1. Teman Sepermainan
"Sin, buruaan! Aku tinggal lho kamu kalau lima menit lagi belum turun juga!" ancam Rama berteriak dari bawah, mulai tak sabar karena sudah satu jam lebih menungguku berdandan. Dia memang selalu on-time dari dulu, kebiasaan yang telah mengurat dan mengakar sejak kecil. Terlambat satu menit saja, bagi Rama adalah sebuah perbuatan dosa. Benar-benar berlawanan dengan kebiasaanku yang suka mengulur-ulur waktu.
"Jangan dong, Ram! Ntar lagi juga selesai kok!" jawabku sambil berteriak juga, memastikan Rama tidak akan meninggalkanku. Bisa sia-sia aku berdandan begitu cantik dari subuh, kalau datang ke kondangan tanpa pasangan. Bagaikan seorang putri raja yang datang ke pesta dansa tanpa escort.
Hari ini, aku dan Rama akan menghadiri pesta pernikahan teman baik kami sejak remaja, Rania dan Ardi. Karena itulah Rama takut sekali terlambat. Tak henti-hentinya dia mengomeliku sejak tadi memintaku segera menyelesaikan riasan.
"Sinta!" pekik Rama membuyarkan lamunanku. Setelah membalas Rama dengan teriakan yang tak kalah keras, sambil mengancam tidak akan menemaninya nonton "Battle of Surabaya" kalau dia tega membiarkan aku berangkat sendirian.
Kutatap sekali lagi penampilanku. Make-up nude minimalis. Rambutku yang panjang sepunggung kubiarkan terurai bergelombang agar menampakkan kesan muda, fresh, dan anggun. Long dress V neckline burgundy tanpa lengan yang berbahan silk jatuh melekat indah di tubuhku yang tinggi semampai. Stiletto yang senada dengan gaunku menambah tinggi kakiku yang jenjang. Aksesoris lengkap berupa satu set kalung, anting, dan gelang. Kurang apa ya?
Brooch!
Aku pun menyematkan brooch mutiara putih berbentuk angsa yang cantik di dadaku dengan hati-hati tentunya, agar tidak merusak bahan silk dari gaun yang kukenakan. Brooch ini aku buat khusus untuk dipadukan dengan gaun nan elegan ini.
Aku informasikan ke kalian ya, semua gaun yang ada di walk in closetku adalah rancangan Rama. Begitu banyak jumlahnya, mungkin ratusan. Banyak yang sudah tidak muat di tubuh dewasa ini. Namun, aku tetap ingin menyimpannya karena tidak mau gaun buatan Rama dibuang, atau dipakai orang lain.
Segitunya?
Ya, kami berdua sudah berteman sejak kecil karena kedua orang tua kami juga berteman. Mama adalah mantan model dan aktris yang cukup kondang. Sedangkan bundanya Rama, Tante Ratih, adalah fashion designer langganan mama. Namun, karena Tante Ratih ini sifatnya keibuan dan mengayomi, mama jadi merasa nyaman berkawan dengan beliau. Lambat laun, hubungan mereka lebih dari sekadar urusan bisnis, melainkan sahabat yang cukup dekat.
Mama selalu mengajakku saat berkunjung ke Tante Ratih. Begitu pula Tante Ratih yang selalu membawa Rama ke butiknya. Jadilah aku dan Rama terpaksa berteman. Walaupun sebenarnya kami berdua hanya bermain hal yang sama dengan yang dilakukan kedua orang tua kami. Aku jadi model, Rama jadi designer. Dari situlah, bakat dan potensi Rama mulai tergali.
Oleh karena itu, sejak kecil Rama sudah menjadi designer pribadiku. Sampai saat ini, ketika usia kami menginjak 21 tahun, aku tetap menjadi inspirasi karya-karya Rama. Menjadikan dia seorang desainer muda yang kemampuannya diakui oleh para pendahulu.
Jika Rama menjadi designer baju wanita, bagaimana denganku? Mungkin kamu mengira aku akan jadi model. Iya memang, aku sempat berkarir di bidang modelling, tapi tak lama karena aku merasa profesi itu tidak cocok untukku. Akhirnya kuputuskan untuk menjadi fashion designer baju pria, melengkapi kekurangan Rama.
Singkat cerita, kami sepakat untuk membuka sebuah butik, dengan brand Rama and Sinta, R&S.
"Gimana? Sempurna, kan?" tanyaku memamerkan penampilanku ke Rama, sembari berjalan anggun menuruni tangga di ruang tengah
"...."
Kulihat muka Rama bersemu merah, terkesima, tak berkomentar apa pun. Saat itulah, aku tahu bahwa penampilan saat ini benar-benar sempurna di mata Rama. Ya, Rama memang selalu begitu, dan aku sangat percaya diri dengan penilaiannya. Aku pun tersenyum puas melihat usaha berjam-jam lalu tidak sia-sia.
"Yang lain pada kemana, Ram?" tanyaku mencari keberadaan Mama, Papa, Tante Ratih, dan Oom Hadi, ayah Rama.
"Sudah duluan berangkat. Kamu, sih, lama banget. Jadi aku yang disuruh nungguin. Udah ayo cepetan. Kita, 'kan, harus mastiin gaun dan setelan yang dipakai Rania dan Ardi beres," omel Rama panjang. "Ayo, 'ntar lagi jam 7, nih."
"Tunggu," kataku menahan Rama sebentar. Kuamati setelan yang dipakai Rama. Aku sengaja memilih warna jas burgundy yang senada dengan gaunku. Kemeja hitam dan celana hitam yang ngepas di badan atletisnya tampak elegan dan sempurna. Aku merapikan dasi dan rompinya yang sebenarnya sudah cukup rapi. Wajahnya juga terlihat maskulin dengan jenggot dan kumis tipis. Aku mengamatinya sekali lagi dari ujung kaki sampai ujung rambut dengan teliti dan tersenyum puas ketika hasilnya terlihat nyaris tanpa cela. Perpaduan rapi, dewasa, dan macho serta ada sedikit kesan urakan yang ditampilkan rambutnya yang agak panjang. Definisi pria tampan benar-benar terpancar sempurna di diri Rama saat ini. Sempurna seperti yang aku mau. Mirip Alex Pettyfer yang belum potong rambut.
"Sudah, ayo ... kita bisa terlambat ...," gerutu Rama, menghentikanku yang tengah asyik mengagumi penampilannya dan menarik lenganku agar segera mengikutinya keluar rumah.
Walaupun sahabatku ini suka mengomel, tapi sebenarnya dia adalah lelaki yang baik. Terbukti saat ini dia membukakan pintu mobil dan mempersilakanku masuk. Setelah memastikan tak ada bagian bawah gaun yang akan terjepit pintu, dia menutup pintu mobil perlahan. Gentleman banget, bukan?
Tak hanya itu, wajah dan penampilan Rama yang hot membuatku merasa tetap tenang walaupun harus datang ke pesta pernikahan saat aku menjomblo seperti saat ini. Rama pasti akan selalu bersedia menjadi gandengan yang gagah, yang membuat penampilanku semakin stunning saat ada wartawan yang mengambil gambar. Jika sudah demikian, couple outfit yang kami pakai pun akan jadi hot topic di kalangan kelas menengah atas. Pundi-pundi emas kami pun akan penuh meluap-luap dalam waktu cepat.
***
Sesampai di hotel tempat berlangsungnya resepsi pernikahan Rania, lokasi sudah dipenuhi wartawan yang datang jauh lebih awal dari jam yang ditentukan. Mereka segera mengambil gambar para tamu yang datang terlalu awal pula, berharap bisa kabur dari jepretan kamera mereka.
Maklum, Rania dan Ardi ini adalah orang penting di dunia hiburan tanah air. Oleh karena itu, para tamu undangan juga terdiri dari para selebriti, pengusaha dan pejabat. Sasaran empuk untuk wartawan infotainment, bukan?
Lain halnya dengan para publik figur kawakan yang sebal, aku dan Rama justru memanfaatkan hal ini sebagai ajang promosi agar semakin banyak pelanggan dari berbagai kalangan yang mau memakai busana rancangan kami. Tak jarang para wartawan itu menambahkan bumbu gosip akan kedekatan hubungan kami. Karena kebanyakan koleksi kami memang couple outfit, sesuai namanya, Rama and Sinta.
Hal ini sebenarnya berdampak negatif pada kehidupan pribadiku dan Rama. Gara-gara gosip tersebut, dan tentu karena kami selalu tampil bak pasangan yang serasi, kami menjadi kesulitan mendapatkan kekasih.
Lihat saja aku yang cantik ini baru dua kali pacaran. Itu pun bukan hubungan serius yang bisa bertahan lebih dari 6 bulan. Bagaimana dengan Rama? Lebih parah lagi, dia seperti akan menjomblo sepanjang masa.
Serius?
Ketika aku bertanya apakah dia tak apa-apa dengan keadaan ini, Rama dengan santai menjawab, "Sudahlah ... namanya juga baru merintis bisnis ... santai aja. Nanti kalau sampai tua kamu nggak laku juga, aku bakal tanggung jawab, kok."
"Enak aja. Siapa yang mau jadi perawan tua!!" jawabku kesal.
Ya, kadang ada banyak hal yang harus dikorbankan demi karir ... dan inilah yang harus kami korbankan untuk sekarang.
Namun, mau sampai kapan kami harus begini?
***
"Kamu cantik banget, Ra. Sungguh kalau aku ini cowok, bakalan aku rebut kamu dari Ardi dengan segala cara," kataku memuji kecantikan Rania saat ini yang sempurna bak bidadari.
Kisah cinta Rania dan Ardi sungguh indah dan mengharukan, seperti di drama-drama Asia Timur. Bagaimana tidak? Mereka awalnya berteman lalu berakhir di pelaminan walaupun aral melintang. Perlu kalian ketahui, Rania ini adalah seorang gadis yang memiliki kekurangan.
Beberapa tahun lalu, dia mengalami kecelakaan hingga kehilangan indera penglihatannya. Hal ini menghanguskan seluruh kepercayaan diri Rania yang tadinya adalah seorang artis terkenal. Namun, Ardi tetap mencintainya dan meyakinkan Rania akan cintanya yang tulus. Padahal, si Ardi ini ganteng dan kaya–pakai banget. Pokoknya dia tipe cowok idaman banget. Bahkan aku dulu sempat naksir ke Ardi, tapi ditolak. Nasib.
Yah, apa hendak dikata, walaupun Rania sekarang ini tidak bisa melihat, dulunya dia sempat menjadi artis sinetron dengan bayaran termahal di Indonesia. Kamu bisa bayangkan sendiri betapa cantiknya dia.
Gaun pengantin mermaid line off shoulder berbahan silk crepe back satin yang sangat halus melekat sempurna di badannya. Aksesoris berbahan mutiara Lombok berkualitas tinggi menghiasi leher, telinga dan tangannya. Tak lupa crown bunga mawar putih yang melekat di kepalanya, tersambung dengan veil berbahan tule yang menutup malu-malu gelungan rapi rambutnya.
"Makasih, Sin. Kamu selalu menumbuhkan rasa percaya diriku," tuturnya dengan senyuman mengembang, tampak sangat bahagia, dari lubuk hatinya yang terdalam.
Kupandangi penampilan Rania dengan penuh kebanggaan. Bangga sebagai desainer yang puas karena gaun buatan kami berhasil menampilkan sisi tercantik sang pelanggan. Juga sebagai seorang teman yang sebentar lagi akan menyaksikannya melepas masa lajang bersama pria yang dia cintai dan mencintainya.
Aku bangga. Sangat bangga akan kisah cinta Rania, sekaligus kagum pada Ardi akan ketulusan cintanya. Aku bahagia, mereka jadi ikon cinta dan kasih sayang paling romantis sepanjang tahun ini. Kisah mereka sebentar lagi akan diangkat jadi film.
Terlebih lagi, aku merasa sangat bangga karena rancangan busana R&S akan menjadi saksi di hari paling bersejarah dari perjalanan cinta kasih mereka. Sungguh mengharukan memang.
Acara pernikahan pun berjalan dengan lancar. Penyanyi ganteng bersuara emas yang sedang naik daun melantunkan tembang yang sangat menjiwai suasana pernikahan ini, Bukan Cinta Biasa.
Suasana pesta pernikahan semakin syahdu. Beberapa wanita muda bahkan meneteskan air mata haru, entah karena terharu dengan lagunya, suara penyanyinya, kisah cinta kedua mempelai ataukah karena meratapi nasib mereka yang masih jomblo juga. Yang sudah menikah pun ada yang menangis, mungkin karena suami mereka tidak sekaya dan seromantis Ardi.
"Next time, giliran kalian berdua kan, ya?" tanya Tante Larasati, perancang busana senior tanah air yang jadi salah satu mentorku dan Rama. Beliau merujuk padaku dan Rama. Maklum, beliau ini dari dulu juga penggemar gosip. Salah satu yang berperan aktif dalam menggosok kabar tentang aku dan Rama biar makin sip.
"Nggak lah, Tante," jawabku sambil tertawa, "orang kami berdua cuma temenan aja."
"Teman tapi mesra," sahut Riska, temanku yang karir modelling-nya saat ini sedang bersinar. "Ya, 'kan, Ram?"
"Kami itu cuma teman dari kecil. Teman main, teman sekolah, teman berkarya, teman bisnis, teman ...," jawab Rama santai.
"Ya, 'kan, tinggal ditambahin, jadi teman hidup," seloroh Tante Larasati yang disambut tawa semua orang di sekitar kami. Membuat aku dan Rama merasa canggung. Serasa sedang berada di tengah jumpa pers diberondong para wartawan dengan pertanyaan menyudutkan.
"Ya ampun, nikah sama Rama itu enggak mungkin banget, berasa nikah sama saudara kandung tau," protesku yang tidak tahan digoda habis-habisan. "Berasa dosa. Dilarang menikah sama saudara sendiri," tambahku agar tak ada lagi yang iseng.
"Kalau begitu, masih ada kesempatan buat saya, dong!"