Bab 3. Jadi Guru Masakku, Ya!

1420 Kata
"Aduh! Tunggu! Hei! Stop!" teriak Agus seraya menangkap tangan Riri yang baru saja memukulinya. "Kamu udah sadar, sebaiknya kamu pakai baju dulu." Riri membelalak. Ia menunduk ke tubuhnya yang polos sempurna. Sontak, ia menarik tangannya untuk menutupi d**a dan merapatkan kedua kakinya. Ia mulai bernapas naik-turun sementara Agus berdiri lalu memutar badan. "Aku nggak bermaksud buruk sama kamu. Kamu pingsan dan basah kuyup. Aku cuma mau pakaikan baju yang kering," kata Agus menjelaskan. Ia tak menatap Riri lagi karena tak yakin gadis itu sudah berpakaian atau belum. Ia juga tak ingin kena pukul lagi. Riri terisak-isak. Ia melihat pakaiannya—yang memang basah—tergeletak di lantai. Ada pakaian bersih di dekat kakinya dan bahkan bra. Ia jelas tak bisa mempercayai pria asing itu. Ia belum pernah membuka tubuhnya pada pria manapun. Dan kini, ia merasa sudah ternoda. "Nggak usah nangis, buruan pakai baju. Nanti kamu masuk angin." Agus menoleh sedikit pada Riri, tetapi ia kembali berpaling cepat. "Kamu beneran nggak ngapa-ngapain aku?" tanya Riri dengan suara serak. Ia memang kedinginan. Jadi, mau tak mau ia segera memakai pakaian kering yang disediakan Agus untuknya. Namun, karena bra itu kebesaran, ia memutuskan tak memakainya. Agus mendengar gerakan halus Riri yang sedang berpakaian dan mendadak ia merasakan kepalanya kembali dipukul keras dari belakang. "Hei!" Agus membalik badan lalu bertemu tatap dengan Riri. Gadis itu terlihat lucu dengan kemeja kotak-kotak dan celana pendek milik adiknya. Rambutnya yang basah serta wajah yang masih pucat sempat membuat Agus merasa cemas, tetapi gadis di depannya juga terlihat sangat galak. "Dasar m***m!" seru Riri yang masih menangis. Ia mengedarkan matanya untuk melihat di mana di berada. "Kenapa kamu bawa aku ke sini? Kamu sengaja? Apa yang kamu lakukan sama aku?" Agus memerhatikan Riri membuat kuda-kuda dengan tangannya yang gemetar. Ia yakin sekali gadis ini sama sekali tak bisa bela diri dan hanya berpura-pura berani. "Denger, ya, aku nggak bermaksud m***m kayak yang kamu bilang," ujar Agus. Ia melepaskan belakang kepalanya yang masih berdenyut akibat pukulan Riri. "Kamu tadi pingsan di gang itu. Kebetulan aku liat kamu dari rumah. Dan hujan mulai turun, kamu bahkan nggak bangun dan nggak ada yang nolongin kamu. "Jadi, aku bawa kamu ke sini. Kamu masih nggak mau bangun. Kamu basah kuyup dan aku nggak punya pilihan. Aku ada beberapa baju punya adekku. Jadi ... intinya aku cuma mau nolongin kamu," tutur Agus setenang mungkin. Riri masih mengacungkan kuda-kuda. Ia menoleh ke jendela dan mendengar suara hujan. "Pria ini mungkin emang nggak bohong," pikir Riri dalam hati. Riri menurunkan tangannya ketika ia ingat ia baru saja tersesat dan melihat kecelakaan di depan matanya. Ada banyak darah. Darah yang mengalir dari tubuh seseorang. Mengingat itu, Riri sontak melemas. Ia terduduk di sofa Agus lagi. "Hei, kamu baik-baik aja?" tanya Agus. Ia agak membungkuk untuk melihat kondisi Riri. Ia takut jika Riri akan pingsan lagi dan berujung semakin merepotkan. Riri melotot pada Agus. Ia tidak mau didekati pria asing itu. Namun, ketika ia memperhatikan Agus tiba-tiba ia menyadari siapa Agus. "Mas Agus?" panggil Riri. Agus mendesahkan napas panjang. Ia menegakkan diri karena ingat Riri adalah gadis aneh yang ia temui di toko buku. "Oh, jadi aku ada di rumah Mas!" seru Riri dengan nada lebih ceria. Ia agak lega setelah tahu siapa pria yang membawanya. Walaupun ia tidak mengenal Agus secara pribadi, tetapi ia sedikit yakin bahwa Agus bukan orang jahat. Agus berdehem. "Kamu udah percaya kalau aku nggak berniat buruk sama kamu?" "Ehm ... lumayan," sahut Riri. "Aku ambilkan air hangat dulu. Dan sebaiknya kamu telepon keluarga kamu atau ... siap-siap pulang," ujar Agus. Riri mencebik. Ia mengambil tasnya dari lantai. Ia baru ingat bahwa ponselnya mati daya. Jadi, ia tidak bisa menghubungi siapa pun saat ini. Agus segera kembali dengan tangan membawa cangkir berisi teh. "Minum ini. Dan setelah kamu membaik, kamu harus pulang." Riri menerima cangkir itu dengan senang. Ia tidak memegang tangkainya. Kedua telapak tangannya langsung memeluk badan cangkir yang hangat. Ia memerhatikan Agus duduk di seberangnya. "Kamu udah telepon seseorang biar kamu bisa dijemput?" tanya Agus. Riri menggeleng. "Ponsel aku mati. Boleh aku numpang ngisi daya bentar?" Agus merengut. Ia tidak suka ada orang lain di rumah ini. Namun, akhirnya ia meraih ponsel Riri yang ada di atas meja. Beruntung, mereka memiliki ponsel yang sama mereknya. Jadi, ia bisa mengisi daya ponsel Riri. Sementara Agus menancapkan kabel data USB di ponselnya, Riri menyesap teh manis itu. Ia merasa jauh lebih segar sekarang. "Aku baru tahu Mas tinggal di sini," ujar Riri. "Ehm, kita cuma nggak sengaja ketemu lagi," sahut Agus. Riri nyengir lebar. "Jadi, Mas inget siapa aku?" Agus tak menjawab. Hanya alisnya yang menaik. Ia merasa aneh melihat Riri memamerkan deretan giginya seperti itu. Padahal beberapa menit lalu, Riri bagaikan orang mati. "Mas, jadi guru masakku, ya!" pinta Riri tiba-tiba. Agus mendengkus keras. "Kenapa kamu bersikeras? Aku udah bilang, aku nggak punya waktu untuk itu. Kita bahkan nggak saling kenal. Jadi lebih baik kita tak usah ketemu lagi." "Kita bisa kenalan. Nama aku Kyurie, tapi panggil aja Riri," ujar Riri dengan senyuman di wajahnya. "Dan menurut aku, kita bisa ketemu lagi kayak gini tuh karena takdir. "Takdir?" Agus mendesis pelan. Ia tak percaya takdir baik. Ia selalu meyakini bahwa takdir selalu jahat padanya. "Ya! Kita udah ketemu dua kali dalam momen yang nggak disangka-sangka. Aku bahkan mendadak ada di rumah Mas. Ini udah pasti takdir!" Riri bicara dengan menggebu-gebu. "Aku bisa bayar Mas dengan uang banyak kalau Mas mau jadi guru masak aku." "Aku nggak butuh uang," tukas Agus. Ia tersenyum miring. "Kamu tahu siapa aku dan pasti kamu juga tahu kalau aku punya sumber pendapatan. Jadi, aku nggak butuh uang dari kamu." Riri mencebik. Benar juga. Uang bukan hal yang dibutuhkan oleh Agus. Lalu apa? Ia mengulum bibirnya. "Tapi aku butuh guru masak! Aku harus belajar masak yang enak!" "Kenapa?" "Karena cowok yang aku cintai ... sukanya sama cewek yang pinter masak," jawab Riri. Agus kembali merengut. Cinta! Setelah takdir kini Riri menyebutkan kata cinta. Cinta tak ubahnya seperti takdir. Menyakitkan! "Plis, aku bisa belajar cepet. Aku udah liat konten Mas! Pasti aku bisa kalau belajar langsung dari ahlinya. Aku bisa bayar atau kasih hadiah atau ... apa aja. Nggak perlu lama-lama, tiga atau enam bulan aja," kata Riri. Agus menggeleng. Ia menunjuk ke arah pintu rumahnya. "Kamu udah bisa ngoceh panjang, pasti kamu udah sembuh. Sekarang kamu bisa pulang." "Ponsel aku belum penuh, Mas." Agus mengepalkan tangannya lalu kembali duduk. "Aku nggak peduli dengan urusan cinta kamu. Jadi, lebih baik kamu cari guru masak yang lain." "Tapi aku mau sama Mas!" tegas Riri. "Gadis ini keras kepala banget," batin Agus. Ia harus memikirkan sesuatu untuk mengusir Riri. Namun, apa? Ia tak menemukan ide. Ketika itu, tiba-tiba pintu depan terbuka dan terdengar celoteh seorang gadis. Agus membelalak sementara Riri menoleh dengan penasaran. "Nah, ini rumah kakak aku, Mas," ujar suara yang tak asing di telinga Riri. Riri menyipitkan matanya saat melihat Cinta melepaskan sepatunya lalu berjalan masuk dengan Abian di gandengannya. "Mas ...." Riri menatap kaget Abian yang melotot sempurna padanya. "Apa ini?" Cinta melihat ke sekeliling ruang tamu Agus. Ada pakaian wanita di lantai dan yang paling mengejutkan ada Riri di atas sofa Agus. Ia menutup bibirnya. "Kakak bawa cewek ke sini?" Agus menelan keras. Ia tidak menyangka Cinta akan datang seperti ini. "Ini nggak kayak yang kamu pikirkan, Cin." "Kenapa cewek itu pakai baju aku?" teriak Cinta seraya menunjuk ke arah Riri. Riri meletakkan cangkir di meja. Ia berdiri gugup dan masih merasakan tatapan tajam Abian. "Dia basah, jadi aku pinjem baju kamu," ujar Agus pada Cinta. Cinta terlihat tak percaya. Sementara Abian langsung melangkah untuk menarik lengan Riri. "Ayo pulang! Apa yang kamu lakukan di sini, Adek Kecil?" tanya Abian. Ditatapnya Riri dari atas hingga bawah. Riri jelas tidak terlihat seperti Riri yang tadi siang bersamanya. Pakaiannya telah diganti dan ia yakin Riri tak memakai bra di balik kemeja tipis kotak-kotak itu. "Apa yang dia lakukan sama kamu?" Riri menggeleng. "Ini salah paham, Mas." Abian mencengkeram lengan Riri lebih erat. "Kita pulang sekarang juga!" Ia lalu melotot pada Agus. "Apa yang kamu lakukan sama Riri?" "Pastinya nggak seperti yang kamu bayangkan," sahut Agus. "Aku udah minta kamu pulang. Sana, buruan pulang!" Riri merasa kesal dan bingung. Abian menarik tangannya, jadi ia segera mengambil tas lalu mengikuti langkah Abian keluar dari rumah Agus. Dengan ditarik-tarik, ia menuruni anak tangga. "Mas kenapa, sih?" tanya Riri kesal. Ia sudah dicampakkan, tetapi tiba-tiba Abian marah padanya. "Kamu ini gadis baik-baik!" Abian menghentikan langkahnya di lantai satu ruko Agus. Ia menatap Riri dalam-dalam. "Kenapa kamu tidur sama cowok kayak gitu?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN