Lututku terasa lemas. Lidahku kelu. Membaca surat Rama yang terlal percaya diri membuatku goyah. Mengapa Rama tidak menyerah saja? Bukankah aku sudah menolaknya? Kalau dia bersikeras seperti ini, bagaimana mungkin aku bisa menghentikan perasaan untuk memilih bersamanya? Air mataku mengalir perlahan membasahi pipi. Kupandangi Tante Ratih dan kupegang erat lengannya, kali ini untuk mencari penopang agar aku tidak jatuh terduduk di lantai. Kutatap mata Tante Ratih, ingin menanyakan keberadaan Rama sekarang. Namun, tak satu pun kata yang meluncur dari bibir. "Dia sudah di airport," ucap Tante Ratih sambil menggenggam erat kedua telapak tanganku yang dingin, seolah beliau tahu apa isi kepalaku tanpa harus diungkapkan. Matanya yang tadi penuh amarah, sekarang menatap penuh iba. Hingga aku sang