis keturunan dengan keraton.
Jika Rani perlu berpikir, Aksa juga tidak keberatan untuk menunggu hingga satu bulan. Hanya satu bulan. Jika lewat dari batas itu, berarti Rani memang tidak ingin serius dengannya. Aksa bisa mulai lagi dengan kandidat lain.
Mengenai Sashi, Aksa bisa memikirkannya belakangan. Adiknya itu hanya terlalu cemas dengan masa depan Aksa sementara Aksa sendiri sudah sangat yakin dengan pilihannya. Memangnya bagian mana dari seorang Rani yang terlihat cacat?
Sambil mengetuk-ngetuk meja, Aksa menunggu. Ia melirik jam tangannya. Pukul sepuluh pagi. Satu jam lagi ia sudah harus berangkat ke kampus untuk mengajar jam siang. Aksa belum sempat menyiapkan materi, jadi, harus berangkat lebih awal. Tatapan Aksa beralih saat seseorang memasuki kafe.
Rani tampak cantik seperti biasanya, dengan blouse berwarna biru yang dimasukkan ke dalam rok span krem. Rambut panjangnya digerai dan dibuat bergelombang di ujungnya. Wajah oval itu begitu sedap dipandang. Bukankah Rani memang memiliki semua yang diperlukan untuk sebuah sanjungan?
"Mas Aksa udah lama ya? Maaf, aku tadi harus ngurusin customer rewel di butik." Rani tersenyum tipis dan duduk di depan Aksa. "Mas Aksa nggak pesan minum?"
Aksa menggeleng. "Aku buru-buru," ia kemudian menggeser kotak beludru yang sedari tadi ia pegang dan menggesernya ke depan Rani. "Buat kamu. Buka aja."
Kening Rani berkerut dalam. Ia menatap Aksa penuh tanda tanya. "Ini apa?" kemudian membuka kotak itu dan menemukan sebuah cincin. Kerut di keningnya semakin dalam. "Cincin? Maksudnya... apa?"
"Menurut kamu, kalau ada seorang laki-laki ngasih cincin, tandanya apa?" Aksa justru balik bertanya, dengan nada santai dan raut wajah tanpa dosa. Bukankah semua wanita seharusnya tahu arti sebuah cincin?
Rani mengerjab. "Mas Aksa ngajak nikah, tunangan, atau... pacaran?" katanya, dengan nada kebingungan teramat sangat. Mereka baru mengenal kurang dari dua minggu. Bahkan pertemuan mereka pun bisa dihitung dengan jari. Tidak ada acara kencan maupun pembicaraan serius. Lantas kenapa Aksa tiba-tiba memberi cincin?
Aksa... masih waras kan? Atau jangan-jangan kepalanya terbentur?
"Menikah," balas Aksa datar. "Kalau kamu setuju, satu bulan lagi kita bisa tunangan dulu. Minggu depan keluargaku bisa ke rumahmu, bilang secara resmi."
Kotak di tangan Rani langsung terjatuh. Mulutnya setengah terbuka, menyiratkan keterkejutan. Kenapa mudah sekali bagi Aksa untuk mengucapkan sesuatu yang berhubungan dengan pernikahan? Memang benar, jika Aksa adalah sosok paling sempurna yang bisa dijadikan suami. Dia tampan, kaya dan mapan. Namun...
Rani menghela napas. "Kenapa terburu-buru? Kenapa kita nggak saling mengenal dulu satu sama lain?"
"Aku nggak mau buang-buang waktu," balas Aksa, kemudian melirik jam tangannya sebelum menatap Rani lekat. "Aku kasih waktu kamu satu bulan buat berpikir. Jika dalam jangka waktu itu kamu nggak jawab, akan kuanggap kamu nolak aku."
Lagi-lagi, Rani terkejut. Sebenarnya Aksa ini, mengajak menikah atau sedang menawarkan sebuah bisnis? Memangnya ia pikir Rani manusia yang tidak punya hati? Rani juga ingin seperti pasangan-pasangan lain. Yang pacaran dulu sebelum menikah, saling mencintai dan memahami. Namun, Aksa... terlalu sempurna untuk dicampakkan begitu saja. Tidak setiap hari pula Rani bisa mengenal cowok dengan tipe seperti Aksa. Ia... bimbang.
Rani menutup kotak itu dan balas menatap Aksa lekat. "Baik, aku akan kasih jawaban sebelum satu bulan." ia memajukan tubuh dan tersenyum manis. "Tapi aku punya satu syarat, dan kuharap Mas Aksa nggak keberatan buat ngabulinnya."
"Apa?" tanya Aksa cepat.
"Kencan," balas Rani. "Aku pengin kita kencan minimal seminggu tiga kali."
Aksa menggeleng. "Satu kali."
"Dua kali," tawar Rani.
Tetapi Aksa dengan tegas menjawab. "Tidak, hanya satu kali di malam minggu. Aku nggak punya banyak waktu." Aksa kemudian berdiri dari tempat duduknya. "Aku harus ke kampus sekarang. Sampai bertemu minggu depan."
Kemudian, Rani hanya bisa menatap punggung Aksa yang perlahan menjauh ditelan pintu. Ia berdecak dan menyandarkan punggung. Meskipun Aksa adalah kesempurnaan dalam segi fisik dan finansial, tetapi Aksa merupakan seseorang yang sangat sulit untuk didekati, apalagi dijangkau. Sikap cowok itu terlalu dingin untuk seseorang yang baru saja melamar gadis.
Hanya saja, Sri Maharani tidak akan dengan mudah melepaskan Aksa.
Well, kecuali ia mendapatkan pengganti yang lebih baik dari Aksa.
****
Aksa sampai di kampus pukul dua belas siang, dan belum sempat sarapan. Ia menuju kubikelnya dan langsung menyalakan laptop untuk membuat slide presentasi. Sebenarnya, Pak Surya sudah memberikan Aksa file berisi bahan ajar yang bisa langsung Aksa gunakan di kelas. Hanya saja, Aksa tidak terbiasa menggunakan milik orang lain, ia lebih suka jika membuat sendiri, sehingga saat presentasi, Aksa memahami dan bisa menjelaskan secara detail mengenai materinya.
Terlalu fokus pada laptop, Aksa sampai tidak menyadari kehadiran seseorang. Ia nyaris saja terjengkang saat sebuah piring berisi kue balok tiba-tiba berada di samping mejanya. Menoleh, Aksa menemukan Pak Yanto yang tengah tersenyum lebar.
"Pak Aksa sudah makan siang?" kata Pak Yanto ramah. "Nih, saya bawain kue balok terenak di Bestari buat ganjal perut. Pak Aksa suka cokelat kan?"
Aksa mengangguk, melirik sepiring kue balok yang masih tampak hangat dan menggoda. Aksa tersenyum tipis. "Makasih, tapi Pak Yanto nggak perlu repot-repot. Nanti saya bisa pesan makanan sendiri."
"Nggak repot kok," Pak Yanto menepuk pundak Aksa pelan. "Dicobain dong, saya mau lihat respon Pak Aksa. Cuma Pak Aksa dari semua dosen Bestari yang belum nyobain ini."
"Oh ya?" balas Aksa. Aksa tahu jika kue balok itu berasal dari kantin Renisha. Sebab, bentuk dan aromanya sangat mirip. Aksa malas mencobanya. "Maaf, Pak. Tapi saya nggak terlalu suka sama cokelat."
Pak Yanto tersenyum. "Kalau begitu coba yang ini," Pak Yanto mengambil salah satu kue, yang berada paling pojok dan berwarna sedikit pucat. "Kue ini bahan dasarnya dari gula merah, cocok buat yang enggak suka coklat kayak pak Aksa. Isiannya keju mozzarela yang meleleh pas digigit. Ada juga yang isi selai kacang dan stoberi. Pak Aksa nggak bisa nolak, kan?"
Aksa meneguk ludah susah payah. Ia sudah tidak bisa lagi menghindar. Lagipula, Aksa juga tidak enak jik harus menolak pemberian orang lain, ya, kecuali Renisha. Maka, dengan setengah hati, Aksa mengambil kue itu dari tangan Pak Yanto dan menggigitnya. Isian keju mozarella yang dipadukan dengan selai kacang langsung lumer di lidah Aksa. Tekstur kuenya begitu lembut, dengan rasa yang tidak terlalu manis. Tanpa sadar, Aksa menghabiskan sepotong kue itu.
"Gimana rasanya? Enak kan?" tanya Pak Yanto riang. "Saya ini penggemar kue, jadi tahu mana kue yang enak atau enggak."
Aksa mengangguk singkat. "Enak Pak, rasanya nggak terlalu manis, jadi nggak bikin enek."
Pak Yanto tersenyum lebar, bagai pegawai pemasaran yang berhasil menjual produknya. "Kalau begitu saya keluar dulu. Ini kuenya semua buat Pak Aksa."
Aksa mengangguk dan Pak Yanto beranjak pergi. Aksa melirik piring yang masih menyisakan lima buah kue balok. Ia masih maju mundur, antara memakannya lagi atau membungkus pulang untuk diberikan pada Sashi.
***
Trauma itu harus dihadapi, bukan dijauhi. Apalagi melarikan diri dan membohongi diri sendiri.
Barangkali, Aksa harus mendengar dari sudut pandang Renisha tentang apa yang sebenarnya terjadi ketika mereka kecil. Aksa harus menghilangkan rasa takutnya jika berhadapan dengan Renisha. Sebab Aksa bukan lagi bocah t***l yang hanya akan diam dipojokan kelas saat dipukuli. Aksa tidak bisa hanya diam ketika diejek dan direndahkan.
Sudah sejauh ini.
Aksa sudah melewati banyak hal hingga menjadikannya seperti sekarang. Sudah banyak kesakitan yang ia tanggung.
Kenapa Aksa harus kalah sekali lagi?
Bukankah ini hanya seorang Renisha?
Hanya saja, praktik memang lebih sulit karena harus berhadapan langsung dengan sumbernya.
Aksa bisa saja mengabaikan keberadaan Renisha di kelasnya, tetapi, di dalam sudut hati terdalamnya, ia sadar bahwa Renisha ada dan sedang mengamati, bagai monster yang bersiap menerkam di saat Aksa lengah.
Ketika pada akhirnya Aksa berhasil mengakhiri sesi kuliah siang ini, Aksa menghela napas panjang. Setidaknya, Aksa berhasil mengendalikan diri dan tidak bersikap seperti pengecut. Beruntung, Renisha juga hanya diam saja dan tidak memprovokasi Aksa seperti kemarin.
Para mahasiswa sudah beranjak keluar, dan, baru saja Aksa hendak bangkit, ada seseorang yang meletakkan kotak transparan berisi cokelat yang dihias cantik. Warna-warni dan terlihat lucu dengan telinga kelinci, kucing dan emotikon tersenyum. Aksa mendongakkan kepala dan bertemu pandang dengan Renisha. Kali ini, Aksa sudah tidak lagi terkejut meski matanya sempat melebar dua detik.
"Kalau sekotak cheese cake nggak bisa buat Pak Aksa nerima saya jadi teman Bapak, saya harap, cokelat manis ini bisa." Renisha tersenyum lebar hingga sudut-sudut matanya menyipit. "Saya buat sendiri loh, resep coba-coba. Sekalian buat menu baru di toko cokelat yang mau kubikin bareng sama Narendra."
"Terima Kasih," Aksa menggeser kotak itu ke depan Renisha. "Tapi tawaran permintaan pertemanan saya sudah full."
"Emangnya f*******:," balas Renisha kesal, sekaligus tak percaya dengan lawakan Aksa yang super receh. "Aku bikinnya dua jam loh." ia mengangkat kedua jarinya. "Dua jam nonstop tanpa henti."
"Saya nggak pernah nyuruh kamu buat," balas Aksa dingin, kemudian merapikan tasnya dan bersiap pergi.
"Tadi aku yang ngirim kue baloknya dan dititipin sama Pak Yanto. Kamu udah nyoba kan? Udah ditelen kan? Kenapa? Mau dimuntahin lagi?" tanya Renisha kesal.
Aksa berdiri tanpa memandang Renisha. "Kamu bisa ambil di mejaku. Masih utuh."
Sialan. Renisha yang sudah kehilangan batas kesabaran akhirnya mendorong d**a Aksa hingga punggung cowok itu membentur tembok. Renisha segera mengunci Aksa dengan lengannya. Meski tinggi mereka timpang jauh, tapi Renisha tidak gentar dan mendongakkan kepala untuk memandang Aksa. Cowok itu hanya bergeming dengan bola mata melebar terkejut.
"Kamu marah karena dulu sering kupanggil Ramas?" Renisha berujar sambil menatap Aksa lekat. Cowok itu bahkan tidak bergeser sedikitpun, seolah takut akan bersentuhan dengan Renisha. "Ramas itu bukan ejekan, tapi panggilan kesayangan. Kamu tahu bedanya enggak sih? Apa perlu kujelasin?"
***