Bab 1. Suara Hati
Buku-buku berjatuhan saat Arka sibuk mondar-mandir di ruang tengah rumah sederhana. Rumah yang berdiri tepat di samping rumah megah dengan pelataran taman yang cantik. Rumah sederhana milik seorang tukang kebun, lebih tepatnya.
"Pak Min, motorku di mana? Kok, nggak ada di garasi?"
Terburu-buru ke kampus, sepeda motor itu justru tak terparkir di sana. Biasanya dia selalu memarkirkan si kuda besi itu usai pulang larut, mengitari arena balap jalanan di suasana kelam. Lekas dia menatap penunjuk waktu di dinding, lalu kembali menyusun buku yang bertumpuk. Sebagian sudah memenuhi ranselnya.
"Maaf, Den Arka. Tuan Frans membawa sepeda motor Aden ke garasi rumah utama. Mau disita untuk sementara waktu, katanya."
Hela napas gusar menerbitkan senyum getir di bibirnya. Lantas, Arka berkata, "Makasih, Pak Min."
Pria bernama lengkap Arkana Kenjiro Wijaya itu segera berlari ke rumah besar di samping rumah sederhana yang dia tinggali. Itulah rumahnya sesungguhnya, bukan rumah kecil tukang kebunnya ini.
Hentak sepatunya terdengar ragu menapaki tiap marmer hijau muda, masuk dan melihat suasana menyenangkan di ruang makan. Kedua orangtuanya dan juga Devan, kakaknya. Pria arogan yang tak pernah menampilkan senyum segaris pun seiring Arka menjalani tiap detik hidupnya. Hidup Keluarga Wijaya seolah memiliki dinding batas di mana Arka tak diizinkan masuk untuk berada di antara mereka.
"Pa!" panggil Arka.
"Arka?"
Arka belum berani mengambil langkah pertama, hanya berdiri dan saling menatap pada ibundanya, Wendi. Seolah mereka menunggu izin dari sang penguasa. Frans Wijaya.
"Kenapa berdiri di situ saja? Masuk!"
Arka duduk di antara susunan kursi jati tersebut, tepat di depan Devan. Kakak kembar Arka tampak tak peduli, hanya menikmati suapan dari tiap sendokan. Suasana dingin yang selalu tercipta saat si bungsu Arka menjejaki rumah Keluarga Wijaya.
"Mau makan, Sayang?" tawar Mama Wendi.
Diraihnya piring di sisi tangannya, membuka dan siap menyendokkan nasi goreng yang menjadi menu sarapan pagi ini.
"Nggak, Ma. Aku cuma butuh motorku."
Suara Arka mengiba. Desis sinis dia dengar setelah Papa Frans mengakhiri santapannya.
"Jangan harap akan kukembalikan! Anggap saja itu hukuman karena sikap pembangkangmu!" hardik Papa Frans.
"Tapi, Pa, tanpa motor itu, aku−"
"Diamlah!"
Arka nyaris putus asa. Lidahnya kelu setiap hendak membantah otoritas papanya ini. Tak ada sesiapa pun yang berani berdiri di pihaknya. Memberanikan diri lagi, Arka buka suara. "Kalau Papa sita motorku, gimana aku bisa bayar uang semester? Sebentar lagi ujian praktek dan aku-"
"Pa, apa Papa udah transfer uang bulananku?"
Devan menyela dengan arogan, mengalihkan perhatian papanya. Senyum sinis terurai dengan lirikan tajam pada Arka. Keduanya memiliki garis wajah yang sama sebab kembar identik. Namun, garis takdir keduanya berbeda, juga kasih sayang yang mereka terima sejak kecil hingga menginjak usia 23 tahun.
"Nanti siang, juga uang semester kamu," jawab Papa Frans.
"Pa, please."
Diabaikan begitu saja. Arka tak menyahut lagi, menikmati tiap suapan untuk menghilangkan bias khawatir sang ibunda. Sesekali dia mengangkat pandangan, mendapati Devan, saudara kembarnya itu memberi tatapan menusuk ke arahnya. Seolah rasa sakit Arka adalah sesuatu yang candu baginya.
"Ma, jangan lupa temani Devan untuk check up siang ini!" pinta Papa Frans, bersiap bangkit.
"Tapi aku kuliah sampai jam dua, Pa."
"Nanti langsung mamamu jemput aja ke kampus."
Devan memamerkan kasih sayang kedua orangtuanya pada Arka hanya agar menghardik adiknya. Meskipun terlahir kembar, keduanya diperlakukan berbeda. Karena menderita kelainan jantung sejak kecil, Devan menjadi putra emas di keluarga itu. Arka justru diasingkan dan tinggal di rumah Pak Min. Kebencian yang Arka pun tak mengerti dari mana itu semua berasal.
Usai sarapan, Arka berjalan menuju halte untuk menaiki bus yang melintasi rute di depan kampusnya. Pagi cukup terik, Arka mengusap peluh di dahinya. Hanya seratus meter jarak ke halte. Dirasanya sayang untuk memesan ojek online.
Tak lama, mobil BMW koleksi garasi keluarga Wijaya itu melintas di sisi Arka. Pria itu terhenti, menatap binar sinis kakaknya yang berada di kursi belakang sambil menikmati empuk dan dinginnya AC di dalam. Supir itu menunggu akankah Devan berniat mengajak saudara kembarnya itu untuk ikut bersamanya, atau tidak.
"Mau nebeng, nggak?" sinis Devan. "Nggak tega gue, liat lo jalan kaki ke kampus. Nggak usah kek orang susah gitu, lah! Ngerusak image Keluarga Wijaya aja!"
Devan berkata kasar seperti biasa. Arka mengerti dan mencoba untuk sabar dengan kelakuan kakak kembarnya itu. Ada rasa iri yang terselip di batin Devan sejak dulu hingga merasa adiknya adalah musuh yang harus dia singkirkan.
"Thanks, Dev! Gue bukan lo. Gue bisa jalan kaki, lari marathon, malah! Lo lupa, gue bukan lo. Kalau lo jadi gue, mungkin belum sampe kampus, lo bakalan mati karena penyakit jantung lo itu."
Devan terlihat kesal dengan hinaan sang adik akan fisiknya. Dia segera menutup kaca mobil dan meminta sopir melajukan mobil. Tatapan Arka berubah teduh, sangat menyesal akan serapahnya pada Devan. Dia duduk di bangku halte, memandang mobil itu yang melaju semakin jauh.
‘Gue nggak bermaksud kasar, tapi kenapa lo selalu sinis ke gue? Semua hak gue di rumah itu udah jadi milik lo. Tapi kenapa lo tetap benci gue? Lo abang gue, ‘kan? Gue nggak minta lo untuk bela gue di depan papa, tapi apa nggak bisa lo cukup ada di sisi gue? Kapan terakhir kali kita senyum bareng-bareng, Kak?’
*
Suasana hati yang buruk. Arka tak berkonsentrasi dengan materi yang diberikan dosen di kelas. Tangannya menggambar keluarga kecil yang dulu pernah tercipta, dan dia yang terasingkan sampai detik ini.
‘Kenapa mereka nggak pernah sayang sama gue? Gue anak bungsu, harusnya gue yang dimanja. Andai Devan juga terlahir dengan kondisi kayak gue, mereka pasti nggak bakalan pilih kasih seperti ini. Tuhan, sampai kapan hidupku begini terus?’
Malam harinya, tak ada hal menyenangkan seperti biasa. Arka melamun, sesekali memberi tanda pada buku tebal kedokterannya. Hari-hari rumit akan semakin terasa jika motor kesayangannya itu belum kembali ke tangan. Hanya itu satu-satunya jalan untuk bisa tetap melanjutkan hidup dan bekerja. Frans Wijaya, sang ayah yang terlihat begitu membencinya sampai detik ini.
"Pak Min," panggil Arka.
"Ya, Den?"
"Kenapa Papa masih marah sampai sekarang? Kenapa Tuhan juga membenciku? Kenapa Tuhan merampas hakku untuk bahagia?"
"Aden bicara apa? Sabar, Den."
"Aku ingin terlahir jadi Devan. Meskipun menderita sakit, sekalipun harus ditusuk jarum ribuan kali, asalkan Mama-Papa di sampingku, aku nggak masalah. Aku nggak mau hidup sendiri terus. Kadang aku merasa baik-baik aja. Tapi ada kalanya aku juga butuh mereka, Pak."
"Den, kesehatan itu yang terpenting. Kalau ditanya, pasti Den Devan juga nggak mau di posisinya. Terkurung dengan segala keterbatasannya, itu lebih sakit, Den. Positif aja. Tuan Frans nggak benci Aden. Dia cuma mau fokus ke pengobatan Den Devan dulu."
"Terdengar mudah, Pak Min. Aku yang jalanin ini bertahun-tahun. Sampai kapan? Sampai mereka bisa sembuhin Devan dan Devan bisa hidup sehat? Apa mereka yakin aku masih hidup saat itu?"
"Den Arka!"
"Tiap detik mereka berjuang untuk kesembuhan Devan, dan tiap detik itu juga aku selalu berjalan menuju kematianku. Apa papa yakin aku bisa bertahan dengan perjuangkanku selama ini? Aku bisa mati kapan aja."
"Kalau gitu, berhenti ikut balapan liar. Turuti Tuan Frans dan minta maaf sama dia. Jangan membangkang lagi!"
"Berhenti nge-trek? Dari mana aku dapat uang untuk makan, Pak? Uang kuliahku juga gimana?" protes Arka sembari beranjak dari duduknya. Dia mendekati tukang kebun yang berhati hangat tersebut.
"Itulah kenapa−"
"Papa minta aku untuk kuliah manajemen. Tapi dibandingkan itu, aku justru mati-matian bertahan di kedokteran. Aku buang impianku untuk jadi pemain musik."
Pak Min menganjur napas dalam. Tak tega melihat kesedihan di binar mata si bungsu keluarga Wijaya tersebut.
"Pak Min tau perjuanganku ini untuk siapa? Untuk Devan, untuk Papa. Aku pengen jadi dokter dan bisa sembuhin Devan. Mungkin kalau Devan udah sehat nanti, Papa jadi punya waktu untukku. Mungkin nanti Papa nggak akan pilih kasih lagi. Aku juga bisa main sama Devan kayak dulu lagi. Kakakku yang cengeng itu, aku pengen peluk dia sekali lagi."
Arka masuk ke kamar. Setidaknya dia sudah membuang semua rasa sakit di hatinya, berharap Pak Min cukup mendengarkan hanya agar luka hatinya berkurang.
Ada pesan masuk. Dari saudara kembarnya, Devano Kenichi.
[Gimana hari ini? Ada sedikit kebahagiaan buat lo? Masih sanggup hidup?]
"Sialan!"
Arka malas membalas dan melempar ponsel-nya.
Sementara itu, di rumah besar keluarga Wijaya, Devan membuka gorden di kamar dan tatapannya tertuju pada jendela kamar di rumah. Devan melihat ke arah kamar Arka.
‘Please, balas, nggak peduli sekalipun makian. Gue cuma mau tau keadaan lo, Ka.'
Devan berjalan ke sisi kasur, lalu membuka galeri ponsel-nya. Masih dia simpan foto kenangan dulu ketika masih remaja. Saat itu, mereka sangat mirip ketika keduanya tersenyum bersama. Masih berpegangan tangan sebelum kebencian mulai menjebak keduanya.
'Kenapa lo tinggalin gue? Dulu lo bilang mau sama-sama gue terus, tapi apa? Hidup bebas di luar sana, kenapa biarin gue terkurung di sini sendirian? Lo selalu bilang akan jagain gue, kan? Kenapa takut sama Papa?’
Devan merindukan adiknya. Arka adalah satu-satunya teman yang dia punya. Dia membenci Arka yang pada akhirnya juga meninggalkannya sendiri di istana yang mengurungnya.
‘Kenapa lepasin gue saat papa nyuruh lo jauhin gue? Gue di sini, nunggu lo balik lagi jadi malaikat gue kayak dulu. Lo bilang, kita susah senang bareng-bareng, kenapa sekarang lo jadi orang asing? Kita kembar, tapi kenapa cuma gue yang sakit? Seenggaknya lo tetap di sini, di samping gue.’
Devan bangkit dari kasur, lantas mendekati laci meja dan mengambil botol kecil berisi pil yang selalu dikonsumsinya.
“Apa seumur hidup, gue akan selalu bergantung sama obat ini?”
Dua saudara yang saling membenci meskipun merindukan.
*
Arka sangat gusar sambil memegang ponsel-nya. Mondar-mandir di kamar, menggaruk kepalanya hingga sesekali memekik kesal.
"Sial! Motor disita bokap! Gimana gue bisa nge-trek? Minggu ini harus bayar uang semester lagi."
Ada panggilan masuk dari temannya. Logo sayap hitam muncul pada ikon jendela kontak bernama Reza.
"Ya, Bro!"
"Hei, lo di mana? Udah mau mulai nge-trek, nih! Genk Eagle udah datang,” sahut Reza dari seberang panggilan.
"Sorry, Bro! Kali ini gue absen. Motor gue disita bokap."
"Padahal lo itu jagoannya Black Angel. Tapi ya udahlah, biar Andre aja yang turun."
"Gue usahain bisa dapat lagi tuh motor. Ntar kalau ada yang nantang lagi trus bayarannya gede, kasih gue, ya!"
"Oke."
Hilang kesempatan mendapatkan uang. Arka berbaring untuk mengakhiri malam. Hanya mengurai napas gusar, lalu berusaha memejamkan mata agar memiliki tenaga untuk bisa melewati kesulitan di esok harinya.
Keesokan harinya, Arka mematung menatap Devan dan ibunya yang berbicara akrab. Dia memberanikan diri masuk ke rumah megah itu.
"Ma! Aku boleh masuk?"
Mama Wendi beranjak dari duduknya, Devan tersenyum sinis pada adiknya yang selalu membiaskan wajah sendu itu.
"Berani banget lo nginjak kaki ke rumah ini. Kalau ketauan bokap, lo bisa mati," sinis Devan.
Cukup bagi Arka mendengar hinaan itu. Devan tak pernah bersikap baik meski dia berusaha menjauhi sesuai perintah papanya.
"Mati? Bukannya selama ini papa juga menganggap gue nggak pernah ada, ya?"
"Arka!" tegur mamanya.
"Nyadar juga lo!" ujar Devan, lalu beranjak dari sofa dark brown tersebut. "Ma, aku ke kamar dulu."
Setelah Devan pergi ke kamarnya, Mama Wendi berbicara leluasa dengan Arka. Dia sangat merindukan bicara berdua dengan putra bungsunya ini.
"Ada apa, Ka?"
"Maaf kalau aku nggak izin papa dulu masuk ke rumah ini. Aku lagi butuh Mama. Tolong bujuk Papa untuk balikin motorku!"
"Sayang."
"Ma, aku butuh makan, aku perlu motorku. Aku nggak akan ngeluh untuk semua sikap Papa, tapi balikin motorku. Aku janji nggak akan ganggu Devan lagi. Aku−"
Mama Wendi menahan tangis, lalu memeluk putra kecil yang dikasihinya itu. "Kamu anak tersayang Mama, ini rumah kamu juga. Jangan bicara lagi! Mama kangen sama kamu, Ka."
Arka terhenyak, seolah melepas lelah di pelukan ibundanya ini. Beliaulah satu-satunya yang berada di pihak Arka. Tak seperti ayahnya yang arogan, atau Devan yang egois, sang mama menyayanginya meski dia selalu takut akan kekuasaan sang suami di rumah itu.
Mama Wendi melepaskan pelukannya, lalu pergi ke lemari sudut untuk mengambil kunci motor. Gegas, dia menyerahkannya pada Arka.
"Ambil motornya di garasi!"
"Tapi, Ma, kalau papa tau-"
"Itu biar mama yang urus. Kamu lagi perlu uang? Nanti mama transfer, ya?"
"Nggak perlu, Ma. Aku bisa cari uang sendiri."
"Tapi, Ka−"
"Bukannya fasilitas Mama diblokir sama papa? Mama nggak bisa pakai rekening lama untuk transfer ke aku, kan? Mama harus minta uang tunai sama papa dulu kalau perlu uang."
"Mama akan cari cara untuk-"
"Aku baik-baik aja."
Arka memeluk hingga beliau menangis. Dia mengerti rasa takut sang ibu. Pun tak terlalu menuntut banyak karena memang dia bisa merasakan cinta beliau bukanlah kepalsuan.
"Maafin mama. Mama memang nggak berguna."
"Siapa bilang?"
Arka tersenyum sambil memegang tangan beliau. "Mama berguna buatku. Gantiin aku jagain Devan, ya! Aku ini udah 22 tahun, bukan anak kecil lagi. Suatu saat nanti, aku jadi orang sukses dan akan ambil Devan dari Mama. Aku titip Devan dulu. Aku pasti bisa sembuhin Devan."
Sangat lembut tutur sang putra menyejukkan relung hati Mama Wendi. Air matanya berkumpul penuh di kelopak.
"Devan itu milikku, Ma. Bukan papa atau mama, tapi aku yang paling berhak atas Devan. Bilang sama Papa, Devan sakit begini bukan karena aku. Aku nggak bersalah. Aku nggak pernah berpikir untuk nyakitin Devan."
Arka berbalik dan pergi meninggalkan rumah besar itu. Cita-citanya saat ini adalah bertahan hidup, lalu menjadi dokter bedah jantung untuk bisa menyembuhkan sang kakak. Balapan liar adalah cara tercepat yang dipilihnya untuk mengisi dompetnya. Bahkan meski kematian menanti, asanya tak pernah surut. Demi cinta keluarga yang dia butuhkan.
Saat mulai larut, jalanan komplek perumahan Orchid justru mulai ramai. Para remaja berkumpul untuk balapan liar. Arka salah satunya. Dengan jaket kulit hitam dengan helm berlogo sayap hitam, dia sudah standby di atas motornya.
"Bro, lo harus menang!" sahut Reza, leader dari grup balap mereka, Black Angel.
"Berani taruhan berapa duit dia?" seru Arka.
"Sepuluh juta, Bro."
"Lumayan, lah, buat uang kuliah gue!"
"Hati-hati, Bro, gue agak aneh sama tuh orang," tegur Reza, menunjuk pada saingan balapnya kali ini.
Seorang pengemudi dengan tubuhnya yang cukup mungil berbalut jaket itu berada di atas motor yang cukup jauh dari Arka. Dia hanya sendiri, tak punya tim untuk mendukungnya.
"Kenapa?"
"Dia anak baru, gitu. Sebulan ini, dia nantangin tiap genk motor untuk nge-trek dan berani bayar tinggi."
"Bodo amat. Pokoknya, gue harus menang."
Lawannya itu pun mendekat dan bersiap di garis start. Bendera berkibar dan mereka beradu cepat. Rute lintasan itu sudah menjadi makanannya tiap malam. Arka bisa menyalip dengan mudah dan bisa menyelesaikan rute balapan. Arka, si jenius dari Black Angel.
"Mantap, Bro! Ini duitnya," kata Reza sambil menyerahkan amplop itu pada Arka.
"Berapa persen?" tanya Arka.
"Ambil aja semuanya."
"Mana bisa gitu," tolak Arka, sopan.
"Buat lo aja. Anak-anak juga oke, kok. Lo itu kebanggaan kita. Tanpa lo, Black Angel itu cacat. Lo itu sayapnya kita. Jadi, usahakan untuk tetap ada di tim, ya!"
"Thanks, Bro!"
Senyum haru terukir di bibir karena kawanan Black Angel selalu melindunginya.
Rintik pun turun. Saat mulai sunyi, Arka melihat lawannya tadi masih duduk di atas sepeda motornya. Begitu penasaran identitas di balik helm itu. Arka mendekat, berusaha ramah.
"Bro, tadi lo juga keren banget mainnya. Lo dari genk mana? Kenapa sendirian aja? Oh iya, gue Arka."
Arka mengulurkan tangan untuk mengajukan salam damai dan perkenalan padanya. Rivalnya itu membuka helm. Arka terkejut karena mengenal sosok di balik helm itu. Hampir saja jantungnya merosot jatuh karena tak menyangka akan siapa yang dia lihat.
"Eunha?"
Gadis cantik berambut hitam sebahu itu segera memeluk Arka dan menangis sesenggukan. Arka masih berpikir ini adalah mimpi.
"Lo ke mana aja, Ka? Gue kangen banget. Lo nggak ada kabar sejak tiga tahun lalu. Gue senang bisa ketemu lo lagi."
Arka masih terkejut, segera melepaskan pelukan Eunha. Matanya berulang kali mengerjap, terlihat ragu apakah yang dilihatnya ini nyata.
"Kenapa lo naik motor? Setau gue, lo trauma dan-"
Arka berhenti bicara saat Eunha memegang pipinya. Bias manis gadis itu masih sama seperti yang dia ingat.
"Gue bukan Eunha yang dulu. Gue belajar naik motor dan ikut dunia hitam ini. Gue nantangin tiap genk motor cuma untuk nyari lo. Dan akhirnya, gue bisa ketemu lo lagi. Gue kangen lo."
Arka memanyunkan bibirnya dan mencubit pipi Eunha. Cinta gadis ini sangat tulus hingga Arka bersyukur masih ada yang menyayanginya.
"Ternyata beneran, gue kira mimpi," kekeh Arka dengan gemasnya melihat si gadis cantik itu cemberut dengan pipi menggembung.
"Apaan, sih? Harusnya, kan, nyubit pipi sendiri."
Pemuda beralis tebal itu tersenyum sambil mengusap pipi merah mantan kekasihnya ini.
"Masih se-chubby dulu. Tapi, lo serius Eunha mantan gue? Kenapa jadi cantik?"
Eunha mengetuk jidat Arka. Keduanya memang dekat seperti ini. Arka yang sangat ceria meski menyimpan luka di hatinya.
"Ke kontrakan gue, yuk!"
Arka menyusul sepeda motor Eunha, sesekali melirik mantan kekasihnya itu. Masih dia ingat drama balapan tadi. Mantan kekasihnya ini membuatnya kagum, meski sudah berlalu tiga tahun lamanya.
‘Kerennya!’