"Ramas!"
"Woy, Raden Mas!"
"Ke mana si Raden Ajeng? Kok nggak pulang bareng?"
"Ahahahaha. Nasi Ramas enak kali ya, kita jajan yuk!"
"Kata Mamaku, nama Raden Mas itu cuma buat bangaswan aja, buat calon raja. Kamu calon raja mana, Mas?"
"Raja hutan kali, temennya monyet. Hahaha."
Kalimat itu terngiang-ngiang di kepala Aksa seperti kaset rusak. Rasa marah, terhina sekaligus malu kini muncul lagi ke permukaan. Panggilan kesayangan, katanya? Bagaimana jika Renisha mengucapkannya keras-keras, di koridor sekolah dan dindengarkan oleh banyak orang hingga jadi bahan ejekan?
"Ramas, tunggu!"
"Ramas, kita main ke taman yuk!"
"Aku tadi beli es krim dua loh. Kamu suka yang mana? Coklat atau stoberi?"
"Ramas, hari ini pulang sekolah bareng sama aku, ya?"
"Ramas, kalau dipukulin itu lawan balik dong! Jangan diem aja! Mau aku ajarin tae kwon do? Aku udah jago loh!"
Bagaimana mungkin, panggilan kesayangan berubah menjadi petaka yang menghantui masa kecil Aksa? Kehadiran Renisha layaknya sebuah pisau yang menyayat bekas lukanya hingga kembali berdarah-darah. Aksa sudah berusaha menghindari para pembulinya di masa lalu, tetapi, kenapa hanya Renisha yang seolah tidak bisa ditolak dan dihindari? Lama-lama, Aksa bisa gila sungguhan.
"Aksa, kok bengong?" Renisha mengibaskan tangan ke depan wajah Aksa. "Kamu nggak apa-apa kan?"
Aksa menatap Renisha tajam, matanya memerah karena menahan amarah. "Minggir," ujar Aksa, dengan nada sedikit bergetar. "Nggak ada panggilan kesayangan yang berubah jadi ejekan."
"Tapi itu benaran panggilan kesayangan gue sama lo! Kalau anak-anak pada ngejek lo Ramas, emangnya salah gue? Gue nggak bisa pukul mereka satu-satu supaya berhenti ngatain lo," balas Renisha cepat. Napasnya bekerjaran. Aksa memalingkan wajah dan membuat Renisha nyaris frustrasi. Nayatanya, membujuk Aksa lebih sulit ketimbang mendiamkan anak bayi yang menangis kencang. "Astaga, Aksa, apa yang harus gue lakuin supaya lo bisa maafin gue? Hah? Gue janji nggak akan panggil Ramas atau ungkit-ungkit masa lalu lagi, oke?"
Jika tahu panggilannya di masa lalu akan merubah Aksa sampai seperti ini, Renisha tentu tidak akan melakukannnya. Hanya saja, ketika itu Renisha terlalu kecil untuk memahami hal apa saja yang ternyata mengganggu Aksa dan membuatnya marah serta merasa terhina.
"Nggak ada yang bisa kamu lakuin," balas Aksa dingin. Ia bergeser ke samping untuk lepas dari cekalan Renisha. "Masalahnya... ada di saya. Saya yang nggak bisa lepas dari masa lalu."
"Kenapa nggak balas dendam aja?" balas Renisha tanpa pikir panjang. "Lo bisa ngatain gue sesuka lo, Aksa, dan gue nggak keberatan asal itu bisa bikin hati lo lega."
"Nggak semudah itu," kata Aksa, memalingkan muka, bersiap pergi.
Renisha menyambar kotak cokelatnya di atas meja dan menyerahkannya pada Aksa. "Kalau lo nggak mau cokelat ini, gue nitip berikan ini sama Sashi," kata Renisha cepat. "Ini salah satu menu buat toko kami. Biarin Sashi nyoba dan nilai rasanya."
Cukup lama Aksa hanya memandang uluran tangan Renisha sebelum kemudian menerimanya dengan berat hati. Aksa membenci cokelat, tetapi Chika dan Sashi suka cokelat. Aksa mengepalkan tangan di kedua sisi tubuhnya. Aksa tidak mau jadi orang egois. Ia harus mementingkan saudara sebelum dirinya sendiri. Maka dari itu, Aksa mengambil kotak dari tangan Renisha dan menyimpannya di dalam tas.
"Gue juga titip salam sama Sashi," kata Renisha lagi sebelum Aksa berbalik. "Bilang sama Sashi. Gue nggak akan menyerah. Dan itu atas kemauan gue sendiri dan untuk diri gue sendiri."
Aksa tidak menoleh, tetapi ia mengangguk. Setelahnya, Aksa berjalan meninggalkan Renisha seorang diri, yang masih menatap punggung Aksa dengan pandangan menerawang jauh.
Memang sulit untuk menyentuh Aksa, tetapi, Renisha tak akan menyerah. Biar bagaimana pun, ia turut bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada Aksa.
***
Aksa membuka dasi yang terasa mencekik lehernya saat memasuki rumah. Berhadapan langsung dengan Renisha ternyata sangat menguras tenaga. Apalagi dengan bayangan masa lalu yang diam-diam menyelip seperti hantu penasaran.
Ia berjalan ke arah anak tangga, tetapi kemudian melihat Sashi yang sedang makan di dapur. Sejak melahirkan, nafsu makan Sashi malah semakin bertambah. Biar saja, Aksa malah lebih suka melihat Sashi dengan pipi chubby dan tubuh berisi. Mirip sekali dengan Chika.
Aksa berbalik dan menghampiri Sashi dengan langkah lebar, kemudian mengambil kotak cokelat pemberian Renisha dari dalam tas dan menyerahkannya pada sang adik. "Dari Renisha. Katanya, dia nggak akan nyerah, tapi karena itu kemauan dia sendiri." kening Aksa berkerut, matanya memandang Sashi penuh selidik. "Kamu punya rencana apa sama dia?"
"Nggak ada kok," balas Sashi santai, sambil membuka tutup kotak itu dan menemukan cokelat praline dengan hiasan yang cantik. Senyum Sashi seketika melebar. "Wah, ternyata Renisha emang pinter masak. Kirain bohongan. Tampangnya nggak meyakinkan soalnya." Sashi mengambil sebuah dan menggigitnya. Cokelat itu langsung meleleh ketika menyentuh lidah. Ada isian kacang mete yang membuatnya renyah ketika digigit. Paduan manis dan gurih yang memanjakan lidah. "Wah, ternyata emang enak banget. Mas Aksa mau nyoba?" tawar Sashi.
"Nggak," balas Aksa cepat. "Kalau kamu punya rencana apapun itu sama dia, tolong berhenti. Aku udah mutusin buat nikah sama Rani. Tadi pagi aku udah kasih cincin buat dia."
Sashi nyaris tesedak mendengarnya. Bola matanya melebar terkejut. "Apa? Yang bener dong! Bukannya kemarin Mas Aksa udah janji buat nungguin aku dulu?"
"Udah kubilang, aku nggak mau buang-buang waktu," balas Aksa cepat. "Aku udah mutusin, dan bagiku, ini yang terbaik buat semuanya," sambung Aksa final. Kemudian berbalik dan menaiki anak tangga menuju kamarnya.
Sementara itu, Sashi masih sibuk mencerna perkataan Aksa. Otaknya berpikir keras. Memangnya apa yang istimewa dari Rani selain kenyataan bahwa dia masih mempunyai darah biru? Mungkin nasib Sashi beruntung karena menikah dengan Naren, Mama juga beruntung karena impiannya terwujud. Namun, kali ini, firasatnya tidak enak. Sashi harus menyelidiki dulu orang seperti apa Sri Maharani itu. Meski dia adalah saudara jauh Naren, bukan berarti sifatnya juga sebaik Naren. Sashi... tidak akan membiarkan Aksa menikah dengan orang yang salah.
****
Aksa tidak suka dengan panggilan Ramas.
Renisha mencoba menggali ingatannya lagi. Selain panggilan itu, apalagi yang ia lakukan, yang bisa berpotensi membuat Aksa membencinya?
Melihat Aksa yang sekarang... membuat Renisha merasa bersalah. Mungkin saja, karena ketidakpekaan Renisha di masa lalu, membuat Aksa harus menanggung kesakitan selama bertahun-tahun. Renisha harus membantu Aksa untuk keluar dari bayang-bayang masa lalu. Namun, bagaimana caranya? Melihatnya saja, Aksa sudah jijik dan ketakutan. Kehadiranya hanya akan membuat Aksa semakin tenggelam dalam kenangan menyakitkan. Renisha juga tidak mungkin membantu seseorang yang tidak mau dibantu. Tidak akan ada gunanya.
Renisha... harus bagaimana?
Suara ketukan pintu membuat lamunan Renisha buyar. Kemudian pintu terbuka dan menampilkan wajah Nathan yang sedang nyengir lebar sambil mengulurkn tangan. "Minta duit dong."
"Nggak," balas Renisha tanpa pikir panjang. "Lagian udah dikasih wifi unlimited dua puluh empat jam. Masih butuh apalagi?"
"Beli senjata," balas Nathan melas. "Buat main game."
"Nggak!"
"Pelit ah, didoain rejekinya seret, loh."
Renisha menoleh dan menatap adiknya kesal. "Kalo ngomong difilter dulu, jingan. Kalau gue bangkrut kan elo juga yang susah."
"Ya maknanya jangan pelit. Itung-itung sedekah sama saudara sendiri. Ntar gue doain lancar jodoh deh," kata Nathan, penuh bujuk rayuan.
Renisha memutar bola matanya malas. "Jodoh dari Hong Kong. Lagi nggak minat nikah gue."
"Oh iya, tadi siang Om Rudi datang nyariin," kata Nathan tiba-tiba. "Terus aku bilang kalo Teteh lagi kuliah."
Renisha tersentak dan langsung bangkit dari posisi berbaringnya. "Ngapain anak DPR manja itu ke sini? Terus lo bilang apa lagi? Lo nggak bilang kan kalau gue di Bestari?"
"Nggak kok," Nathan menyeringai. "Tadinya di minta nomor ponsel teteh, tapi nggak kukasih. Endingnya, aku kasihin nomorku. Barusan dia ngechat nanya teteh kuliah di mana dan kerja apa sekarang. Kubales apa ya?"
"Jangan kasih tahu!" balas Renisha cepat. "Awas aja sampai dia nyamperin gue ke kampus atau ke tempat kerja. Gue nggak akan kasih lo uang jajan selama sebulan!"
"Kok gitu sih?" Nathan membalas tidak terima. Sedetik kemudian ia tersenyum licik. "Gampang, aku bisa minta uang jajan sama Om Rudi. Sebagai gantinya, aku bisa kasih nomor ponsel dan alamat kantor teteh."
"Wah, sialan! Udah berani ngacem ya?" Renisha berdiri, hendak menjewer telinga Nathan. Namun, cowok itu buru-buru keluar kamar dan menutup pintu, menyisakan setengah badannya.
"Kasih seratus ribu dulu, terus aku blokir nomornya si Om." Lagi-lagi Nathan tersenyum licik. "Om juga bilang loh, kalau dia udah duda sejak enam bulan lalu. Mungkin dia dateng ke sini karena mau deketin Teteh lagi."
Renisha mengacak rambutnya frustrasi. Bisa-bisanya ia kalah dengan anak kecil. "Oke, oke, gue kasih seratus ribu!" Renisha mengambil uang dari dalam dompetnya dan menaruhnya ke tangan Nathan dengan gerakan kasar. "Puas lo? Awas aja kalo dia masih bisa nemuin gue. Gue bakal putus koneksi wifi selama setahun!"
"Siap sobat!" Nathan memberikan sikap hormat ala tentara. "Rahasiamu aman di tanganku!"
Kemudian, dengan muka songongnya, Nathan menutup pintu kasar.
Renisha membanting tubuhnga ke atas kasur. Ah, sialan. Kenapa anak DPR manja itu ke rumah Renisha, sih? Mau cari gara-gara, ya? Dia pikir setelah bercerai dengan istrinya, Renisha akan mau menerimanya, begitu? Sekali pengecut ya tetap pengecut! Melihat mukanya saja Renisha tidak sudi. Dia salah jika berpikir bahwa Renisha adalah cewek murahan yang bisa diambil begitu saja setelah dicampakkan.
***