Bab 1. Masakanmu Nggak Enak
"Gimana rasanya?" Kedua mata Riri berbinar menatap Abian yang tengah mengunyah nasi goreng buatannya. "Enak nggak, Mas?"
Abian mencoba menelan makanan buatan Riri dengan susah payah. Ia lalu tersenyum dan mengambil botol air mineral yang juga telah disiapkan oleh gadis manis di sebelahnya itu.
"Bilang dong, Mas! Enak apa nggak?" desak Riri lagi. Ia menyenggol lengan Abian dengan lengan kecilnya. Sontak, air mineral yang hampir meluncur ke mulut Abian pun muncrat. "Eh, ya ampun! Maaf, Mas!"
Abian terbatuk. Ia menatap kesal Riri. Gadis itu dengan panik membuka tas lalu mengeluarkan satu kotak tisu dan mulai mengelap celana Abian yang basah. Aksi itu membuat Abian merasa sedikit geli dan menarik pahanya.
"Udah, biarin aja. Nanti juga kering," ujar Abian.
"Tapi basah, Mas," ucap Riri dengan penuh rasa bersalah.
"Makanya orang lagi minum jangan disenggol gitu," tukas Abian.
Riri mengangguk. Bibirnya mengerucut lucu. Kali ini ia membiarkan Abian minum dengan tenang. "Mas, gimana masakan aku? Udah lumayan dibanding yang kemarin?"
"Ya ... kayak gini. Bisa dimakan," jawab Abian. Ia menyendok lagi nasi goreng buatan Riri. "Tapi ini pedes banget. Gila, aromanya aja cabe doang."
Riri semakin mencebik. "Coba lagi, Mas. Aku pakai bumbu spesial ala bibik di dapur. Ehm? Ayo!"
Melihat Riri mendorong kotak bekal itu, mau tak mau Abian kembali memasukkan satu suap nasi goreng ke mulutnya. Ia menahan rasa pedas yang menyerang. "Ri, ini mah bisa bakar bibir aku. Lama-lama jontor, tahu nggak?"
"Emang sepedes apa, sih? Tadi aku cicip biasa aja," gerutu Riri. Ia menggeser kotak bekal Abian lalu mulai menyendok. "Biar aku yang makan kalau Mas nggak mau!"
Abian mengangkat bahunya. Riri memang tidak bisa memasak, tetapi Riri suka memasak untuknya. Ia sangat heran karena hal itu.
"Pedes, kan?" Abian bertanya ketika melihat mata Riri yang memerah. Lalu tak lama Riri mulai mengibaskan tangannya di depan bibir.
"Aduh, kok jadi gini?" Riri dengan panik mengambil botol dari tangan Abian. "Tadi enak."
Abian kembali mengangkat bahunya. Ia memperhatikan bibir mungil Riri yang memerah karena masakannya sendiri.
"Mulai hari ini, kamu nggak usah masak lagi," ujar Abian.
"Tapi ... tapi aku pasti bisa masak suatu hari nanti!" sergah Riri dengan nada mantap.
Abian mengulurkan tangannya ke puncak kepala Riri. "Nggak usah dipaksain. Kamu harus sadar kalau kamu emang nggak bisa masak."
"Bisa! Bisa! Aku bisa masak buat Mas!" Riri bersikeras. Ia sangat menyukai Abian, tetangga sekaligus teman masa kecilnya yang tampan dan berprofesi sebagai dokter. Sayang, Abian selalu menganggapnya sebagai adik kecil. Abian juga berkata bahwa ia hanya menyukai wanita yang pandai memasak. Itulah sebabnya Riri berusaha keras untuk belajar memasak.
"Nggak usah buang-buang waktu. Mendingan kamu belajar biar cepat lulus kuliah," kata Abian. Pria itu menutup kotak bekal lalu memasukkannya ke tas berwarna pink milik Riri. Dalam hatinya, ia sudah lelah diberikan bekal yang terlalu menggemaskan seperti ini.
"Mas, aku pasti belajar lebih baik lagi nanti. Biar aku bisa masakin calon suami aku," kata Riri ketika Abian berdiri. Ia mengambil tas bekal yang tidak dihabiskan oleh Abian lalu mengikuti langkahnya. "Mas, tunggu! Aku 'kan mau minta dianter ke toko buku."
"Ya udah, ayo."
Riri membuang napas panjang. Mendapatkan hati Abian adalah ambisinya yang terbesar. Sayang sekali, Abian terkadang bersikap acuh tak acuh padanya karena tak ingin hubungan mereka lebih daripada teman. Padahal, Riri sangat yakin bahwa ia bisa menaklukkan hati Abian.
Dan mumpung Abian sedang libur, ia sengaja memasak untuk Abian juga mengajaknya jalan-jalan ke toko buku.
"Kamu turun sendiri, ya. Aku ada telepon," kata Abian ketika ia memarkir mobilnya di depan toko buku.
"Oke. Tapi, Mas nanti nyusul!"
Abian mengangguk tipis. Ia melambaikan tangannya pada Riri yang langsung berlari ke dalam toko. Ia menggeleng keheranan menatap punggung Riri. "Nggak capek bener cewek itu ngejar-ngejar aku. Hmm."
Sementara itu di dalam toko buku, Riri langsung berjalan ke arah aneka buku resep makanan. Ada satu buku incarannya yang baru terbit dan kini kedua matanya terpaku pada buku tersebut.
"Wah, tinggal satu!" pekiknya. Ia mempercepat langkah ke arah rak lalu berjinjit untuk meraih buku tersebut.
Riri menahan napas ketika mendadak ada tangan lain yang terjulur melewati tangan pendeknya. Ia langsung melotot ketika tangan itu lebih dulu mengambil buku yang ia incar. Sial!
Riri menoleh cepat pada pria beraroma maskulin di sebelahnya. "Hei! Itu buku aku!"
"Apa?" Pria itu menatap datar Riri.
Riri berkacak pinggang. "Aku duluan yang ke sini dan mau beli buku itu."
"Aku duluan yang ambil buku ini dari rak," balas pria itu.
"Mana bisa gitu? Tangan aku lebih dulu mau ngambil. Kamu aja yang menyerobot!" gerutu Riri.
Pria itu hanya mengangkat bahu. Ia malas sekali berdebat dengan gadis yang tak ia kenal. Tanpa memedulikan Riri, ia langsung memasukkan buku itu ke keranjang belanjaannya lalu membalik badan.
"Hei, tunggu!" seru Riri. Ia menarik keranjang belanja pria itu. "Biar aku bayar dua kali lipat. Aku butuh buku ini buat belajar masak!"
Pria itu memutar bola mata. "Apa?" Ia mendengkus keras. "Kamu bisa beli e-booknya kalau nggak kebagian buku ini."
"Tapi ... tapi e-booknya baru rilis bulan depan," kata Riri dengan nada membujuk. "Aku harus beli buku ini. Plis, plis!"
"Nggak akan. Aku duluan yang ambil, jadi pergi sana. Kamu bisa beli buku yang lain," kata si pria.
Riri menghentakkan kakinya dengan kesal ketika pria itu langsung berjalan ke arah kasir. "Kayaknya aku kenal pria itu, tapi siapa, ya? Ngeselin banget nggak mau ngalah sama cewek!"
Riri masih berniat membujuk si pria, hingga akhirnya ia mendadak ingat siapa pria tadi. Ia yakin mengenal suaranya. Yah, ia sering melihat video tutorial memasak di salah satu akun t****k. Dan ia yakin, pria itu adalah pemilik akun Mas Buchin.
"Ya ampun! Bego!" Riri mempercepat langkah mengejar pria tadi.
"Mas! Mas!" panggil Riri. Ia melewati deretan rak lain lalu berlari untuk menghadang di pria. "Stop!"
Pria itu menatap Riri dengan bosan seolah benar-benar tak ingin melihat Riri lagi. "Ada apa lagi?"
"Ehm, aku tahu siapa Mas. Mas Agus, kan? Yang punya kafe Buchin? Mas Buchin? Tukang masak di t****k?" tanya Riri dengan mata membulat sempurna.
Pria itu mengerjap. Yah, ia adalah Agus Dewangga dan ia adalah orang yang persis ditebak oleh Riri. Namun, ia sangat heran karena Riri bisa langsung mengenalinya. Padahal selama ia membuat konten, ia tak pernah menunjukkan wajahnya.
"Kamu salah orang," bantah Agus.
"Bohong banget! Aku tiap hari nonton channel Mas! Aku bahkan udah follow!" Riri membuka ponselnya. Ia menunjukkan bukti bahwa ia telah mengikuti akun Agus. "Aku nggak mungkin salah. Aku apal suara Mas. Dan aku tahu ini tangan yang biasa masak di dapur kafe Buchin."
Agus mengangkat alisnya. "Jeli juga cewek ini. Apa sih, maunya?"
"Ya, tebakan kamu benar. Tapi, walaupun kamu adalah pengikut aku, kamu tetap nggak bakal dapetin buku ini. Oke?" Agus berjalan melewati tubuh Riri.
Riri membuang napas panjang. "Sial! Kenapa hidup aku dipenuhi pria-pria dingin yang ngeselin?" Dengan kesal, ia kembali mengejar Agus. Ia tak lagi menginginkan buku itu.
"Aku nggak mau rebutan buku lagi," kata Riri.
"Ya udah, sana pergi. Ngapain kamu masih buntutin aku?" Agus mengibaskan tangan, risih dengan Riri yang mengekorinya.
"Aku ... aku butuh guru masak!" seru Riri.
Agus membalik badan dengan cepat hingga Riri menumbuk dadanya. Ia memperhatikan Riri mengusap kening sambil mengaduh. "Maksud kamu apa?"
"Ya ... Mas mau jadi guru masak aku?" tanya Riri. Ia melepaskan keningnya yang terasa nyeri setelah menghantam d**a keras Agus.
"Apa?"
"Mas 'kan pinter masak. Aku boleh jadi murid Mas? Bentar aja sampai aku bisa masak. Plis!"
Agus tak habis pikir. Ia baru pertama kali bertemu dengan gadis keras kepala seperti Riri. Setelah menginginkan buku yang ia beli, kini gadis itu ingin ia mengajarinya memasak? Sungguh di luar nalar!
"Kamu pikir pria kayak aku sempat ngelakuin itu?" tanya Agus dengan nada mencela.
"Hah?" Riri tak yakin. Agus mungkin sibuk—pastinya sangat sibuk. Ia mengulum bibir. "Bentar aja, Mas. Seminggu tiga kali, pasti aku cepet bisa masak. Aku penggemar Mas!"
"Maaf, aku nggak punya waktu untuk itu!" tolak Agus. Kali ini ia mempercepat langkahnya menuju kasir dan tak memedulikan panggilan Riri.
Agus menggeleng. Ia yakin Riri hanyalah gadis iseng yang mencoba menggodanya. Ia tak tahu, bahwa takdir akan mempertemukan mereka sebagai guru dan murid dalam waktu dekat.