7. Sandiwara Romantis

1079 Kata
Sungguh menyebalkan. Restoran yang biasa kami kunjungi tutup, jadi Rama membawaku ke restoran lain yang agak jauh dari markas. Namun, ternyata tidak mengecewakan sama sekali. Mulutku yang tadinya mengomel tanpa henti, tercekat saat melihat pemandangan yang indah sekali karena lokasi restorannya berada di tepi pantai. Beruntung sekali kami masih mendapatkan tempat duduk di tempat yang strategis mengingat pengunjungnya cukup padat saat ini. Pemandangan yang super romantis dipadukan dengan live music memang sangat pas menemani pengunjung yang ingin bersantai selepas bekerja seharian. Aku memang tidak jadi makan lasagna yang aku suka. Namun, makan seafood segar dan sampai puas di tempat sebagus ini sambil menikmati sunset sungguh ampuh untuk menghilangkan penat. Melupakan sejenak bebanku seharian tadi, baik tentang video Sinta-Rahwana maupun tentang mama yang marah-marah padaku. "Gimana? Kamu suka tempatnya?" tanya Rama padaku sambil menyunggingkan senyuman khasnya yang manis, walaupun sebenarnya dia sudah sangat yakin aku akan menyukai tempat ini. "Iya banget, dong," jawabku antusias, tersenyum puas. "Sayangnya, banyak orang pacaran di sini! Yang jomblo jadi baper." "Yah, lebih asik sama temen tau. Santai. Nggak perlu makan gaya cantik, nggak perlu jaga image. Bisa makan sepuas kamu," bantah Rama. "Kekenyangan enggak bisa jalan pun bakal aku gendong sampai kamar kamu." Kontan aku tertawa lebar mendengar penuturan Rama. Memang dia benar. Dua kali berpacaran membuatku tidak ingin berpacaran lagi. Mantan-mantanku sering protes akan kelakuanku yang begini dan begitu, dan pada akhirnya mereka memilih putus karena aku tetap berteman dengan Rama. Aku benar-benar tidak mengerti mengapa mereka merasa insecure walaupun aku menjelaskan bahwa hubunganku dengan Rama hanya hubungan pertemanan. Tidak lebih dari itu. Beberapa saat kemudian, seorang waiter dengan muka kurang ramah mengantarkan tiramisu dan pudding pesanan kami. Mungkin dia capek karena pengunjung restoran sedang ramai. Setelah meletakkan pesanan di meja kami, dia pun berlalu tanpa basa basi sedikit pun. Sungguh kualitas pelayanan yang sangat disayangkan mengingat tempatnya bagus dan makanannya enak. Bila saja aku adalah pengunjung julid, pasti aku akan memberi bintang empat karena pelayanan yang seperti itu. Untuk menghilangkan perasaan tidak enak atas pelayanan yang kurang bagus, aku memilih untuk segera menyantap tiramisu yang menguarkan aroma kopi yang khas. "Mmm, Rama ... enak banget tiramisunya. Cobain, deh!" kataku sambil menyuapkan sesendok tiramisu ke mulut Rama. "Hhhmmmh ... iya, enak banget. Kopinya kerasa banget," komentarnya memuji tiramisu yang memang sangat enak. "Kamu mau coba pudding coklatnya? Enak juga kok," kata Rama sambil menawarkan sesuap pudding kepadaku. "Mmmmhhhh, enak ... tau gitu aku pesan pudding juga," rengekku menyesal. "Kayak ada rasa kopi-kopinya gitu, ya? Enak banget." Rama pun memanggil waiter yang bermuka masam tadi kembali. Mukanya semakin masam, mungkin dia mengira kami akan komplain tentang makanan, padahal Rama cuma ingin memesan lagi pudding dan tiramisu untuk dibawa pulang. Yah, sebagai upeti kalau nanti kami ditanya 'habis darimana kalian?' oleh mama dan Tante Ratih. Saat Rama sibuk memesan, sayup-sayup kudengar suara berbisik-bisik dari orang-orang di sekitarku. Seperti sudah kuduga, mereka membicarakan video yang baru saja viral. "Iya, mereka memang suka mengumbar kemesraan .... Norak banget, bukan?" "Iih, kamu, sih, belum nonton video Rahwana menggigit Rama." "Iya, sok anggun gitu. Taunya kelakuan kayak anak monyet ...." "Males, deh, pakai gaun dari butik dia lagi." Aku yakin mereka sengaja mengeraskan suara supaya aku mendengarnya. Senyuman yang tadi terlihat sangat royal, perlahan tak bisa lagi kusematkan di mukaku, walaupun untuk sekadar pura-pura. Mood yang tadinya sempat membaik, kembali terjun ke bawah hingga mencapai titik nol. Buruk .... Sangat buruk! Ingin rasanya aku pergi dari sini saat ini juga. Seharusnya aku tidak berada di tempat umum setelah video itu tersebar dengan puluhan juta penonton dalam waktu singkat. "Rama," kataku hendak mengajak Rama untuk langsung pulang. Namun, Rama mengabaikanku dan segera berjalan menuju panggung tempat live music berada. Dia meminta izin untuk menyanyikan satu lagu "The Way You Look at Me"-nya Christian Bautista. "Buat siapa lagunya, Mas?" tanya penyanyi yang digantikan. Gaya bicara penyanyi itu kocak sekali, padahal suaranya luar biasa bagus. Perpaduan yang unik, menurutku. "Buat gadis cantik yang berblazer putih di sana ...," jawab Rama melambaikan tangan ke arahku. Aku pun balas melambaikan tangan ragu-ragu. Apa maksud kamu, Rama? Orang-orang pasti bakal semakin mencaciku nanti. Aku melihat kanan-kiri. Sepertinya wanita-wanita dan pasangannya yang tadi menggunjingku, ikut terdiam, mungkin mempertanyakan aksi Rama juga. Untunglah, suara Rama tidak begitu buruk untuk didengar sehingga aku tidak terlalu malu. Dia memang tidak sepertiku yang tone deaf akut tujuh turunan dari keluarga papa. Tembang yang indah itu pun terdengar tetap indah dan romantis, walaupun yang membawakan bukan penyanyi aslinya. Selesai melantunkan lagu, orang-orang bertepuk tangan. Beberapa wanita melihat iri ke arahku, mungkin ingin kekasih mereka melakukan hal yang sama. Tiba-tiba, penyanyi yang kocak tadi menanyakan hal yang tak seharusnya dia tanyakan. "Mas, itu tangan kirinya habis digigit anjing, ya?" tanyanya yang langsung menaikkan level marahku. Orang-orang mulai terkikik mendengarnya. Beberapa mulai melirikku. Saat ini aku sangat marah dan hampir bersumpah akan meminta papa membeli restoran ini dan mengusir penyanyi itu secepat mungkin. "Ini segel cinta, Bro! Supaya hubungan kami langgeng tak lekang waktu. Kalau lihat ini, saya selalu ingat dia, kapan pun dan dimana pun," jelas Rama penuh percaya diri tersenyum ke arahku, seolah-olah kami pasangan yang saling mencintai. Alasan yang dia utarakan saat ini tentu sangat bertolak belakang dengan yang dia katakan sebelumnya kepadaku. "Saya bahkan berharap bekasnya enggak akan hilang seumur hidup." Suasana restoran hening sejenak, kemudian disambut dengan tepuk tangan riuh pengunjung. Tahukah kalian? Saat ini semua pengunjung menatap dengan pandangan sangat iri kepadaku. Aku pun menang, tidak lagi dipermalukan, dan seharusnya aku pun senang, bukan? Tapi, lebih dari itu, kalian mungkin tak akan bisa mengerti perasaanku saat ini. Aku bahkan tak peduli lagi tentang apa yang dipikirkan oleh orang-orang di sekitar sini. Aku ingin menangis. Siapa yang tidak terharu bila ada lelaki yang mengungkapkan rasa cintanya seperti itu di depan umum? Seolah-olah dia mengatakan kepada dunia akan rasa cinta yang begitu dalam padamu? Tetapi aku harus sadar, lelaki yang berdiri di seberang sana adalah Rama. Yang melakukan itu untuk menjaga harga diriku dari orang-orang yang menghina dengan tidak adil. Lelaki yang menganggap diriku seperti saudara kandungnya dan begitu pula keluarga kami. Entah mengapa, saat ini jantungku merasa sakit, sangat sakit. Saat ini saja .... Saat ini saja, aku berharap bahwa diri ini tidak pernah mengenal Rama sebelumnya, hingga aku akan bisa mencintainya seperti layaknya sepasang kekasih. Saat ini saja .... Aku berharap ini semua bukanlah sandiwara. *** Note: Hi, Pembaca! Terima kasih sudah mengikuti cerita ini. Jangan lupa tap love, komentar, dan tunggu terus kelanjutannya, ya! Semoga kalian suka dan baca terus kelanjutannya. Terima kasih! Love you all!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN