Papa Frans dan Mama Wendi masih setia menunggu Devan di depan ruangan.
Dari kejauhan, mereka menatap pemandangan yang biasa ada di rumah sakit, calon pasien baru. Namun, rasa shock menyerang mereka karena ada Eunha di sana. Baju dan wajahnya terkena noda darah, matanya sembab dan tampilannya kini berantakan. Apa yang terjadi?
Jeritan Eunha terdengar di lorong. Dari arah yang berlawanan, terlihat dr. Jeon dan Jimmy menyambut penghuni Raztan Hospital yang baru.
Papa Frans tertegun ketika korban tabrakan itu tepat dibawa berpapasan dengannya. Mama Wendi histeris.
"Arka!"
Berbeda dengan Mama Wendi, Papa Frans bungkam. Dunianya berhenti berputar sejenak. Ketika tak sengaja tangannya tepat bersentuhan tangan Arka yang penuh darah, Papa Frans gemetar.
"Arka!"
Dengan langah perlahan, Papa Frans berusaha mengikuti mereka. Samar-samar, dia mendengar perdebatan di sana. Arka belum masuk ke ruangan untuk ditangani. Papa Frans tak tahu kenapa dia menjadi seperti ini. Bukankah dia membenci putranya itu? Kenapa sekarang melihat keadaan Arka seperti ini, dia bahkan tak sanggup berdiri?
Biar bagaimanapun, dia adalah seorang ayah. Nuraninya kembali hadir saat dihadapkan pada hal mengerikan ini.
Percakapannya dengan Arka beberapa waktu lalu saat dia minta dihargai ketika kembali itu kini terngiang di kepala Papa Frans. Tanpa sadar, air matanya mengalir.
"Tolong selamatkan putraku, Dok!" pinta Mama Wendi.
Para dokter itu masih belum bertindak. Papa Frans melihat Jimmy, sahabat Arka yang tampak frustasi.
"Mengulur waktu, apa ini yang bisa kalian lakukan?" pekik Eunha.
Terdengar teriakan Jimmy sangat kesal. Dia hanya bisa meninju dinding. dr. Jeon menatap sejenak wajah Arka. Darah itu tetap mengalir sekalipun beberapa perawat sudah berulang kali menghapusnya.
"Aku sudah bersumpah, salah satu dari si kembar harus kuselamatkan," kata dr. Jeon.
"Ini bukan pilihan, dr. Jeon! Anda harus selamatkan sahabatku!" pekik Jimmy.
Papa Frans mematung mendengar pembicaraan mereka.
'Kenapa mereka cuma berdiam diri? Apa yang membuat mereka ragu mengambil tindakan?'
Wajah dr. Jeon terlihat sendu, menatap mereka satu per satu. "Baik Arka atau Devan, keduanya seperti tak ingin hidup lagi.”
Papa Frans memberanikan diri untuk buka suara. Ini pertama kalinya dia ingin peduli pada putra yang bertahun-tahun ini begitu dibencinya.
"Apa yang terjadi? Kenapa kalian tidak menyelamatkannya?"
Mendengar ucapan Papa Frans, Jimmy segera berdiri di hadapan beliau. Air mata mewakili kekecewaan akan takdir, kini meluncur di pipinya. Matanya terlihat marah pada Papa Frans.
"Arka, putra Anda itu, maksud saya, putra yang ada benci itu, sengaja menghadapi kematian demi Anda. Putra Anda itu sengaja mengakhiri hidup hanya untuk mendonorkan jantungnya demi saudara kembarnya, demi kebahagiaan Anda. Sekarang Anda bahagia, Pak Frans?"
Papa Frans terkejut. Begitu besar cinta yang diberikan Arka pada mereka. Dia mematung dengan tangan gemetar.
"Kami berdebat di sini karena kami menerima amanat beliau untuk tidak menyelamatkannya jika terjadi sesuatu padanya. Tapi kami adalah seorang dokter, melakukan segala cara atas izin keluarga pasien. Jadi, Pak Frans, apa keputusan Anda? Anda ingin kami menyelamatkan siapa? Devan atau Arka?" tantang Jimmy.
Suara tangisan Eunha dan mamanya membuat Papa Frans terus mengutuki dirinya sendiri ketika takdir meminta dia memilih.
Selama ini dia selalu mudah membenci Arka, kenapa di saat sekarang ini ketika Arka meregang nyawa, dia tak bisa mengatakan untuk melenyapkan putranya itu saja?
"Atau lebih tepatnya, Anda ingin kami membunuh siapa, Devan atau Arka?" Jimmy mempertegas pertanyaannya.
"Nggak, nggak mungkin."
"Kenapa sulit memilih, Pak? Kenapa tidak katakan seperti biasa saja? Dengan begitu, kami akan masuk ke ruang operasi dan melakukan transplantasi jantung untuk Devan. Putra yang Anda benci itu, kami bisa membantu Anda melenyapkan dia dari dunia Anda, Pak!"
Suara Jimmy terdengar dingin, menyimpan amarah yang besar.
Tangisan dan keheningan pun mengisi detik waktu mereka. Membiarkan Papa Frans tenggelam dengan dunianya dan berpikir.
"Segera lakukanlah operasi transplantasi jantung Devan."
Semuanya shock. Mama Wendi menjerit histeris hingga pingsan. Eunha dan Jimmy seolah tak mampu berpijak. Mereka bersandar di dinding.
Papa Frans sudah mengambil keputusan untuk menyelamatkan Devan, dan merelakan Arka pergi dari dunia ini.
"Please, Om."
Tangisan tiada henti mengiringi hancurnya perasaan mereka. Papa Frans melepas sejenak tatapan menyesalnya pada si putra bungsu, lalu menunduk dan melahirkan satu keputusan penting.
"Kalian tidak dengar kataku? Siapkan operasi transplantasi jantung Devan. Lakukanlah!"
Para petugas medis masih berdebat. Arka masih bisa diselamatkan. Akan tetapi, para dokter tak bisa berkehendak mengingat wali pasien sudah menyetujui untuk tidak menyelamatkan pasien ini.
"Pak Frans, Anda serius?" Jimmy bertanya sekali lagi untuk meyakinkan. Matanya terlihat sedih.
"Tolong jangan lakuin itu! Nggak!"
Kali ini, justru Eunha yang pingsan dan ditolong petugas medis di sana. Keputusan hidup Arka diambil oleh Papa Frans. Benarkah Papa Frans adalah orang yang paling berhak terhadap Arka mengingat perlakuan buruknya selama ini? Jika Arka tahu sampai akhir pengorbanannya ini pun dia tak mendapatkan cinta dan penyesalan beliau, maka ini adalah jalan terbaik. Pergi meninggalkan dunia kelamnya, tak peduli pergi dengan tersenyum atau menangis.
"Anda sangat kejam, Pak Frans!" kecam Jimmy.
Hening.
Suasana di depan ruangan seolah beku untuk keputusan yang diambil Papa Frans.
"Apa yang kalian lakukan?!"
Suasana sendu terusik saat teriakan keras terdengar dari arah berlawanan. Entah sejak kapan Devan sadar. Dia bersusah payah berjalan dengan tangan yang dia eratkan di d**a. Mereka tahu situasi dan kondisi jantung Devan juga memburuk. Dia takkan bertahan jika terjadi hal buruk sekali lagi.
"Kalau kalian nggak selamatkan dia, akan kutuntut rumah sakit ini!" pekik Devan dengan napas berat.
Devan-lah yang paling berhak mengambil keputusan. Setengah hati dan jiwa Arka adalah milik Devan. Jika Arka tahu papanya tak pernah menyayanginya, setidaknya Devan menganggap hidupnya lebih berharga daripada detak jantung milik Devan sendiri. Para petugas medis segera mendorong brankar dan membawa Arka untuk diselamatkan.
"Devan."
Mama Wendi segera menyanggah lengan Devan. Napas putranya itu terdengar berat dan hanya bisa bersandar di dinding.
"Arka pasti akan baik-baik aja," lirih Devan.
Saat Papa Frans menyentuh bahu Devan, tangannya ditepis. Devan menatap dengan binar mata berkaca-kaca. Ada kemarahan yang terkumpul di sana.
"Apa Papa terlalu benci sama Arka? Apa Papa nggak pernah sedetik pun mikirin dia? Bahkan sampai akhir pun, Papa nggak mau membagi cinta Papa ke dia. Apa Papa pernah tau gimana rasanya dibenci sama orang yang Papa cintai? Sakit, Pa, sakit. Harusnya Papa nggak bicara begitu saat dia meregang nyawa."
"Papa minta maaf, Dev," pinta Papa Frans.
"Bukan aku, Pa. Bukan padaku Papa harus minta maaf. Katakan itu pada Arka. Dialah yang Papa lukai. Dialah yang Papa khianati. Aku akan ingat kejadian ini. Aku akan ingat saat di mana Papa dengan tega berusaha membunuh adik kembarku."
Mama Wendi menangis tersedu, sementara Papa Frans bungkam dalam genangan air mata di pelupuk mata yang enggan menetes. Luka dan rasa bersalah kini mengurung hati Papa Frans. Beberapa perawat segera mendekati Devan yang mulai lelah di tengah rasa sakit dan kepedihan yang berusaha menguji degupan jantungnya.
"Pak Devan harus segera dirawat," ujar perawat itu.
Devan menatap sinis papanya, meminta waktu agar bicara sedikit lagi pada beliau. "Aku nggak akan maafin Papa sebelum Arka maafin Papa. Kalau terjadi sesuatu sama dia, kalau seandainya dia benar-benar pergi, silakan Papa tanggung luka dan penyesalan itu seumur hidup Papa. Aku juga akan membawa luka dan kecewaku ini sampai aku mati."
"Dev."
"Nikmati semua luka itu sampai terasa sakit bahkan hanya dengan Papa menghela napas. Aku nggak akan biarin kisah Arka berhenti sampai di sini. Papa akan teringat sama Arka saat Papa ngeliat setiap goresan amarah di mataku. Ini sumpahku untuk adikku, Pa. Akulah yang harus Anda hadapi selanjutnya, Pak Frans."
Devan segera pergi. Setelah itu, Papa Frans dengan leluasa menumpahkan kesedihannya.
"Pa," lirih Mama Wendi sambil mengusap bidang d**a suaminya, berusaha menenangkan.
"Devan benar. Aku harus tanggung semuanya, Ma."
Papa Frans tampak menyesal. Dia terpaksa memilih Devan karena tak ingin pengorbanan Arka sia-sia. Siapa pun di antara keduanya yang berhasil diselamatkan, baik Arka ataupun Devan, mereka mungkin takkan bisa bertahan jika yang lainnya pergi.
Mungkin dengan sadarnya Devan dari kondisi tak stabilnya adalah jawaban dari Tuhan bahwa Dia masih menyisakan sedikit kebahagiaan bagi Arka.
Jalan hidup si kembar tidak berhenti sampai di sini. Babak baru akan dimulai, saat-saat di mana keadaan mulai berbalik. Saat ini, Devan-lah yang berjuang demi Arka, demi cinta dan rasa bersalah yang harus ditebusnya.
*
Kecemasan dan air mata melingkupi waktu seiring para dokter menyelamatkan Arka. Selang oksigen dan infus, juga irama jantung yang terdengar dari Heart Rate Monitor adalah sebagian peralatan medis yang kini menyanggah hidup dan tiap deru napas milik Arka.
Sudah 72 jam berlalu sejak kecelakaan itu. Devan, Eunha, juga orangtua si kembar sangat setia menanti kabar perihal Arka. Sejak tadi, Devan memperhatikan Eunha yang hanya bungkam karena masih terpukul. Seorang dokter memutuskan untuk berterus terang perihal keadaan Arka.
"Kapan dia akan sadar? Apa dia akan terus seperti ini?" lirih Mama Wendi.
"Dok, kenapa Arka belum sadar juga?" tanya Devan.
Dokter itu menatap serius, berisyarat agar mereka siap mendengar apa pun yang dikatakannya.
"Benturan hebat menimbulkan cedera otak yang cukup parah bagi pasien. Dugaan sementara, saat ini pasien juga mengalami Epidural Hematoma, sejenis pendarahan pada bagian selaput pembungkus otak dan tulang kepalanya. Kami akan melakukan operasi tersebut, tapi belum bisa pastikan kapan pasien bisa sadarkan diri."
"Apa ini disebut koma?" Devan berusaha menanyakan lebih jauh kepastian kondisi Arka.
"Ya, seperti itu. Selain itu, lobus temporal-nya mengalami benturan cukup parah. Jika tidak cepat ditangani, maka ketika dia sadar nanti akan berdampak pada kehilangan sebagian memory, juga akan kehilangan kemampuan manusia normal seusianya."
Dunia mereka seakan runtuh saat Arka yang selama ini tak pernah mereka hargai kehidupannya, kini sosok itu justru mulai hancur perlahan karena berpikir tak ada yang mengharapkannya. Mama Wendi menangis tersedu. Dokter muda itu pun sangat sedih karena Arka bukan hanya seorang pasien, tetapi rekan seprofesinya di rumah sakit ini.
"Dan yang harus Anda ketahui, cedera terberat terjadi pada Cerebellum-nya. Otak kecil adalah pusat sistem koordinasi manusia, tempat letaknya jembatan varol yang berfungsi sebagai penghantar impuls gerakan otot-otot bagian kanan dan kiri tubuh. Secara ringkas, dampak terburuk adalah dia bisa mengalami mati otak ataupun jika sadar akan mengalami kelumpuhan permanen."
"Nggak, pasti nggak separah itu, 'kan?"
Kali ini, Devan yang terus bertanya karena berpikir semua ini hanya lelucon belaka. Tidak, adiknya yang tangguh itu bahkan bertahun-tahun menghadapi kematian di arena balapan jalanan. Dia tak mungkin menyerah semudah itu.
"Setelah tes MRI dan CT-Scan, kami berniat membawanya ke Jerman untuk proses penyembuhan dan pemulihan. Jujur, kondisinya memang sangat buruk. Kami harus mengusahakan yang terbaik agar semua analisis itu tidak terjadi pada dr. Arka. Semuanya yang saya jelaskan tadi adalah kemungkinan terburuk agar kalian bisa mempersiapkan diri. Tapi tentu saja kami akan melakukan penanganan untuk penyembuhannya. Berdoalah!"
Hanya tangisan dan penyesalan. Papa Frans meninggalkan ruangan itu karena tak sanggup menatap wajah putra yang dihinanya selama ini. Devan mematung. Eunha sangat shock hingga akhirnya pingsan di pelukan Devan.
"Eunha!"
Seorang perawat datang dan meraih Eunha dari Devan. Hanya tersisa Devan dengan segala kekacauan hatinya.
'Apa yang harus gue lakukan sekarang? Lo jadi seperti ini, selanjutnya apa? Nggak hidup ataupun mati, lo ninggalin semua beban di pundak gue. Apa dengan seperti ini lo menghukum Papa? Juga menguji kesetiaan gue dan hidup ini ke lo? Baiklah. Tetaplah di sana dan lihat semuanya,' batin Devan.
Bahkan takdir membantu Arka menemukan jawaban, akankah dunia mereka hancur atau baik-baik saja tanpa dirinya.
Tiga hari sudah berlalu. Devan terus mengurung diri di kamarnya. Hari-hari dilaluinya tanpa bicara. Betapa menyesalnya dia karena terus kehilangan detik-detik berharga tanpa Arka. Dia mengambil ponsel dan melihat foto Arka di sana.
"Katakan sesuatu! Apa gue sanggup bertahan sampai lo kembali? Sampaikan pada Tuhan untuk memberi kita sedetik aja waktu untuk kita tersenyum bersama dan bahagia. Biarkan jantung ini berdetak dengan cinta hingga akhir."
Ada pesan masuk dari Lisa. Dia sangat marah karena Lisa-lah akar semua masalah ini terjadi.
[Saat tahu apa yang terjadi pada Arka, aku meninggalkan Taipei. Tapi aku bahkan nggak berani muncul di depan kamu karena terlalu pengecut dan malu. Aku tau semua ini salahku. Sekarang aku lagi menemui Arka untuk minta maaf. Tolong temui aku, Dev.]
"Lisa."
Devan frustasi karena harus membenci gadis yang dicintainya. Karena Lisa, Arka harus mengorbankan diri hanya untuk menyelamatkannya.
"Tolong cepat bangun, Ka."
Sementara itu di rumah sakit, Lisa menghapus tetesan air mata yang mengalir di pipinya. Dia menangis sesunggukan tepat di hadapan Arka yang sudah beberapa hari tenggelam di alam bawah sadarnya. Arka pasti sedang tertidur pulas dan tak mau bangun dalam waktu dekat ini. Di sana, dia mengukir sendiri dunia barunya, menorehkan tinta berwarna cerah karena selama ini dia hanya mengenal hitam pekat dunianya.
"Aku harus apa sekarang, Ka? Cuma kamu yang tau tentangku. Aku nggak bisa sendiri. Aku juga tau Devan membenciku. Aku janji akan perbaiki hubunganku dengan dia, tapi aku nggak bisa janji untuk jatuh cinta sama dia, Ka. Karena hatiku cuma milikmu. Aku janji akan sembuh. Kuharap saat aku kembali nanti, kamu udah bangun. Aku cinta kamu, Arkana!"
Lisa mengusap sejenak pipi Arka, lalu meninggalkan satu kecupan di sana. Lisa sangat mencintai Arka, takdir itu tak bisa diubah. Bahkan sekalipun Devan memberikan seluruh jiwa dan raganya, hati yang dicintai Lisa adalah milik Arka. Terukir indah nama pria itu di dasar hati terdalam Lisa.
Knop pintu terbuka, terlihat jelas di ambang pintu seorang pria tampan dengan bias wajah dinginnya. Dia Devan. Perlahan, dia melangkah dan dua binar karamelnya membola saat melihat sebuah koper hitam berada di sisi Lisa.
"Aku pamit, Dev."
Lisa menguntai senyum manis. Dia menyentuh perlahan pipi itu, namun Devan segera menepisnya.
"Ini hukuman untukku, Dev. Ya, aku nggak pantas berada di antara kalian lagi. Aku harus pergi," ucap Lisa.
"Pergi? Kamu bahkan nggak peduli aku maafin kamu atau nggak? Kamu juga ninggalin aku di situasi berat seperti ini? Kamu kejam, Lizzya."
"Ada rahasia di antara aku dan Arka. Jika Tuhan mengizinkan aku kembali, aku akan mengatakannya. Aku-"
"Kalau gitu, jangan pernah kembali!" pekik Devan.
Devan-lah yang paling terpuruk. Kondisi Arka nyaris membuat Devan kehilangan sandaran hatinya. Lisa juga berusaha meninggalkannya. Devan menghela napas lelah, matanya tampak penuh dengan air mata kebencian.
"Jangan pernah kembali lagi atau aku akan benci kamu sampai aku mati!" sengit Devan.
"Jangan membenciku, Dev! Kumohon. Kalau kamu membenciku, aku akan terus ada di hati dan pikiran kamu. Lupakan aku, maka kamu akan terbebas dari semua rasa sakit itu."
Devan mengalihkan wajahnya. Dia pun tak menolak atau menyambut sebuah pelukan yang diberikan Lisa. Gadis ini terlalu egois dengan menyisakan semua rasa sakit hanya utuh milik Devan tanpa peduli pria ini terlalu rapuh menanggungnya seorang diri. Setitik air mata Lisa seolah menguatkan Devan berjuang sendiri mulai detik ini, tanpa dirinya ataupun Arka.
Lisa melepaskan pelukannya dan berbalik. Dia menarik kopernya dan berjalan ke arah pintu. Devan tersenyum miris dan membiarkan gadis itu meninggalkan ruangan rawat Arka, meninggalkan dunianya dan entah kapan kembali.
'Pergilah, bawa cinta ini bersamamu, Lisa. Aku akan lupain kamu. Aku yakin aku bisa hidup tanpa cinta.'
Devan mendekati Arka. Tak ada perubahan apa pun sudah seminggu. Adiknya itu masih koma dan bergantung pada peralatan medis.
"Sampai kapan, Dek? Apa di sana terlalu indah sampai-sampai lo lupa untuk kembali?"
Suara hentakan knop pintu mengusik Devan. Dia menoleh ke arah pintu saat Jimmy masuk ke ruangan bersama Jihan, adiknya.
"Selanjutnya apa?" tanya Devan.
"Hasil MRI teraktual sudah kami kirimkan ke Jerman. Kami sudah menyiapkan segala sesuatunya di sana. Kami menunggu keputusan dari Pak Frans untuk menandatangani persetujuan pengobatan Arka di Jerman," papar Jimmy.
Devan membisu. Genggamannya di jemari Arka pun semakin mengerat. Jimmy dan Jihan tahu apa yang ada di pikiran Devan, ketakutan mulai terlihat di sorot matanya.
"Cedera otak yang dia alami bisa semakin beresiko jika kita terus mengulur waktu," tandas Jimmy.
"Haruskah ke Jerman?" lirih Devan.