6. Pelipur Lara

1948 Kata
Kulihat wajah Rama menjadi kaku dan tampak marah. Giginya terlihat bergemeretak saat tangannya mengepal kuat. Aku tebak, dia ingin sekali meninju laptopnya bila tak ingat angka yang harus dibayarkan untuk mengganti ketidaksabarannya. Sedangkan Kiki tak jauh berbeda. Dia tak mengedipkan mata menatap layar laptop. Dahi Kiki berkerut, matanya terbelalak tak percaya, mulutnya menganga lebar, sangat lebar. Baru ketika ada seekor lalat mampir ke dekat mulutnya, kedua tangan gadis berambut ikal itu menutup mulut yang menganga. Saat aku mendekati mereka berdua, tak satu pun menoleh padaku. Mungkin, mereka terlalu sibuk dengan pikiran mereka sendiri sehingga tak menyadari kehadiranku sama sekali. Tak lama, Kiki menyadari kehadiranku, dan menatapku bergantian dengan layar laptop. Merasa tak percaya dengan apa yang dia lihat. Mulutnya menganga, seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi tak terucap. Aku pun semakin mendekat ke layar laptop untuk mencari tahu. Sehingga aku pun menyadari apa yang tengah terjadi saat ini. Terjawab semua teka-teki mengapa wajah Kiki seperti melihat hantu. Mungkin, Kiki ingin menanyakan, apa benar akulah yang dia lihat di tayangan YouTube tersebut. Mungkin juga, dia ingin memaksaku untuk tidak mengakuinya. Tentu saja saat ini dia ketakutan setengah mati. Sosok yang dia bilang anjing galak penggigit Rama ada di hadapannya, dan itu adalah atasannya sendiri. Salah-salah, takut dipecat, 'kan? Kiki tentu tak tahu, apa yang ada di kepalaku saat ini sama sekali tak ada hubungannya dengan pemecatan. Aku hanya merasa sangat sedih karena ada yang tega merekam dan mempublikasikan aib yang kubuat. Sinta yang cantik dan anggun, telah menggigit sosok yang selalu dia gandeng dengan sangat ganas! Habislah sudah wibawaku di mata para penggemar. Musnahlah sudah pesona keanggunanku yang dengan susah payah kujaga selama ini. Aku yakin, setelah ini, orang akan memperlakukanku seperti sampah. Inilah hal yang paling tidak kusukai dari duniaku. Di mana privasi menjadi konsumsi publik. Sejak kecil, orang akan meliput apa pun tentang kehidupanku dan keluarga hanya karena orangtuaku adalah publik figur. Pesta ulang tahun, percakapan dengan pengasuh, mainan yang aku beli, nama kucing-kucing, judul n****+ dan komik yang k****a, atau bahkan koleksi sandal dan sepatu. Hal ini mulai mereda setelah mama mengurangi aktivitasnya di dunia hiburan karena memilih untuk merawatku dan berusaha menjadi istri yang baik untuk papa. Maklum, papa adalah lelaki pencemburu sekalipun tahu mama hanya bermesraan dengan artis lain hanya untuk keperluan akting. Lama-lama papa tidak tahan juga. Apalagi bila mulai ada gosip miring tentang hubungan mama dengan lawan mainnya di suatu sinetron. Seingatku, papa pernah bertengkar dengan mama karena hal tersebut, mengancam akan meninggalkan mama dan membawaku pergi bersama beliau. Untunglah, mama adalah wanita waras yang memilih keluarga sebagai prioritas. Lagi pula, hal yang ditawarkan papa jauh lebih baik daripada semua kemewahan yang akan mama dapatkan bila memaksakan diri bekerja sebagai artis. Dengan demikian, berakhirlah drama keluarga. Papa pun semakin mencintai mama. Beranjak ke usia remaja, saat aku mulai menekuni dunia modelling, lagi-lagi media mulai menyoroti kehidupan sehari-hariku. Hal ini berimbas pada kehidupan orang-orang di sekitarku, termasuk Rama. Kehidupan Rama yang tadinya tenang, jadi sering diburu wartawan karena dikira pacarku. Rama bilang tak mengapa, tetapi aku tidak merasa demikian. Aku melihat dia sangat terganggu dengan hal itu. Aku menjadi jarang bermain dengan Rama karena semakin sibuk. Kalaupun sedang libur, kami hanya bisa main dan nonton film di rumah saja supaya waktu kami tidak terganggu bila keluar rumah. Berkurangnya frekuensi pertemuan kami, menjadikan aku sangat menghargai setiap detik bersama Rama. Oleh karena itu, selepas SMA, aku mengatakan ke mama ingin berhenti menjadi model dan mengambil sekolah fashion saja. Alasan formalnya, karena aku ingin menjadi seorang designer, profesi yang pasti akan mengijinkanku menghabiskan waktu bersama Rama selama mungkin. Berhenti menjadi model dan memilih profesi yang sama dengan Rama memang benar-benar keputusan yang tepat. Tak pernah aku melewatkan hari tanpa bertemu Rama. Hidupku terasa lengkap tanpa kekurangan suatu apa pun. Apalagi setelahnya, kami memutuskan untuk membuat butik R&S. Kebersamaan dengan Rama adalah sebuah keniscayaan dan kebutuhan mutlak untukku. Work hard, play harder adalah motto kami. Hanya saja, masalah memang terus saja berdatangan. Terjun ke dunia bisnis membuatku sadar bahwa ternyata talenta saja tak cukup untuk memikat hati pelanggan agar melirik produk kami. Modal usaha, yang bersumber dari trust fund yang kami peroleh dari orang tua kami, jumlahnya terbatas. Sehingga untuk berhemat, kami memakai strategi pemasaran online dan hanya menggunakan aku dan Rama sebagai modelnya. Tak disangka, hal inilah yang justru membuat butik adi busana baru kami cepat naik daun. Di sinilah akhirnya aku merasa kelakuanku tidak sesuai dengan isi hati. Aku justru memanfaatkan gosip yang beredar tentang hubunganku dan Rama sebagai ajang promosi kami. Saat itu, aku sama sekali tak pernah berpikir apa yang akan terjadi pada bisnis kami bila publik mengetahui hal-hal memalukan, seperti ketika aku bertengkar dengan Rama. Harusnya aku sadar bahwa cara instant tidak akan membuahkan hasil yang memuaskan. Mengedukasi pelanggan tentang keunggulan gaun rancangan kami tentu akan lebih baik, walaupun akan membutuhkan waktu yang cukup lama dan biaya yang tak sedikit. Cara instan memang selalu tampak lebih menggiurkan. Walaupun konsekuensinya begitu menyebalkan. Kupandangi lagi judul video YouTube di layar laptop Rama. 'Ketika Sinta Menjadi Rahwana'. Terlihat bagaimana pertengkaran yang sama sekali tidak elegan. Seperti kelakuan anak kecil yang bermain di taman. Ini pasti ulah paparazi iseng yang tidak suka dengan kami. Walau aku memang sebal dengan kelakuan mereka, tapi yang membuatku lebih sebal lagi adalah mengapa aku terbawa emosi saat itu, tanpa bisa menahan diri sama sekali. Jelas-jelas di sekitar lokasi pasti banyak wartawan. Harusnya aku lebih bisa membawa diri bila berada di luar. Ya, aku sangat benci diri sendiri saat ini. Mungkin, yang benci padaku tak hanya diriku, tapi juga kedua orang yang terpaku di sampingku. Bagaimana tidak? Kerja keras mereka berhari-hari bisa gagal hanya karena gosip murahan ini. Sungguh aku tak sanggup membayangkan bahwa bakat dan kerja keras Rama akan terbuang sia-sia karena kebodohanku. Saat Rama menyadari bahwa aku berada di sampingnya, dia segera menutup laptopnya. Aku hendak protes, tapi tak satu kata pun terucap. Aneh memang jika masih ingin menonton, mengingat kami berdua adalah pemeran utama yang melakukan adegan tersebut. Namun, itulah yang aku rasakan saat ini. Aku ingin melihat seberapa buruknya ekspresiku saat itu hingga orang menjuluki aku Rahwana. Bagaimanakah reaksi orang-orang bila melihatku dengan ekspresi mengerikan itu? Apakah mereka masih ingin memakai gaun yang sama dengan yang dipakai oleh gadis barbar yang tampak di video itu? Rama menepuk lembut kedua bahuku dan berujar, "Tenang saja, enggak akan terjadi apa-apa kok!" Mendengar kata-kata Rama yang menenangkan, kontan saja air mata yang dari tadi menggenang, sekarang mengalir deras di pipi. Rama pun menarikku ke dadanya, membuatku menangis tersedu-sedu di pelukan pria baik hati yang selalu melindungiku. Rama tidak berkata apa pun, hanya memeluk dan membelai rambutku dengan lembut. Kiki yang melihat kondisiku seperti ini, segera keluar ruangan dan menutup pintu untuk memberi kami privasi. Sempat kulihat tatapan iba di mata Kiki, mungkin ingin menenangkan juga. Namun, dia sadar, saat ini aku lebih membutuhkan Rama daripada siapa pun di dunia ini. "Mengapa? Mengapa kamu enggak marah ke aku?" isakku terus menerus di dadanya, membuat kemeja Rama yang berwarna gading basah oleh air mata yang terus mengalir. Tak hanya itu, cairan dari hidung pun mulai keluar tanpa kendali. Namun, Rama seolah tak peduli. Tetap saja dia menjalankan tugasnya untuk membuatku nyaman dan tenang. Aku percaya, andai saja insiden ini sampai menyebabkan kerugian besar untuk bisnis kami, Rama tetap tidak akan pernah menyalahkanku sedikit pun. Hanya saja, justru hal inilah yang semakin membuatku sedih. Mungkin aku akan merasa lebih baik kalau dia marah padaku. "Jadi, kamu maunya gimana?" tanyanya tanpa melepaskanku dari peluknya. "Mau aku marah ke kamu?" tanyanya lagi dengan nada menggoda. Aku diam sejenak, lalu menggeleng cepat. Jiwa pengecutku mendominasi, aku tidak mau Rama marah padaku. Pasti rasanya akan sangat tidak enak. Lagi pula, aku sudah muak dengan pertengkaran kami berhari-hari yang lalu. Tiba-tiba terdengar bunyi ringtone dari ponsel Rama. "Sebentar ya, aku angkat telepon dari Bunda dulu." Kemudian Rama pergi ke ruang sebelah dan terdengar sayup-sayup percakapan yang sepertinya cukup serius. Biasanya, bila sedang tidak ada masalah, aku akan segera menghampiri Rama dan mencari tahu ada masalah apa di rumahnya. Namun, kali ini aku bahkan tidak bisa menangani keadaanku sendiri dengan baik. Begitu menyedihkan. Tiba-tiba pintu ruanganku terbuka dengan kasar. Seorang wanita yang sangat aku kenal masuk dengan muka merah padam. Sunglass yang bertengger di kepala dan sanggulnya yang kencang sangat mendukung wajahnya yang cantik untuk menjadi tokoh antagonis yang sempurna. Apalagi dipadukan dengan dress merah berlengan panjang selutut dan Stiletto hitam 7 cm yang dia kenakan, kamu akan otomatis teringat tokoh jahat nan cantik di cerita-cerita Chinese manhua. "Coba jelaskan, apa ini?" tanya wanita itu dengan suara pelan tetapi tegas dan tajam, menyodorkan layar ponsel yang ada di tangannya tepat di depan wajahku. Bibirnya yang merah merona tidak menunjukkan sedikit pun senyuman. Dia benar-benar marah padaku. Aku hanya terdiam dan memalingkan wajah, menolak melihat video yang tadi aku tonton bersama Rama dan Kiki. Aku menelan ludah, takut membayangkan 'hadiah' apa yang akan kudapatkan di beberapa menit ke depan. Tamparan? Tahanan rumah? "Bikin malu keluarga saja kamu ini, Sinta!" katanya dengan suara pelan menusuk. "Mau ditaruh mana muka mama kalau ketemu Ratih dan teman-teman mama yang lain?" Jemari beliau meraih daguku agar menatap matanya yang berkilat marah. "...." Wajahku mendekat ke arah wajah mama. Namun, mataku memandang ke arah lain. Pandangan mama yang sangat tajam selalu sukses membuatku begitu takut. Mana mungkin aku berani melawan beliau? "Belum lagi kalau media membahas hal ini," omel mama terus menerus, kali ini suaranya semakin meninggi. "Mau jawab apa mama nanti kalau ada wartawan yang tanya?" Tiba-tiba, terdengar derap langkah sepatu mendekat, seseorang masuk ke ruangan dengan terburu-buru. "Eh, ada Tante Marissa ...," suara Rama yang berat, tiba-tiba masuk ke ruangan, terdengar sangat indah di telinga. Seperti pangeran berkuda putih yang selalu datang untuk menolong tuan putri dari serangan penyihir jahat, Rama selalu menolongku dari amukan mama. "Apa kabar, Tante Cantik?" Rama sangat tahu kelemahan mama yang selalu luluh bila dibilang cantik. Mama yang sudah menganggap Rama seperti anak laki-lakinya sendiri, segera memeluk Rama dengan penuh perhatian. Rama memang selalu sempurna di mata mama. Aku heran mengapa mama enggak sekalian meminta Tante Ratih buat bertukar anak. "Ramaa, Sayang .... Maafin Sinta ya .... Masih sakit apa enggak?" tanya mama penuh perhatian sambil meraih lengan kiri Rama untuk mengecek luka di pergelangan tangannya. "Mana lukanya, Nak?" "Enggak apa-apa kok, Tante! Sudah lama sembuh. Cuma luka kecil," jawab Rama santai. "Tenang saja, Tan. Anak muda jaman sekarang memang kayak gini. Biasa, sebelas dua belas lah sama cipika-cipiki." "Maaf, ya! Kelakuan Sinta memang kekanak-kanakan. Mungkin harus dinikahkan segera biar cepat dewasa," kata mama tanpa mempedulikan keberadaanku. Selalu saja mama seperti itu, menganggap aku tak ada kalau beliau sedang bicara dengan Rama. "Waduh, kalau Sinta dinikahin, Rama enggak ada teman main lagi, dong, Tan." Rama memprotes dengan nada bercanda. Membuat mama yang tadinya sedih dan marah, tertawa terkekeh. "Nanti Rama kesepian." Rama menambahkan dengan gaya sok imut yang menurutku sangat menyebalkan. "Tenang aja! Nanti tante kenalin sama anaknya teman-teman tante yang cantik-cantik. Kamu tinggal pilih satu aja yang paling kamu suka," balas mama menenangkan Rama, seolah anaknya sendiri buruk rupa. "Padahal, teman Rama yang paling cantik ya aku. Siapa lagi coba?" protesku kesal. Rama tertawa melihat reaksiku. Dia melanjutkan bercakap-cakap dengan mama dan kemudian mengantarnya ke parkiran. Tak lama, sahabatku itu kembali dan mengemasi barang-barang. "Kiki sudah aku suruh pulang awal. Kita cari makan di luar, yuk, Sin!" ajak Rama. Dia kemudian membantuku mengemasi barang-barang, "Mau lasagna, 'kan?" Aku pun mengangguk sambil tersenyum. Dia memang paling tahu cara menghiburku. Kami pun segera masuk ke mobil dan melaju ke restoran Italia yang menjual hidangan pasta favorit. Dalam perjalanan, aku berpikir random. Teringat sesuatu yang sepertinya berhubungan dengan peristiwa nahas hari ini. Sesuatu yang tadi pagi tak sengaja kudengar sebelum membeli sandwich. Percakapan Erika dengan atasannya. Apakah mungkin dia pelakunya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN