Bab 4. Ponsel Ketinggalan

1375 Kata
Riri memutar bola mata. Ia tak pernah melihat Abian semarah ini padanya. Dan tentu saja ia menjadi heran sendiri. Abian bahkan mengiranya telah tidur dengan Agus. Sungguh, ia ingin tertawa karena ini terlalu konyol. "Aku nggak nyangka, ternyata sepicik itu pikiran Mas sama aku!" gertak Kyurie. Ia mengayunkan tungkainya menjauhi Abian. Hari sudah gelap dan ia tak tahu ke mana ia harus melangkah. "Kita bicara di mobil!" Sekali lagi, Abian mencengkeram tangan Riri. Gadis itu memberontak, tetapi Abian dengan kuat menariknya ke arah mobil. Riri semakin cemberut. Ia ingin menangis karena kesal dengan Abian, kepalanya juga pusing akibat kehujanan. "Lepasin, Mas. Aku bisa pulang sendiri. Bukannya itu yang Mas mau dari aku?" Abian membuang napas panjang. Kini, ia jadi merasa bersalah pada Riri. Ia memang sengaja mengusir Riri agar tidak lagi mendekatinya. Dan Riri malah berakhir di sini. Ini sungguh gila. Apa yang akan orang tua Riri katakan jika tahu? Abian berhenti di sebelah mobil. Ia tak lantas membuka pintu untuk Riri, tetapi ia menanggalkan jaketnya terlebih dulu lalu menyelimuti tubuh Riri. "Pakai ini." Abian menunjuk tubuh Riri dari atas ke bawah lalu ke atas lagi, tepat di depan dadanya. "Kamu nggak boleh berpakaian kayak gini." Riri mencebik. Karena ia memang kedinginan dan tak mengenakan bra, maka ia menurut saja. Ia segera memakai jaket Abian lalu mulai terisak. "Ayo pulang!" Abian membuka pintu mobil lalu mendorong bahu Riri. Ia bersyukur Riri tak memberontak lagi. Ia langsung berlari memutar dan mulai menjalankan mobilnya. Abian menatap Riri yang hanya terdiam di sebelahnya. Riri tampak agak menggigil dan itu membuat Abian cemas. Ia mengulurkan tangannya ke kening Riri. Sontak, Riri menepisnya. "Kamu demam," kata Abian. "Bukan urusan Mas!" teriak Riri. Ia melotot pada Abian. "Apa yang ada di otak Mas? Hah? Beberapa jam lalu, Mas nyuruh aku pulang sendiri dan sekarang Mas bersikap seolah peduli! Makan itu pura-pura!" Abian mencengkeram setir mobilnya. "Kita beli obat dulu. Kamu harus minum obat." "Aku nggak mau!" total Riri keras. Abian menghentikan mobilnya di tepi jalan dengan mendadak. Tubuh Riri yang lemas tersentak dan ia langsung menoleh pada Abian. "Kalau gitu bilang gimana ceritanya kamu bisa ada di rumah itu? Kamu berduaan sama cowok dan kamu nggak berpakaian dengan benar!" seru Abian. Riri merengut sempurna. "Kenapa itu jadi masalah? Mas bisa berduaan sama pacar Mas? Kenapa aku nggak boleh?" "Jadi dia pacar kamu?" Abian menelengkan kepalanya. Ia tak pernah tahu Riri memiliki pacar. Yang ia tahu Riri sangat terobsesi padanya. Riri menahan tawanya. "Apa Mas cemburu?" "Jangan bales tanya, Ri. Aku tanya beneran. Kalau dia emang pacar kamu ... sebaiknya kamu putus dari dia! Dia kelihatan nggak baik!" gerutu Abian. Riri tersenyum miring kali ini. "Aku tahu Mas cemburu. Ya, kan?" "Nggak usah ngawur. Aku begini karena aku khawatir sama kamu. Dia udah berani sentuh kamu, kan? Apa yang orang tua kamu bakal pikirin?" tanya Abian dengan nada jengkel. "Kamu ini gadis baik-baik, jadi nggak sepantasnya kamu berduaan di rumah cowok kayak gitu. Apalagi nyampe ganti baju nggak lengkap kayak gini. Apa yang sebenarnya udah dia lakuin ke kamu?" Riri memalingkan wajahnya dari Abian. "Bukan aku yang ngawur! Mas yang ngawur. Dia cuma nolongin aku!" "Apa?" Abian semakin tak mengerti. Riri hampir menangis lagi. Jika ia mengingat bagaimana ia tersesat lalu menyaksikan korban kecelakaan itu, ia begitu takut. "Jelasin, apa yang terjadi, Ri." Abian bicara dengan nada yang lebih lembut sekarang. "Aku nyasar," jawab Riri. Ia meremang mengingat darah yang begitu banyak di aspal. Ia menggeleng pelan. "Lalu?" Abian tampak tak sabar. "Aku mau balik ke jalan utama, tapi ada kecelakaan di sana. Aku liat sendiri ... orang itu ketabrak dan ... ada banyak darah ... aku ...." Abian tertegun mendengar ucapan Riri. Ia tahu Riri sangat phobia dengan darah dan orang sakit. "Hei, nggak apa-apa. Ada aku." Abian menjangkau tangan Riri yang gemetar. Tangan itu panas, seperti keningnya. Riri pasti kehujanan dan sangat ketakutan. "Aku takut, Mas. Aku takut!" isak Riri. Abian menggeleng. Ia melepaskan tangan Riri lalu memeluk tubuh Riri. Gadis itu langsung terisak-isak di dekapan Abian. Rasa bersalah semakin menyerang Abian. Jika saja ia tidak meminta Riri pulang sendiri, ini pasti tak akan terjadi. "Kamu aman, kamu aman sama aku, Adik Kecil." Riri terisak lebih keras karena panggilan Abian untuknya. Ia selalu sedih jika hanya dianggap sebagai adik, padahal ia menyukai Abian sejak dulu. "Maaf, aku seharusnya nyariin kamu taksi tadi," kata Abian. Riri memukul d**a Abian dengan keras. "Mas emang jahat!" Abian melepaskan pelukan. Ia mengambil kotak tisu. Ia tak menyangkal, ia memang jahat pada Riri. Ia tahu bagaimana perasaan Riri padanya, tetapi ia berencana untuk tidak membalasnya. "Jangan nangis lagi, besok aku beliin kamu cokelat yang banyak sebagai permintaan maaf aku," kata Abian. Riri mencebik. Ia mengusap wajahnya yang basah dengan tisu lalu membersit hidung. "Aku nggak ngapa-ngapain sama cowok tadi." Abian mengulum bibirnya. Ia masih penasaran dengan apa yang terjadi di rumah itu. Riri tak pernah begini sebelumnya. Apakah benar Agus hanya menolong Riri yang ketakutan? Namun, ia tak bertanya lagi. "Kita mampir ke apotek, kamu harus minum obat sebelum tidur nanti," kata Abian. Dan ia menjalankan mobilnya lagi. *** Sementara itu, setelah Riri dan Abian meninggalkan rumah Agus, terjadi ketegangan yang sama di sana. Cinta menatap ke sekeliling ruang tamu. "Kakak bawa cewek ke sini, aku nggak nyangka," ujarnya. Agus mendesahkan napas panjang. Ia berjongkok untuk memungut pakaian basah Riri. Ia juga menumpuk buku-buku Riri yang ketinggalan di sini. Setelahnya, ia langsung mendekati mesin cuci yang ada di dekat dapur. Cinta lebih dulu menjangkau pakaian Riri yang hampir ditelan oleh mesin cuci. Ia menatap merek pakaian Riri. "Cewek itu tajir. Bajunya bermerek. Kakak pinter juga nyari pacar," kata Cinta dengan nada mencela. Agus memutar bola mata. Ia menarik pakaian Riri lalu mencemplungkannya ke mesin cuci. "Kamu ngapain ke sini? Lebih baik kamu pulang." Cinta mendengkus. "Jawab dulu, apa yang tadi beneran pacar Kakak?" "Bukan urusan kamu. Kamu juga bawa pacar kamu ke sini, kenapa aku nggak boleh?" tanya Agus dengan nada tak ingin dipojokkan. Cinta menggigit lidahnya. "Jadi benar itu pacar Kakak?" "Aku udah bilang, itu bukan urusan kamu!" "Tentu aja itu urusan aku!" teriak Cinta. Ia mengepalkan tangannya. "Aku bakal bilang sama papa kalau Kakak bawa cewek ke rumah!" Agus mengangkat bahunya. "Aku bukan anak kecil, Cin. Aku bebas ngapain aja. Lagian, ini rumah ... rumah aku. Terserah aku." Cinta semakin mencebik. "Kakak emang egois! Kakak bahkan pinjemin baju aku ke dia tanpa permisi." "Aku terpaksa. Kamu lihat sendiri bajunya basah dan ... lebih baik kamu pulang!" Agus merasa tak ingin menjelaskan apa-apa pada Cinta. "Aku mau nginep di sini!" Cinta terlihat tak ingin kalah dari Agus. "Jangan main-main, aku beneran nggak mau liat kamu di sini sekarang. Mama sama papa pasti nyariin kamu kalau kamu nggak pulang. Jangan bandel dan buruan keluar!" teriak Agus. Cinta dengan kesal menghentakkan kakinya ke lantai. Ia lalu berjalan cepat menuju pintu depan. Agus membuang napas panjang setelah Cinta tak terlihat lagi. Ia menumpu tubuhnya pada mesin cuci selama beberapa saat sebelum ia mulai menyalakan alat elektronik itu. Agus kini duduk di ruang tamu lagi, ia merasa kacau dengan segala situasi ini. Ia bahkan mengusir Cinta. "Cowok tadi pacar Cinta dan ternyata dia juga kenal sama Riri," gumam Agus dengan bingung. Agus tiba-tiba mendengar denting ponsel yang sama sekali bukan miliknya. Ia lalu menatap ke meja kecil di mana ponsel Riri masih tertancap kabel USB miliknya. "Ah, ketinggalan," gumamnya lagi. Agus berdiri. Ia mengambil ponsel Riri dan dikagetkan dengan wallpapernya. Itu adalah foto Riri dengan pacar adiknya. "Jangan-jangan, ini cowok yang ditaksir sama Riri." Agus ingat Riri ingin menggaet seseorang dengan masakan. Dan ia menduga bahwa cowok itu adalah Abian. Agus membuka kunci layar Riri lalu memulai dengan galeri. Ia menemukan banyak sekali foto Abian di sana. Ia tersenyum miring ketika menemukan foto Abian dengan jubah dokter. Abian tampaknya berasal dari keluarga kaya-raya dan berprofesi sebagai dokter. Dan Abian berpacaran dengan Cinta, padahal Riri ingin sekali mendapatkan hati Abian. Mengingat bagaimana sikap Abian yang protektif pada Riri, Agus yakin Abian sangat dekat dengan Riri. Hatinya mendadak tidak nyaman. Ia tak ingin hubungan cinta adiknya terusik oleh Riri. Sudah bagus Cinta memiliki pacar seorang dokter yang keren. Sebab bagi Agus, kebahagiaan Cinta adalah hal terpenting di dunia. "Aku harus ketemu Riri lagi. Aku harus balikin ponsel ini," gumam Agus. Kedua matanya berkilat. "Dan aku harus menjauhkan Riri dari Abian."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN