Arka merasa sakit dan cemburu di saat bersamaan. Gadisnya itu kini mulai membagi perhatiannya pada kakaknya sendiri. Haruskah Devan merebut lagi yang menjadi miliknya?
Mungkin dengan satu sentuhan saja akan meyakinkan Eunha kalau di hatinya hanya ada Arka, tak boleh ada Devan. Arka benar-benar egois. Arka memaksa untuk menciumnya hanya untuk melampiaskan amarah dan kekesalannya. Eunha membenci perlakuan Arka itu.
Eunha berhasil mendorong Arka dan memberi tamparan keras padanya. "Jangan pernah mencium gue cuma untuk nahan gue di sisi lo, itu bukan cinta. Lo udah nyakitin gue, Ka."
Menyadari reaksi Eunha, Arka mulai gila. Dia tertawa sinis sambil bertepuk tangan. Eunha justru terkejut saat menyadari ada kesedihan di mata Arka.
"Wow! Lo hebat, Eunha. Lo udah nampar cowok lo sendiri karena udah mencium lo? So, cowok lain yang dengan mudahnya mencium lo di depan gue, lo nggak keberatan?!"
"Apa yang lo bicarakan?"
Arka tersenyum sinis dan memegang pipi Eunha. "Lo mencintai gue sedalam itukah? Sepuluh tahun? That’s bullshit! Pria yang lo cintai ini, sejauh mana lo mengenalinya? Kenapa nggak bisa bedain pacar lo sendiri dengan pria itu? Kenapa?"
Di hadapannya, Arka menunduk dengan segala kekalahannya atas Devan. Gadis itu melukainya sedalam ini. Dia menjauhi Eunha selangkah. Eunha seakan gemetar mendengarnya, suara-suara Arka terdengar sangat menyakitkan. Arka terlihat hancur saat ini di hadapannya.
"Arka."
"Gimana lo bisa ngelakuin itu? Lo terima itu, lo menikmatinya! Lo membalas ciumannya! Kenapa lo sekejam ini, Eunha? That's our kiss. Lo yang udah nyakitin gue sedalam ini, Eunha."
Eunha bahkan tak mampu mencerna setiap kemarahan dan kekecewaan Arka terhadapnya. Arka menatap bibir ranum Eunha yang baru saja diciumnya dan membuat gadis itu marah.
"Malam itu di pesta, bibir yang mencium lo di sini, itu bukan milik gue. Kenapa lo nggak sadar?"
Eunha gemetar mendengarnya.
"Malam itu, lo mencium Devan di depan mata gue. Kenapa, Eunha? Kenapa lo mencium dia? Yang terlihat aja nggak bisa lo bedain, gimana lo bisa ngelihat hati gue ini? Luka yang lo goreskan di sini itu jauh lebih sakit."
"Arka."
"Lo sahabat gue, satu-satunya keluarga gue. Apa gue sekarang harus kehilangan lo juga untuk Devan?"
Setelah tahu akan kenyataan itu, Eunha menangis sesunggukan di hadapan Arka. Entah kenapa, Arka hanya melihatnya saja.
'Menangislah, Eunha. Nikmati rasa sakit itu. Dengan begitu, lo akan sadar betapa lo mencintai gue. Cuma gue, Eunha, jangan pernah mikirin dia lagi,' rutuk batin Arka.
Eunha sangat shock dan sedih. Dia pergi meninggalkan pelataran rumah Wijaya.
Nada ponsel Arka terdengar. Panggilan masuk dari dr. Jeon.
"Halo, Dok," sambut Arka.
"dr. Arka, hasil tes untuk pasien itu sudah keluar. Positif. Tingkat kecocokan hampir 70%. Sepertinya, kita mendapatkan donor jantung untuk Saudara Devan."
Arka sangat bahagia mendengar kabar itu. "Benarkah? Baiklah, saya tutup dulu."
Arka tersenyum menatap ke arah rumah Keluarga Wijaya. "Syukurlah. Setelah ini Devan akan sembuh dan pastinya, Papa nggak punya alasan lagi untuk benci sama gue."
Yang dipikirkan Arka hanyalah Devan.
Sementara itu, acara dinner romantis sudah berjalan sekitar lima belas menit. Rona bahagia jelas terpancar di wajah Devan. Lisa justru terlihat gugup dan tak sabar mengatakan keputusannya. Devan pun mengambil kotak cincin dari sakunya, hendak menyampaikan inti dari dinner romantis ini.
"Aku mau putus, Dev."
Devan terkejut. Tangannya gemetar saat menatap mata dingin Lisa. Di depan matanya, Lisa melepaskan cincin pertunangan yang selama ini tersemat di jarinya. Bahkan baru beberapa bulan mereka mengikat hubungan.
"Apa yang kamu bicarakan, Lis? Kamu bercanda, kan?"
Devan memperjelas pertanyaan, berharap Lisa mungkin sedang bercanda.
"Aku mencintai Arka, Dev. Aku rasa selama ini kamu tau. Aku nggak bisa terus-terusan menipu perasaanku. Aku nggak bisa jalani hubungan terpaksa ini. Aku terima pertunangan ini dulu karena Arka yang minta, juga karena aku segan sama Om Frans. Sekalipun aku nggak bisa bersama Arka, sampai kapan pun aku nggak akan bisa mencintai kamu."
Tanpa memberi kesempatan bicara, Lisa pergi saja meninggalkan Devan. "Lisa?"
Bagai mimpi buruk. Devan benar-benar terkejut dengan kenyataan pahit itu. Semua persiapan yang dia lakukan, kini berubah seperti sampah.
"Nggak, nggak mungkin."
Detak jantung yang memburu membuat Devan gemetar. Deru napas yang tak stabil menyebabkan pandangan Devan kabur.
Sambil memegang d**a kirinya, dia segera berlari ke kamar, hanya untuk mencari pil pereda rasa sakitnya. Dia tak sanggup lagi berdiri dengan kedua kakinya.
Rasa sakit dan kekecewaan itu seakan menusuk tepat di jantungnya. Dia tak mempedulikan panggilan cemas kedua orangtuanya dan mengunci pintu kamarnya dengan rapat.
"Devan!"
"Sayang, buka pintunya!" pekik Papa Frans.
Devan tak peduli. Dunianya seakan hening dan hancur. Rasa sakit di jantungnya membuatnya nyaris hilang kesadaran. Dia ambruk saat sedikit lagi menyentuh laci meja di sudut. Devan terbaring di sana, merasakan tiap degupan yang menyakitkan di dadanya.
'Arka, ini sakit banget. Lo benar, gue nggak kan bisa ngalahin lo. Gue berhenti sampai di sini. Maafin gue, Dek,' batinnya.
Di dalam hatinya, Devan terus memanggil Arka. Sebesar apa pun kebencian yang bersarang di hati mereka, itu semua takkan menghapus janji setia mereka sewaktu kecil.
Di sisi lain, Arka menghentikan langkah saat merasakan sakit yang bersarang di dadanya. Hanya sekali degupan yang menyakitkan, Arka tahu ada sesuatu yang buruk terjadi pada Devan.
"Devan?"
Dia pun berlari dan menerobos masuk ke rumah papanya. Di depan pintu kamar yang tertutup, Arka melihat kedua orangtuanya sangat cemas dan terus mengetuk pintu kamar Devan.
"Devan!" panggil Arka.
Arka mendekati mereka, enggan mempedulikan tatapan sinis Papa Frans. Mama Wendi bernapas lega dengan kehadiran Arka.
"Untuk apa kamu ke sini?!" hardik Papa Frans.
Arka tak menggubris. Dia memeriksa pintu yang terkunci dan siap untuk mendobraknya.
Beberapa kali Arka mendobrak pintu hingga merasa tulang bahunya seakan remuk.
Dengan sebuah tendangan, akhirnya pintu berhasil dibuka.
"Devan!"
Mereka terkejut dan segera mendekati Devan yang sudah tak sadarkan diri lagi. Papa Frans segera memeluk Devan, Mama Wendi menangis sedih. Arka justru sangat terkejut, bahkan tangannya gemetar.
"Devan."
Arka segera mendekati. "Biar aku bantu, Pa."
Arka mencoba mengambil Devan dari pelukan Papa Frans. Dia ingin membawa Devan secepatnya ke rumah sakit. Tak peduli dengan kecemasan Arka, Papa Frans tetap marah. Dia mendorong bahu Arka agar menjauh dari Devan.
"Jauhi dia! Pergi dari hadapanku!" kecam Papa Frans. "Ma, telepon ambulance!"
Mama Wendi sangat cemas dan segera menghubungi ambulance. Sementara itu, Papa Frans tetap meluapkan amarahnya pada Arka.
"Kenapa harus Devan? Kenapa harus kamu yang saat ini ada di hadapanku? Aku sudah menyuruhmu pergi! Kenapa Tuhan tidak mengabulkan permintaanku? Aku ingin Devan-ku."
Arka tak peduli. Sikap keras kepala Papa Frans hanya akan mengulur waktu dan Devan bisa dalam bahaya. Arka tetap berusaha menarik Devan dari pelukan papanya. Setetes air matanya jatuh untuk rasa sakit Devan dan makian yang dilontarkan Papa Frans.
"Pergi! Kamu hanya akan menyakitinya! Pembawa sial!"
Mama Wendi menangis perih. Hingga akhirnya, Arka berhasil meraih Devan dari Papa Frans.
"Biarkan aku meluk Devan, Pa. Dia kakakku."
Malam yang kelabu, tak ada yang berharap ini semua bisa terjadi. Bagai mimpi buruk di dunia kelam mereka.
*
Detik jam berlalu sangat cepat di depan salah satu ruangan Raztan Hospital. Ruangan putih terasa sangat mencekam diiringi suara dari Heart Rate Monitor. Arka, Jimmy, dan dr. Jeon kini tengah berusaha menyelamatkan secercah cahaya kehidupan milik Devan. Sesekali, Arka menghentikan aktifitasnya karena merasa air mata memenuhi pelupuk matanya.
"Ka, istirahatlah! Biar kami yang tangani," ujar Jimmy.
Arka menjauh karena dia sudah tak fokus lagi. Jimmy, dr. Jeon dan petugas medis lain masih terus berusaha menyelamatkan Devan.
"Detak jantungnya sangat lemah, apa yang harus kita lakukan?" tanya Jimmy.
"Saat ini tekanan darahnya juga tak memungkinkan untuk melakukan transplantasi jantung. Apa tidak ada cara lain?" imbuh dokter yang lain.
"Kita tunggu kondisinya stabil terlebih dahulu. Saat ini, hidupnya sangat bergantung pada alat medis. Jika dalam 12 jam ini persyaratan operasi memungkinkan, maka tingkat kegagalan operasi bisa diminimalisir," tutur dr. Jeon.
Arka mematung pembicaraan mereka.
"Donor organ itu apa cocok untuk pasien? Apa tidak terlalu beresiko?"
"Bagaimana jika terjadi gagal jantung? 70% tingkat kecocokan juga tidak menjamin operasi berhasil."
Di luar ruangan, Papa Frans dan istrinya menunggu dengan rasa was-was. Derai air mata dan ketakutan menyelubungi mereka. Eunha pun merasakan takut yang hebat. Jika terjadi sesuatu pada Devan, maka Papa Frans akan semakin membenci Arka.
Arka pun keluar dari ruangan. Matanya terlihat basah dan gugup. Saat ini, dia juga tak ingin menampakkan raut sedih pada kedua orangtuanya.
"Bagaimana keadaan Devan, Ka?" tanya mamanya.
"Kondisinya memburuk, kami butuh waktu untuk menjalani operasi. Bersabarlah." Hanya itu yang bisa dia sampaikan.
Arka melangkah meninggalkan mereka. Dia hanya ingin menenangkan emosinya yang memuncak saat ini.
"Semua ini karenamu!"
Bentakan Papa Frans menghentikan langkah Arka. Akan tetapi, dia enggan berbalik hanya untuk menatap kebencian di mata beliau.
"Harusnya kamu yang ada di sana! Andai kamu yang ada di sana, mungkin aku tak terluka seperti ini! Harusnya kamu tak pernah terlahir ke dunia ini. Mungkin dengan begitu, putraku akan baik-baik saja."
"Pa, sudahlah."
Perkataan itu sangat menyakitkan. Eunha menangis dan memegang lengan Arka. Namun, Arka harus kuat. Dia adalah seorang dokter yang kini diharapkan oleh Devan. Dengan langkah pasti, Arka pergi tanpa meninggalkan sepatah kata pun pada mereka.