Riri menghentakkan kakinya begitu melihat Agus menjauh. Kedua mata gadis itu mengikuti arah gerak Agus hingga berakhir lenyap di balik pintu keluar.
"Sial, buku incaran nggak dapet. Diabaikan pula sama mas Agus!" gerutu Riri.
Riri melihat ke sekeliling. Karena tak mendapat buku yang ia inginkan dan karena ia sangat kesal, maka ia memutuskan untuk membeli buku resep yang lain. Ia tak hanya mengambil satu, tetapi lebih dari lima. Ia memeluk buku-buku itu dengan erat lalu memilih n****+ remaja yang sedang naik daun.
"Mas Abian mana, ya?" Riri yang hendak membayar di kasir mulai celingukan. Abian berkata akan menyusulnya, tetapi hingga ia selesai berbelanja Abian tidak terlihat.
"Ah, ngeselin! Mas Abian juga nggak mau nemenin aku!" Riri merasa harinya sungguh payah.
Setelah membayar, dengan keberatan—karena membeli banyak buku—ia pun keluar dari toko. Ia tak sabar untuk memamerkan buku-buku barunya pada Abian. Namun, ketika ia mendekati mobil Abian, ia justru dibuat ternganga.
Abian tak sendiri lagi! Abian berdiri di depan mobil hitamnya dan di atas kap mobil, duduklah seorang gadis cantik berambut panjang yang belum pernah dilihat oleh Riri.
Keduanya tertawa, sesekali Abian bahkan mengulurkan tangan ke pipi atau rambut gadis cantik itu. Riri sontak merengut. Pantas saja Abian tidak menyusulnya. Abian asyik berduaan!
"Mas!" panggil Riri. Ia mencebik maksimal.
Abian dan gadis itu menoleh bersamaan. Menatap Riri yang cemberut seolah menyadarkan Abian untuk apa ia berada di parkiran toko buku.
"Eh, Dek Riri," ujar Abian nyengir. Ia melambaikan tangan pada Riri. "Sini, deh."
Dengan bersungut-sungut, Riri mendekati Abian. Ia langsung merapatkan diri ke tubuh Abian seolah ingin memberikan si gadis bahwa Abian adalah gebetannya. Ia bisa merasakan tatapan di gadis tertuju padanya, tapi ia tak peduli.
"Ri, kenalin ini Cinta, pacar aku." Abian menunjuk si gadis.
Riri yang semula cemberut kembali ternganga. Pacar? Abian punya pacar—lagi?
"Hai, aku Cinta. Kamu pasti Yuri, eh ... Riri, siapa namanya, Mas?" tanya Cinta pada Abian.
"Namanya Kyurie tapi biasa dipanggil Riri," jawab Abian. Ia memutar tubuhnya hingga kini bersebelahan dengan Cinta.
Riri masih ternganga. Abian memang tampan dan wajar jika pria itu memiliki pacar. Namun, ini sangat mengejutkan. Abian memperkenalkan pacarnya ketika mereka sedang pergi berdua. Sungguh, ini adalah hari paling buruk.
"Salam kenal, Ri," kata Cinta seraya mengulurkan tangannya.
Riri yang tengah memeluk buku-bukunya merasa enggan bersalaman dengan Cinta. "Ya, salam kenal. Mas, bisa kita pulang sekarang?"
"Hah? Pulang?" Abian menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Iya, pulang. Mas nggak liat aku bawa banyak barang?" tanya Riri.
Abian berdehem. Ia menatap Cinta penuh makna lalu mengambil buku-buku Riri. "Ehm, Ri, aku bawain buku-buku kamu. Tapi, kamu pulang sendiri, ya."
"Apa?" Rahang bawah Riri seolah jatuh ke lantai parkiran.
"Aku mau makan bareng Cinta. Dia belum makan siang dan laper ... kami mau nongkrong di taman kota," kata Abian.
Hati Riri hancur berkeping-keping. Ia menatap Abian dengan mata basah. "Terus aku pulangnya gimana?"
"Kamu bisa panggil ojek online. Atau naik taksi," jawab Abian datar. Ia mengabaikan mata Riri yang dipenuhi air mata. "Plis, plis, aku mau pacaran sama Cinta."
"Tapi kita pergi berdua, Mas!" gertak Abian.
"Aku minta maaf. Aku bakal tebus lain kali. Oke? Jarang-jarang aku libur dan bisa ketemu Cinta," kata Abian seraya menangkupkan tangan di depan d**a dengan kesusahan karena ia sedang memeluk buku-buku Riri.
Riri menahan tangisnya pecah. Ia sangat kesal karena Abian lebih memilih makan bersama Cinta. Jadi, dengan kesal ia langsung mengambil alih buku miliknya.
"Oke! Aku pulang sendiri!" gerutu Riri.
Riri berjalan limbung, menjauh dari parkiran dan mulai menangis ketika ia membelok di trotoar. Dalam hatinya, ia setengah berharap Abian akan memanggilnya. Namun, tidak. Ketika ia menoleh, ia melihat mobil Abian meluncur ke arah yang berbeda. Dan pastinya Cinta ada di sana. Ya, Tuhan! Riri sangat sakit hati.
"Aku harus lewat mana?" Riri mulai bingung setelah berjalan selama beberapa saat. Ia membelok ke gang yang sepi dan tak bisa mendapatkan taksi. Jadi, ia memeluk buku-buku dengan satu lengan lalu merogoh ponselnya dari tas. Sungguh sial, ponsel itu mati karena kehabisan daya. Dan ia bahkan tidak membawa power bank.
"Ya, Tuhan! Sial banget diriku!" Riri mengumpat. "Lebih baik aku ke jalan raya biar gampang nyari taksi."
Namun, ketika ia hendak membalik badan, gerimis mulai turun. Astaga, Riri tak bisa memikirkan hal yang lebih buruk daripada ini. Dicampakkan, tersesat dan mulai kehujanan.
Riri hampir menyeberang. Kedua matanya dengan hati-hati menunggu mobil boks lewat. Dan tanpa ia duga, mobil itu tiba-tiba berhenti dengan decitan keras. Sesuatu tertabrak oleh mobil besar itu.
"Astaga!" Riri begitu gemetar karena melihat seorang pria telah terkapar di tengah jalan. Buku-buku yang ia bawa terjatuh ke aspal seiring dengan air matanya yang kembali deras mengalir. "Nggak mungkin ...."
Alih-alih memeriksa kondisi pria yang tertabrak, Riri malah membalik badan. Ia sangat takut dengan darah, luka dan orang sakit. Jadi itu membuatnya mual dan gemetar hebat. Kedua kakinya tak bisa diajak bekerja sama. Ia ambruk di jalan begitu saja saking takutnya.
Riri menoleh sedikit pada pria korban kecelakaan itu. Sudah ada kerumunan. Pasti orang itu sudah diselamatkan, pikir Riri. Ia tak boleh takut, orang itu pasti baik-baik saja. Dan ia harus segera pergi dari sini.
Namun, hujan semakin mendera tubuhnya. Ia tidak bisa bernapas dengan leluasa dan mulai merasa pusing. Darah, darah dan darah. Riri menggeleng ketika akhirnya ia kehilangan kesadaran.
***
Sementara itu, Agus yang baru saja pulang juga melihat kecelakaan mobil boks dan pria itu. Rumah kontrakannya tak begitu jauh dari lokasi. Ia tinggal di ruko berlantai dua dan hanya melihat dari balkon.
"Bisa-bisanya ada kecelakaan," gumam Agus. "Untung aja udah dibawa ambulans."
Agus hendak masuk ke rumah ketika ia melihat sesuatu yang janggal. Masih ada satu orang yang tergeletak di jalan. Agak jauh dari lokasi kecelakaan. Apakah itu juga korban kecelakaan? Namun, itu ada di gang kecil dan tak seorang pun yang mendekat.
"Dia kenapa?" Agus menyipitkan matanya. Ia menunggu hingga beberapa saat untuk melihat apakah ada yang menolong sosok itu. Sayangnya tidak. "Ah, bikin repot aja."
Agus segera menuruni anak tangga. Ia berada sangat dekat dengan Riri yang pingsan dan kehujanan. Jadi, ia yang pertama memeriksa Riri.
"Ini 'kan cewek aneh tadi," gumam Agus saat ia membalik tubuh Riri. Ia menepuk pipi Riri pelan. "Hei, bangun! Kamu harus bangun!"
Riri bergeming. Wajahnya seputih kapas dan Agus panik. Ia menoleh ke kanan-kiri dan tersadar ia tak membawa ponsel. Ia tak bisa menelepon ambulans.
"Hei! Bangun!" Agus memanggil sekali lagi. "Ah, sial!"
Agus menoleh ke buku-buku yang berserak di jalan. Dengan cepat ia memasukkan semuanya ke kantong keresek lalu mengangkat tubuh kurus Riri.
Rumahnya tak begitu jauh, jadi ia langsung membawa Riri ke sana di lantai dua ruko itu. Lantai satu ia jadikan dapur dan parkiran. Ia tinggal seorang diri, jadi ia hanya perlu sedikit ruang untuknya tidur.
Agus membaringkan Riri di sofa. Tubuh mungil itu basah sepenuhnya. Ia pun demikian.
"Apa dia pingsan atau mati?" Agus sangat bingung. Karena ia mulai menggigil, ia pun memutuskan untuk mengganti pakaian dulu.
Dan kini, setelah ia memakai baju kering ia jadi galau. Apa yang akan ia lakukan pada Riri? Gadis itu pasti juga sangat kedinginan. Astaga! Wajahnya semakin pucat.
"Kamu nggak mau bangun? Halo?" Agus mengguncang kaki Riri, tetapi tak ada reaksi. Gadis itu semakin menggigil dan pucat.
Agus menoleh ke lemari. Ada beberapa baju adiknya yang mungkin pas dengan Riri. Namun, apa yang akan terjadi jika ia mengganti pakaian gadis ini? Agus tak mau dianggap m***m, tetapi ia juga tak punya pilihan. Gadis ini bisa terkena hipotermia jika terus kedinginan.
Agus mengambil baju bersih milik adiknya lengkap dengan dalaman. Ia lalu mendekati Riri dan mulai membuka anak kancing kemejanya. Kedua mata Agus berusaha untuk tak menatap apa yang ada di balik kain basah itu.
"Ya, ampun. Aku terpaksa melakukan ini," desisnya.
Agus tak bisa berpaling kini. Tubuh putih bersih dengan gundukan di balik bra terpampang di matanya. Ia menelan keras lalu menggeleng. Ia mempercepat aksinya membuka semua pakaian Riri. Lalu dengan kesusahan ia memakaikan bra di d**a Riri.
"Astaga, ini kebesaran!" Agus menggeleng pelan.
Ketika Agus masih kebingungan, mendadak Riri membuka mata. Ia bertemu tatap dengan Agus yang sedang menempelkan bra ke dadanya. Sontak, Riri melotot sempurna!
"Aah! Apa yang kamu lakukan?" teriak Riri seraya memukuli kepala Agus.