"Permen cokelat ini untuk Kak Aksa. Kak Aksa mau berteman denganku kan?"
Aksa, yang ketika itu berusia sebelas tahun, melihat tangan kecil Renisha yang menggenggam lima buah permen cokelat dengan bungkus warna-warni. Wajah polos itu tersenyum sangat lebar hingga menampilkan dua gigi atasnya yang ompong.
Aksa... tidak menyukai Renisha.
Sejak cewek itu membelanya ketika bermain sepak bola, teman-teman Aksa justru semakin gencar membuli Aksa, bahkan meledeknya karena dilindungi anak cewek. Tak hanya seorang pengecut, kini Aksa juga pecundang. Aksa, bahkan tidak bisa melindungi Sashi saat ia juga diledek teman-temannya.
Sebenarnya, siapa yang seorang kakak? Siapa yang laki-laki? Aksa, merasa gagal, merasa tidak berguna.
Kenapa... hanya karena sebuah nama, mereka jadi bahan tertawaan? Memangnya apa yang salah? Kata Ibunda, nama Raden Mas dan Raden Ajeng adalah nama terhormat, mempunyai arti yang baik, dan tidak sembarang orang bisa menggunakannya. Sang Ibu meminta Aksa bangga dengan namanya sendiri.
Nyatanya Aksa... tidak bisa. Nama itu adalah sumber masalah.
"Aku beli ini pakai uang sakuku sendiri loh," ujar Renisha lagi, kali ini sambil menyenggol lengan Aksa. "Kak Aksa, terima dong."
Aksa memandang Renisha datar, kemudian menyentak tangan cewek itu hingga permen cokelat-nya berhamburan semua ke tanah.
"Aku... nggak mau temenan sama kamu," balas Aksa kejam.
Mata Renisha seketika berkaca-kaca, hendak menangis. Suaranya bahkan nyaris bergetar saat menjawab, "Kak Aksa, kenapa jahat sama aku? Salahku apa?"
"Salahmu karena dekat-dekat sama aku," balas Aksa, dengan nada kesal. "Aku juga nggak suka temenan sama anak cengeng."
"Aku nggak cengeng kok!" Renisha mengusap sudut-sudut matanya yang berair, kemudian berusaha mengulas senyum lebar. "Tuh, lihat, aku nggak nangis kan? Sekarang Kak Aksa mau temenan sama aku?"
Aksa berdiri. "Tetep nggak mau! Aku lebih suka sendirian. Lagian, gara-gara kamu, aku jadi dikatain pacaran sama kamu."
"Memangnya kenapa?" balas Renisha polos. "Aku mau kok pacaran sama Kak Aksa. Kak Aksa ganteng banget soalnya."
Akas tidak menjawab dan langsung pergi dari sana, diikuti Renisha yang memanggil-manggil dari belakang dengan suara cemprengnya.
****
Jadi, rencananya, Sashi akan menghubungi Alika dan memintanya untuk menyelidiki Sri Maharani. Alika itu suaminya Karna, kakak sepupu Naren dari pihak Ibu. Alika sekarang tinggal bersama suaminya di Solo sepeninggal Eyang. Lewat Alika, Sashi bisa mendapat informasi mengenai Rani dari teman-teman yang pernah mengenalnya di Solo. Bisa saja tentang sifatnya, atau masa lalunya, atau apapun. Setiap informasi akan sangat berguna bagi Sashi untuk menentukan langkah selanjutnya.
Sekarang, hanya tinggal menunggu waktu saja hingga informasi berharga itu sampai ke telinganya.
Sashi sedang menjemur Angkasa di bawah sinar matahari pagi saat Aksa tiba-tiba datang dan ikut duduk di samping Sashi. Ia mengusap pipi Angkasa. Raut wajahnya langsung berubah sayang dan lembut.
"Chika udah bangun belum?" tanya Aksa.
"Belum kayaknya. Rencana abis ini mau bangunin Chika. Dia kalau libur sekolah emang nggak kira-kira kalau bangun. Bisa sampai jam delapan pagi."
Aksa terkekeh. "Biar aku aja yang mandiin Chika sebelum berangkat ke kampus." ia berdiri dan mengelus puncak kepala Sashi pelan. "Naren ke mana? Masih tidur di kamar?"
"Udah pergi tadi, pagi-pagi banget," kata Sashi, nadanya agak sedikit kesal. "Heran banget sama bocah satu itu. Sok sibuk. Lama-lama mau kulempar sama bekas ompolnya Angkasa biar kapok."
Aksa tertawa pelan dan mengetuk kening Sashi. "Hus, nggak boleh gitu sama suami sendiri."
Sashi mengelus dahinya sambil menatap sebal. Tapi kemudian ia teringat sesuatu. "Ah, iya. Aku boleh minta tolong nggak Mas?"
"Apa?"
"Tolong mintain cokelat yang kayak kemarin ke Renisha." Sashi sengaja memasang wajah memelas untuk membuat Aksa luluh. "Gula darahku rendah banget akhir-akhir ini. Dan aku lagi pengin makan cokelat buatan Renisha. Tolong, ya?"
"Minta sama Naren aja, suruh bawa pabriknya ke rumah," balas Aksa datar. "Kalau perlu, suruh tanam juga itu pohon kakao di kebun belakang."
"Kok Mas Aksa gitu sih jawabnya?" balas Sashi, nadanya dibuat sedih. Sashi memang sengaja, supaya Aksa bisa lebih dekat lagi dengan Renisha. Kalau tidak begini, mereka tidak akan pernah akur, kan?
"Iya-iya." Aksa mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. "Tapi nggak janji, ya."
Sashi tersenyum, sangat lebar. "Sekalian, aku juga mau nyobain kue balok buatan Renisha. Kata Naren enak banget soalnya. Aku mau yang isian keju, selai kacang, sama cokelat lumer."
"Astaga, kamu emang sengaja mau nyiksa aku," balas Aksa, sambil menyugar rambut depannya. "Yaudah, aku mau mandiin Chika dulu."
"Makasih Mas Aksa!" balas Sashi riang. "Angkasa juga bilang makasih, Pakde!"
Senyum Aksa terkulum. Dasar Sashi. Memang paling bisa membuat Aksa luluh dan mengikuti semua permintaannya. Barangkali kalau Sashi keras kepala dan menyuruh Aksa agar tidak menikah dengan Rani, Aksa akan menurutinya.
Sebab, sejak kecil, Aksa merasa gagal untuk melindungi Sashi. Ia belum menjadi kakak yang berguna. Maka, ketika ada kesempatan untuk membahagiakan Sashi, Aksa akan menggunakannya dengan sebaik mungkin. Meski sulit, meski berat, meski itu juga berarti Aksa harus kembali berhadapan dengan monster dari masa lalunya.
***
Renisha mengerjab beberapa kali, memastikan bahwa ia tidak sedang bermimpi. Renisha bahkan mencubit tangannya hingga memerah dan sakit. Namun, sosok Aksa yang berdiri di hadapannya dengan wajah datar masih belum menghilang. Aksa... betulan ada dan nyata.
"Kalau bukan karena Sashi, saya juga nggak sudi," kata Aksa, menegaskan lagi kalimat awalnya.
Saat kelas berakhir di jam tiga sore, Renisha terkejut bukan main saat Aksa tiba-tiba menuju ke bangku Renisha dan mengajaknya bicara. Aksa memang tidak memandang Renisha tepat di mata, tetapi Renisha tahu jika Aksa sedang bicara dengannya. Demi adiknya tercinta, Aksa rela menghampiri Renisha lebih dulu untuk menanyakan cokelat praline dan kue balok. Ternyata, peran Sashi di hidup Aksa kuat sekali.
Renisha jadi curiga, jangan-jangan, Sashi memang sengaja melakukan ini untuk membantunya dekat dengan Aksa! Wah, kalau begini ceritanya, Renisha rela jadi kuli antar cokelat setiap hari.
Renisha menahan senyumnya dengan berdeham. "Kue baloknya ada di kantinku, tapi nggak tau masih ada sisa atau enggak. Soalnya yang suka banyak sementara aku buatnya terbatas." ia membereskan catatannya dan berdiri. "Tapi nggak apa-apa, kita cek aja dulu."
Aksa mengangguk singkat dan bergeser agar Renisha bisa lewat.
Renisha berjalan ke pintu keluar dan Aksa mengikutinya dari belakang. Renisha sengaja memelankan lamgkah kakinya agar Aksa bisa mensejajari Renisha, tetapi, Aksa justru ikut-ikutan memelankan langkah. Renisha berhenti dan Aksa ikut berhenti. Karena kesal, Renisha balik badan untuk bisa menghadap Aksa.
"Pak Aksa bukan anak ayam, kan?" kata Renisha. Aksa memandang dengan kening berkerut. "Pak Aksa kalau jalan jangan dibelakang saya dong. Saya bukan induk ayam, dan Pak Aksa bukan little chicken."
Perlahan, Aksa mendekat Renisha hingga berdiri di sampingnya, membuat senyum Renisha terlukis sangat lebar. Mereka akhirnya bisa berjalan beriringan.
"Kemarin Pak Yanto cerita, loh. Katanya Pak Aksa suka banget sama kue baloknya, bahkan sampai dibungkus buat dibawa pulang." Renisha memulai percakapan dengan menyudutkan posisi Aksa yang kemarin berbohong soal kue balok.
Aksa hanya diam, dan Renisha melanjutkan ucapannya, "Katanya Pak Aksa suka yang gula merah ketimbang cokelat. Ternyata dari dulu Pak Aksa emang nggak suka cokelat, ya. Lain kali aku buatin kue yang nggak ada unsur cokelat-nya deh."
Aksa tetap diam.
Lama-lama Renisha jadi gondok sendiri karena tingkah Aksa. Namun, ia menutupinya dengan senyum. Renisha harus ekstra sabar jika ingin mengambil hati seorang Aksa. Apa tadi? Mengambil hati? Yang benar saja. Renisha hanya ingin bisa berinteraksi dengan normal dengan Aksa, kok. Itu saja.
Mereka akhirnya sampai di blok kantin yang dulunya dipakai Renisha untuk berjualan. Terlihat Sinta yang sedang sibuk mengelap meja dan membereskan piring.
"Sinta!" Renisha melambaikan tangan.
Sinta menoleh dan tersenyum. "Oh, hai." ia melirik seseorang yang berada di samping Renisha. "Sama siapa?"
"Pak Aksa, dosen yang tadi ngajar di kelasku," balas Renisha. "Pak Aksa ikut ke sini mau nyari kue balok. Masih ada nggak?"
"Wah, sayang banget, stoknya udah habis," balas Sinta dengan nada menyesal. "Bungkus terakhir tadi baru aja dibeli sama mahasiswa fakultas sebelah."
Renisha beralih menatap Aksa. "Gimana kalau kita... ke tempat kerjaku? Aku ingat, tadi siang ada pesanan snack. Dan salah satu menunya ada kue balok. Kayaknya masih ada sisa banyak. Pak Aksa, nggak keberatan kalau harus ke sana? Sekalian juga, stok cokelat praline yang kayak kemarin juga ada di sana."
Jika Aksa menerima tawaran Renisha, maka mereka akan berada dalam mobil yang sama, dan pertemuan mereka akan berlangsung lebih lama. Sebab Renisha punya rencana untuk membuat Aksa tinggal. Soal pesanan snack itu, memang benar. Tapi tidak ada kue balok di sana. Renisha tak keberatan menguras tenaga dan membuat kue itu, asal Aksa bisa bersamanya dalam jangka waktu lama.
Masalahnya di sini adalah, Aksa mau atau tidak?
***