Aku kembali ke butik membawa tiga kemasan sandwich ayam dan daging asap. Walaupun Rama dan Kiki sudah sarapan, tentu saja aku takkan tega membiarkan mereka melihatku makan sandwich hangat yang nikmat ini. Lebih tepatnya, aku tak mau kantor mereka jadi bau air liur yang tak kuasa menetes.
Kubagikan bungkusan warna coklat yang masih panas ke Rama dan Kiki. Sesuai dugaan, cengiran lebar di bibir menunjukkan bahwa mereka senang menerima sarapan kedua. Bau harum butter, roti dan daging asap memenuhi ruang rehat. Kami memang tidak sembarang makan makanan yang beraroma kuat di sembarang tempat. Takut baunya menyebar ke mana-mana.
Kutatap Rama yang menyantap makanannya sambil sibuk dengan ponselnya. Aku mendekat karena teringat sesuatu yang belum beres di antara kami.
"Masih sakit?" tanyaku merasa bersalah, sambil mengelus luka bekas gigitan di tangan kiri Rama. Lukanya sudah mengering, tapi masih ada bekasnya.
Aku pun teringat obat penghilang bekas luka yang aku beli di apotek beberapa hari lalu, saat pulang dari rumahnya. Kuambil obat itu dari dalam tas dan menyodorkannya ke arah Rama. "Ini, aku beli dua hari lalu. Dioles aja, takutnya berbekas."
"Hmm? Emang kenapa kalau berbekas? Biasa aja tuh. Aku malah berharap jangan sampai hilang bekasnya seumur hidup," kata Rama sambil mengunyah santai sandwichnya.
Hatiku berdesir. Bisa-bisanya dia mengatakan hal aneh begitu. Dia pun menoleh ke arahku sambil mengangkat alis.
"Kok gitu?" tanyaku heran. Apanya yang enggak apa-apa? Bukankah bekas luka baik bagi perempuan dan lelaki adalah cacat? Apalagi di tempat yang terlihat begitu.
"Biar pas lihat ini, kamu selalu inget kelakuan dirimu yang barbar," kata Rama sambil tertawa lebar. "Terus kalau ada apa-apa, aku bisa blackmail kamu pakai luka ini. Hahaha!"
Aku hanya memanyunkan bibir, pura-pura merajuk. Dalam hati, entah mengapa aku justru senang karena ternyata dia tidak keberatan misalkan sampai berbekas sekalipun. Itu seperti sesuatu yang romantis bukan, sih? Kalau saja yang mengatakan bukan Rama, pasti langsung aku lamar orangnya.
Dasar, Sinta! Mulai enggak jelas lagi.
Aku menggeleng, sebagaimana biasa untuk menghilangkan pikiran ngawur di kepala. Konyol!
Mikir apa, sih, aku? Mana ada bekas gigitan dibilang romantis? Isi kepalaku seperti sudah rusak gara-gara kejadian belakangan ini. Aku terus mengomel dalam hati sambil menampar-nampar pelan pipi dengan kedua tangan.
"Oh ya, sorry. Gara-gara aku bolos dua hari, kamu jadinya lembur beresin kerjaan sendiri," kata Rama meminta maaf, membuyarkan lamunanku. Perlu waktu beberapa saat untuk memahami apa yang Rama katakan padaku.
"Apaan, sih. Kita impas tau! Kan, kamu sakit juga gara-gara lembur waktu aku bolos dua hari juga," kataku semakin merasa bersalah. "Mmmm .... Badan kamu udah enakan beneran?" tanyaku sambil mengamati apakah ada tanda-tanda sakit di badan Rama.
"Udah sehat seratus persen, dong," jawab Rama mengangguk mantap meyakinkan. Dia kemudian menyantap gigitan terkhir sandwichnya yang kutebak sudah tinggal roti saja.
"Jadi, kamu udah enggak marah lagi, nih, ke aku?" tambahnya sambil tersenyum lebar. Seolah merasa bahagia karena keadaan kami sudah kembali seperti semula.
"Ada syaratnya tapi," kataku jual mahal, memanfaatkan pertanyaannya yang membuka celah kejahatan. Padahal, tadinya aku yang hendak minta maaf. Mengingat sebenarnya kami sudah saling membalas dengan impas.
Aku menggigit lengannya, dia menggigit bibirku. Karena dalam kasus ini luka di bibirku tidak membekas, harusnya aku yang meminta maaf, bukan? Hehehe, bener kata orang, wanita memang selalu menang.
"Apa syaratnya? Pasti minta ditraktir makan, 'kan?" tebak Rama dengan bibir mencibir karena seringnya menyebutkan syarat itu.
"Nggak lah! Enak aja mentraktir," sanggahku gengsi karena dia sudah menebak lebih dulu. "Syaratnya ... mmm ... kamu masakin aku lasagna yang enak pakai banget. Gimana?"
"Masak?" tanya Rama seolah-olah aku mengatakan hal yang salah.
"Iya, masak," kataku sambil menatapnya dengan pandangan menantang. "Nggak mau? Nggak bisa? Ya sud—"
"Iya, iya ... mau, deh," jawab Rama menyetujui. Lebih tepatnya, terpaksa menyetujui. Aku beritahukan ke kalian bahwa Rama tidak pernah suka dengan kegiatan memasak. Karena itulah, hal ini akan menjadi hukuman yang snagt berat baginya. Rasakan itu!
***
Beberapa hari berikutnya, kami sibuk sekali merencanakan rancangan koleksi bulan depan. Aku mengontak Ardi dan Rania untuk menanyakan kesediaan mereka untuk menjadi brand ambassador koleksi terbaru kami. Beruntung sekali, mereka setuju.
"Anggap saja ini balas budiku ke Rama," kata Ardi padaku.
"Emang Rama bantu kamu apa?" tanyaku penasaran.
"Ehm, apa ya? Banyak sih. Hahaha ...," kata Ardi tanpa membocorkan apa pun itu. Dia menggaruk kepala, bola matanya berputar ke atas, bergeser ke kanan dan ke kiri mencari jawaban yang baik. Melihat itu, aku tak mengejar lebih jauh lagi. Sia-sia. Dia pastinya akan membohongiku. Lagipula, tidak ada ruginya buatku, karena yang penting saat ini mereka bersedia menjadi brand ambassador gratisan. Ingat, gratisan!
"Okay, pokoknya makasih banyak, ya!" seruku gembira-ria karena semua berjalan lancar. "Kalian memang sahabat sejatiku!" tambahku, tanpa mempedulikan apakah aku terdengar seperti penjilat saat ini.
"Sama-sama, Sin!" balas Rania dan Ardi bersamaan. Mata Ardi kemudian menatap lekat penuh cinta ke arah Rania, dan aku pun bertindak cerdas dengan segera mengucapkan selamat tinggal dan menutup Skype-ku. Jomblo ini selamat dari penyakit baper akut.
"Yes!" Kuambil tablet dan kucentang salah satu poin di to do list yang harus aku bereskan hari ini.
"Ram, besok Rania dan Ardi mau ke sini. Kamu nggak ada jadwal liburan atau hal lain yang penting kan?" tanyaku mengingat besok adalah hari Minggu. Walaupun kami lebih sering menghabiskan waktu bersama saat weekend, sebagai rekan kerja yang baik, aku harus memastikan dulu jadwal Rama.
"Waduh, besok aku, 'kan, rencana belanja," kata Rama. "Kamu jadi minta dibuatin Lasagna, kan?" lanjutnya mengingatkan.
"Ya udah deh. Kapan-kapan aja masaknya. Kamu traktir aku makan di luar aja," kataku sambil membenahi beberapa desain setelan yang aku buat. "Lagian saat sibuk begini terlalu riskan makan makanan buatanmu," tambahku saat melirik untuk memastikan reaksi Rama.
"Kenapa emangnya?" tanya Rama ingin tahu, menghentikan pekerjaannya sejenak. Melihat reaksinya, hasrat isengku pun membuncah. Aku berjalan perlahan ke arahnya kemudian mendekatkan tangan dan wajah ke telinganya, membuatnya semakin bingung.
"Takut sakit perut," bisikku pelan di telinganya. Aku pun kabur dengan tidak bertanggung jawab sambil tertawa lepas, "Hahahaha!"
Kontan Rama mengumpat lalu menarik lengan dan menarikku ke arahnya. Dia mendudukkanku di meja lalu menyusupkan jari tangannya ke ketiakku, menggelitik tanpa ampun. Aku tertawa kegelian sampai menangis dan meminta maaf kepadanya.
"Iya, ma–af!!! Hahaha."
***
Hari sudah sore. Pekerjaan kami hampir beres. Aku hendak keluar ruangan untuk membuat kopi saat melihat Rama dan Kiki tengah khusyuk memperhatikan sesuatu di laptop, mungkin sebuah video di YouTube.
Wajah Rama tampak serius, rahangnya mengeras. Sedangkan Kiki dari tadi menatapku bergantian dengan layar laptop. Mukanya seperti antara mau menangis dan tidak percaya dengan apa yang dia lihat.
Aku mendekat tanpa bicara sepatah kata pun. Yang mereka tonton pastilah hal yang sangat serius. Tak lama kemudian, aku mendapatkan jawaban mengapa Kiki menatapku seperti tadi.
Saat ini Kiki telah mengetahui dengan pasti identitas anjing galak misterius yang menyebabkan luka gigitan di tangan kiri Rama. Anjing yang dia pikir telah menyebabkan Rama tertular rabies.
Ya! Begitulah informasi yang ditampilkan di layar laptop saat ini. Sinta dengan kelakuan bar-bar telah menggigit pasangan pestanya tanpa ampun.
"Astaga! Siapa yang nyebarin video ini?" pekikku seraya memandangi Rama dan Kiki bergantian.
Kiki hanya menatapku penuh tanda tanya. Mungkin dia tak habis pikir kalau aku bisa berbuat tega ke Rama.
Aku menelan ludah. Hatiku serasa tersayat sembilu. Hancur sudah reputasi yang selama ini kami bangun. Hanya karena emosi sesaat yang sangat labil dan tak terkendali.
Sinta yang berwibawa telah menjadi sosok mengerikan yang tak akan sanggup dilihat wanita mana pun. Tak akan pernah diidolakan remaja mana pun.