Bab 19. Sacrifice

2066 Kata
Sudah seharian berlalu, mereka bahkan tak nyenyak tidur. Saat ini mereka mengandalkan waktu. Waktu mungkin akan berpihak pada Devan.Di ruang kerja dr. Jeon, Arka masih serius memikirkan cara untuk menyelamatkan Devan. Suara ketukan pintu terdengar, seorang perawat masuk dan mendekati mereka. "Ada apa, Suster Dessy?" tanya dr. Jeon. "Kondisi Pak Devan sudah menunjukkan pada level yang tepat untuk dilakukan operasi transplantasi." "Ini sebuah keajaiban," sahut dr. Jeon. Arka menghela napas lega. Untung saja Devan bisa lebih kuat dari yang mereka bayangkan. Sepertinya mereka bersiap-siap untuk melakukan operasi transplantasi. Tak lama setelah perawat itu pergi, Jimmy datang dengan wajah cemas dan pucat pasi. "Keluarga pasien pendonor menolak untuk menandatangani surat persetujuan itu. Sepertinya mereka berubah pikiran. Mereka tetap menginginkan pasien meninggal dengan kondisi sempurna. Mereka tidak bersedia mendonorkan jantung pasien." Arka sangat shock. Padahal segala persiapan medis dan donor organ jantung sudah disediakan untuk Devan. "Kenapa seperti itu? Bukankah selama ini pasien juga seperti mati dan hanya mengandalkan peralatan medis? Kenapa seperti ini? Kenapa mereka ingkar janji?" kesal Arka. Tangannya mengerat pada berkas di atas meja. "Arka, tenanglah!" pinta Jimmy. "Katakan pada mereka, aku berani bayar berapa pun." "Jaga emosi Anda, dr. Arka! Biar bagaimana pun, Anda adalah seorang dokter. Jangan bawa perasaan Anda, ini hak mereka terhadap pasien," tegur dr. Jeon. Arka tampak pasrah. Dia kembali duduk dan menyisakan raut simpati di wajah dua rekan seprofesinya itu. "Saya pergi dulu, menyelesaikan pasien itu. Hari ini, mereka memutuskan untuk mencabut semua peralatan medis. Permisi!" Setelah Jimmy pergi, Arka kembali dengan hati bekunya. Pikirannya berkelana menuju kejadian kemarin. Sumpah serapah Papa Frans kembali terngiang di telinganya. Tak terpikirkan akan bagaimana hati Papa Frans jika kehilangan Devan. Hanya mengingatnya saja, Arka tak sanggup. 'Benarkah ini yang Papa inginkan? Jika Devan selamat, apa Papa nggak akan membenciku lagi?' batinnya. Arka segera duduk di hadapan dr. Jeon dengan wajah serius. Dia sudah mengambil keputusan tanpa memikirkan yang lain lagi. Hanya Devan dan papanya. "dr. Jeon, kenapa tidak terpikirkan olehku? Bukankah saudara kembar memiliki golongan darah dan rhesus yang sama, juga kode genetik yang hampir sama? Tak bisa diragukan lagi kesamaan susunan DNA-ku dengan Devan. Bukankah donor organ dari saudara kembar identik akan meningkatkan keberhasilan operasi?" dr. Jeon terkejut, mulai paham akan maksud ucapan dokter muda itu. Tapi tindakannya ini benar-benar di luar logika. "Siapkan surat perjanjian donor itu, aku akan menandatanganinya! Cepatlah, Dok! Devan takkan bisa menunggu lebih lama lagi." dr. Jeon menatap tak percaya. Dia berang seraya menghentak meja. "Anda sudah gila? Anda ingin menjadi pendonor untuk saudara Anda sendiri? Anda pikir ini lelucon?" Jelas tertangkap oleh dr. Jeon bahwa Arka sendiri yang ingin mendonorkan jantungnya untuk Devan. "Aku serius, Dok. Tolonglah." Arka segera melepaskan jas putihnya. "Saat ini aku memohon kepada Anda. Lihatlah aku sebagai adiknya. Aku adalah satu-satunya yang berhak menolongnya. Tolong, Dokter." dr. Jeon tersenyum sinis. "Kamu terlalu naïf, Arkana! Jangan memakai perasaan! Kita bekerja terikat dengan kode etik. Kita tidak bisa mengambil jantung manusia hidup dan mentransplantasikannya pada pasien lain." Arka sangat kalut hingga melupakannya. dr. Jeon punya alasan kuat untuk menolak. Pikirannya buntu. dr. Jeon hanya tak memahami bahwa Devan begitu berarti untuk Arka. Arka menggulung lengan kemejanya dan meletakkan lengannya di atas meja. "Kalau begitu, beri aku suntik euthanasia. Setelah aku mati, kalian bisa melakukan transplantasi itu. Aku akan membuat surat pernyataan kalau aku melakukannya dengan sukarela." dr. Jeon mulai marah dengan kegilaan Arka. "Anda keterlaluan! Kita adalah seorang dokter. Sekalipun di meja operasi kita mengunakan pisau, bukan berarti kita seorang pembunuh! Lalu sekarang, euthanasia? Suntik mati? Bahkan itu saja dilarang di sini! Hanya dalam kondisi tertentu kita bisa menggunakannya. Sekarang Anda sudah gila dengan semua ketakutan Anda." dr. Jeon tetap memegang komitmen. Dia adalah dokter asal Taiwan yang dipindahkan ke rumah sakit ini. Tak sembarangan bisa menggoyahkan prinsipnya. "Mungkin di luar negeri sana sudah biasa, tapi euthanasia masih dilarang di Indonesia." "Yang terbaring di sana adalah saudara saya. Sampai kapan pun Anda takkan mengerti. Saya hanya seorang adik yang sedang berusaha menyelamatkannya. Berjanjilah Anda akan menyelamatkannya demi saya. Bersumpahlah, Dokter." Arka bangkit, hendak meninggalkan ruangan itu tanpa peduli lagi peringatan dokter senior tersebut. "Apa pun keadaan saya jika kembali nanti, berjanjilah Anda harus lebih memilih menyelamatkan kakak saya." dr. Jeon terpaku dengan kegilaan Arka yang ingin mengorbankan hidupnya demi Devan, saudara kembarnya. * Sudah jam 9 malam. Arka duduk di depan meja belajar di kamarnya. Dia membuka agenda cokelat dengan kunci dari kalungnya. Dia menulis sesuatu di sana. "Suatu saat nanti, bacalah isi hati gue ini, Dev." Arka mencoba tersenyum. Dia merindukan Devan. Mungkin di sana, Devan lelah sendiri. Dia menunggu Arka yang akan menariknya. Devan sedang berusaha mencari cahaya untuk menjemput dunianya, sedangkan Arka justru berjalan meninggalkan cahaya itu. Arka mendekati lemari dan memakai jaket hitamnya. Jaket dengan logo sayap hitam. Black Angel. Dering ponsel terdengar, Arka mengangkat panggilan. "Halo, Ka." "Gue kembali, Za." Arka mengakhiri panggilan. Dia berdiri di depan cermin, menatap pantulan sinar dingin matanya. "Lo salah, Dev. Gue memang Black Angel, tapi gue bukan diciptakan untuk jadi malaikat hitam buat lo. Gue akan buktiin kalo gue adalah malaikat pelindung lo. Lo itu segalanya buat gue." Arka meraih helm di sudut dan menatap kunci sepeda motor di tangannya. Itu adalah motor pemberian Devan di hari ulang tahunnya. "Maaf nggak bisa menuhi janji gue untuk ngajari lo naik motor. Gue harus pergi supaya lo bisa kembali. Sekalipun Tuhan menciptakan lo dengan kondisi nggak sempurna, ternyata ini tujuan-Nya menciptakan gue di sisi lo. Yang kuat akan bangkit, dan yang rapuh akan menghilang bagai buih." Raungan sepeda motor terdengar meninggalkan pelataran menuju Raztan Hospital. * Jimmy melempar Arka hingga punggung sahabatnya itu menghantam dinding. Ada kemarahan dan kesedihan di mata Jimmy. Arka tak peduli, hanya memandang kasur Devan di sudut. "Devan dan bokap lo? Apa cuma mereka yang lo pikirkan? Gue dan Eunha, apa lo pikir kami nggak butuh lo? Segitu pentingnya mereka buat lo sampai lo berkorban sejauh ini, b******k!" "Puluhan tahun ini mereka bisa hidup tanpa gue, tapi tanpa Devan, mereka mungkin akan hancur. Sekalipun Devan yang pergi, gue nggak akan sanggup nanggung kebencian bokap yang lebih dari ini. Ini yang diinginkan orang itu. Mungkin dia akan maafin gue setelah gue nggak ada." "b******k! Bodoh! Lo-" Arka segera merangkul Jimmy. Selama ini, Jimmy menjadi temannya dalam menjalani hidup kelamnya. "Berjanjilah lo akan baik-baik aja! Perlakukan Devan sama seperti lo perlakukan gue. Rasa cinta gue ke Devan jauh lebih besar dari yang lo bayangkan. Kadang gue berharap nggak pernah dewasa. Dulunya kami bahagia dan selalu bareng-bareng. Bukannya lo nggak penting buat gue, tapi tanpa Devan, gue merasa ada yang kosong. Gue nggak bisa bayangkan kalau dia benar-benar pergi, Jim." Jimmy tak bicara. Pengorbanan ataukah kebodohan yang dilakukan Arka ini? "Gue memang bodoh. Jagain Devan dan Eunha buat gue, ya! Cuma lo yang bisa gue percaya.” Jimmy bungkam, bersandar di dinding dengan perasaan hancur. Arka melangkah mendekati Devan. Dia melepaskan kalung dari lehernya, lalu mengaitkannya di leher Devan. Setetes air mata pun jatuh membasahi pipi Devan ketika Arka mencium kening Devan dengan segenap hati. Arka berusaha mengikhlaskan hidupnya, demi Devan. Devan sangat berarti baginya. Mereka adalah dua tubuh satu jiwa, dua jantung dengan degupan yang sama, juga dua hati dengan rasa yang seirama. "Hiduplah dengan baik setelah ini, Kakak." Ketika Arka berbalik, ternyata sudah ada Eunha di sana. Gadis itu berderai air mata. Itulah gadis yang selama ini setia di sisinya meskipun terus disakiti. "Eunha?" Entah bagaimana perasaannya pada Eunha. Akan tetapi, Eunha tetaplah gadis yang berarti dalam hidupnya. Eunha mematung, bahkan isak tangisnya tak terdengar. Arka berjalan mendekati Eunha, tersenyum tipis. Arka memegang lembut pipi itu. "Makasih untuk semuanya." Tangan hangat Arka menelusup ke sisi tengkuk Eunha. Ini pertama kalinya dia mencium gadis itu dengan hasrat yang sama. Dia menyesapi bibir cherry itu. Eunha bahkan tak membalasnya, air matanya terus jatuh. Hanya setengah menit, lantas diakhirinya. "Ingat ini sebagai ciuman pertama kita. Maafin ciuman yang kemarin, gue khilaf. Dan gue juga udah maafin lo karena udah ngasih first kiss lo buat cowok lain." Tangisan Eunha meledak. Dia memeluk Arka erat-erat. Sesekali, tangannya memukul punggung itu. "Tolong jangan lakuin itu! Lo cinta sama gue, 'kan?" Arka mengeratkan Eunha dalam pelukannya. "Jangan terus tanya pertanyaan yang sama, Eunha! Lo yang paling tau siapa yang sebenarnya gue cintai," bisik Arka. "Jangan lakuin itu, please! Gue butuh lo. Nggak apa-apa kalau selamanya lo cuma cinta sama Lisa. Biarkan gue tetap ngeliat lo setiap hari." Hari ini sangat kelabu. Eunha terus berteriak histeris, bahkan hampir saja ambruk kalau saja Arka tidak menyanggahnya. "Tetap cintai gue, sampai kapan pun," lirih Arka. "Karena cuma lo satu-satunya yang mencintai gue di dunia ini. Maaf karena nggak pernah bisa membalasnya." Bersusah payah menahannya, Arka akhirnya bisa melepaskan pelukan Eunha. "Jangan pergi! Arka!" Tak peduli sekalipun Eunha sudah menjerit histeris, Arka tetap pergi. Dengan sigap, Jimmy menangkap Eunha ketika gadis itu kehilangan kesadarannya. "Eunha, sadarlah." Kaki Arka melangkah pasti. Dia berpapasan dengan kedua orangtuanya di pintu masuk. Tatapan Papa Frans semakin kesal melihat Arka kini tak memakai jas putih dokternya. "Mau ke mana kamu? Mau lari dari tanggung jawab?" Arka tak ingin mendengarkan beliau. Dia mengeratkan pelukannya pada Mama Wendi dengan penuh rasa cinta. Papa Frans sangat membenci tatapan itu, enggan peduli. "Ka." "Arka sayang sama Mama. Maafin Arka, ya." "Kamu mau ke mana, Ka?" "Arka mau pergi sebentar. Nggak lama, kok." Arka melepaskan pelukannya dan berdiri tepat di hadapan Papa Frans. Matanya tampak sendu, tetap tak mampu mencairkan kebekuan hati Papa Frans. "Aku harus pergi. Kalau aku kembali nanti, tolong lebih hargai aku, Pa!" Papa Frans tersenyum sinis. "Itu tergantung dengan cara bagaimana kamu kembali nanti!" Arka tersenyum, berjalan meninggalkan rumah sakit. Andai saja Papa Frans dan Mama si kembar tahu bahwa salah satu dari putra mereka kini akan berusaha meninggalkan dunianya. Dia berjalan menuju kematian yang dia rasa mungkin lebih indah dari sekadar hidup. Suara riuh gas sepeda motor terdengar membahana di jalanan panjang yang kini ramai dengan para muda-mudi. Arka kembali ke dunia balap itu. Dulu dia terjun ke dunia hitam ini demi mengisi perut dan dunia pendidikannya. Terjun ke dunia hitam untuk hidup, kini dia kembali ke dunia hitam untuk mati. "Gue nggak nyangka lo balik lagi ke sini setelah 6 tahun, Ka!" ujar Reza. "Lo kangen sama kita?" "Iseng, sih," balas Arka. "Itu kait helm lo, jangan sampai terlepas!" "Sip!" Arka memang sengaja tak mengunci kait helm-nya, mungkin dengan begitu, akan memuluskan rencananya. Balapan segera dimulai. Dia melirik ke arah samping, terlihat musuh besar Black Angel yang sengaja diundang Arka untuk bertanding. Pria bertubuh atletis dengan air wajah dingin. Leon Winata, Leader Genk Scorpion. "Long time no see. Kali ini lo bakal mampus," sinisnya. "Oh ya? Coba aja kalau bisa." Dalam hitungan detik, kedua sepeda motor itu meraung meninggalkan garis start. Detik-detik yang menegangkan. Tak peduli dengan riuh raungan di sekitarnya, bagi Arka seolah hening. Dia menatap sepeda motor Leon yang ada di hadapannya. 'Apa lo bisa bantu gue, Leon?' batinnya. Bertahun-tahun Arka berada di arena hitam ini. Dia bertaruh nyawa setiap harinya, tentu saja dia tak pernah takut akan kematian. Dengan penuh keyakinan, Arka menambah kecepatan gasnya hingga berhasil mendekati bagian belakang sepeda motor Leon. “b******k!" Emosi memuncak kini membakar Leon. Akan tetapi, memang itulah tujuan Arka. Dari kejauhan, Arka melihat seorang gadis yang berdiri di garis finish. Gadis itu adalah Eunha. Dia menangis tanpa henti, takut terjadi sesuatu pada Arka. "Maafin gue." Di depan matanya, sepeda motor Arka jatuh setelah dihantam keras dari arah belakang oleh Leon. Sepeda motor itu jauh terseret di aspal. Para pengunjung dunia balap liar menyeruak histeris. Hati Eunha sangat hancur. Dia melangkah perlahan. Ingin ambruk, tapi dia tetap harus mendekat. "Arka!" Air mata Eunha tumpah, bibirnya gemetar. Darah segar mengalir dari dahi Arka. Helm-nya terlepas saat dia jatuh tadi. Pria itu setengah sadar, napasnya terdengar putus-putus. Eunha segera memeluk Arka setelah Black Angel mengangkat badan sepeda motor yang menimpanya. "Telepon ambulance!" Kejadian yang mengerikan. Lengan gemetar Eunha terus memeluk Arka. "Ka, please." Dia terus memanggil nama Arka agar pria itu tetap dalam keadaan sadar. Dia takut saat Arka menutup mata, Arka tertidur selamanya. Arka yang dicintainya itu kini tengah meregang nyawa. Eunha merogoh ponsel-nya, menghubungi Jimmy. "Halo, Eunha," sambut Jimmy. "Jim, Arka." Arka harus tetap di sisinya. Mungkin jika Devan tahu adiknya berbuat seperti ini, dia juga akan marah dan kesal. Untuk menghidupkan satu jiwa, haruskah mengorbankan jiwa yang lain? Arka tak sadar, dirinya dan Devan adalah belahan jiwa yang terkurung dalam dua raga. Jika sebelah bagian jiwanya pergi, apakah jiwa yang lain bisa hidup?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN