5. Kelemahan Khala

2261 Kata
Alhamdulillah, Minggu. Hari libur bekerja tiba. Namun, Khala tetap bangun pagi, mandi, cuci pakaian, hingga kontrakannya pun bersih di sebelum jam delapan. Well, karena di rumah sendirian, kadang dia melepas jilbabnya. Termasuk saat leha-leha baca komik pagi itu. "Paket!" Eh? "Paket!" Khala tidak merasa habis belanja online, tetapi tampaknya itu suara dari depan rumah ini. Nggak salah alamatkah? Gegas Khala ambil jilbab dan memakainya sebelum kemudian buka pintu, tepat di sana mamang paket pun terpampang. "Dengan Ibu Senja Khala?" Sejenak Khala kiceup. "Ah, iya. Saya sendiri." Diangsurkannya sekotak entah apa dalam plastik putih itu. "Dari siapa, Mas?" "Suami Ibu." Hah? "Oh, ya, Pak Bintang." Tunggu! Khala belum nikah, ya, tolong! Namun, malas berlama-lama di luar menanggapi mamang paket yang sepertinya sudah ditipu sang pengirim, Khala pun persingkat dengan bilang makasih. Dia terima juluran paket itu. Well, kayaknya itu mamang ojol, deh. Mungkin dititipi sesuatu oleh manusia yang ngaku-ngaku sebagai suaminya--untuk dikirim saat itu juga paket ini. Apa, nih, isinya? Apa pula maksudnya? Ya Allah .... Harus banget gitu Khala masuk ke sirkel Mas Bintang lagi? Sosok yang selama 7 tahun ini sudah berhasil Khala jauhi, tetapi kenapa Tuhan membuat skenario pertemuan kembali macam akhir-akhir ini? Khala pun meletakkan kotak itu di meja. Sebelum dibuka, dia baca-baca dulu keterangan di luarnya. Nggak ada tulisan apa pun selain nama penerima dan alamat tujuan. Fix. Ini, sih, Khala mesti menelepon gerangan dan itu sungguh menyebalkan. "Waalaikumsalam. Ada perlu apa sama orang yang kamu anggap mantan, Khal? Tuh, kan! Nyebelin orangnya. Baru juga Khala bilang salam, sahutannya sudah kayak orang ngajak perang. "Ada yang anterin paket ke sini. Dari Bapak, kan?" "Oh, sudah sampai?" "Maksudnya apa?" Khala sewot. "Sudah dibuka?" "Nggak bakal saya buka. Oh, ya, minta alamat tinggal Bapak." "Kamu mau ke sini?" Sinting saja kalau iya. Khala menghela napas pelan. Geram dia. "Ya udah, besok saya kirim balik ke kantor aja sekalian berangkat kerja." Baru akan Khala akhiri panggilan itu, eh, Pak Bintang menyela, "Dibuka sekarang aja, Khal. Kalo nunggu besok, takut membusuk." Waduh .... "Emang apa isinya?" "Ya, makanya dibuka dulu." Sambil pegang telepon, Khala pun mulai meraih paket itu. Karena sulit, jadi dia letakkan ponselnya selepas me-loudspeaker. "Apa, sih, ini?" "Belum dibuka?" "Iya, ini ... Ya Allah ...." "Sudah? Aman, kan?" kata Pak Bintang dan lanjut bilang, "Oh, ya, happy anniversary yang ke-8." Membuat Khala kehilangan kata-katanya, pun bingung di tempat. Ya, itu .... Kue mini bertuliskan hari jadi hubungan asmara antara Khala dan Bintang yang kedelapan. Namun, .... "Kita, kan, sudah selesai! Kok, Bapak bebal?" Buru-buru Khala rapikan lagi kiriman kue tadi. "Kamu juga bebal. Memangnya kapan saya acc keputusan kamu dulu? Toh, putusan kamu pun nggak nyampe ke saya, tuh. Langsung ilang aja gitu. Hebat kamu nge-ghosthing saya sampai selama itu." Ah sudahlah! "Saya tutup teleponnya. Asalamualaikum!" "Waalaikumsalam. Tapi, bisa tolong bukakan dulu pintunya? Saya di depan." Eh? WHAT?! Ngapain? *** Momen 7 tahun lalu yang sudah seperti misteri, setuju? Hingga sejak kemarin Bintang terus-terusan kepikiran hal itu. Malam di sebelum terpejam, Bintang menerawang, memangnya apa, sih, yang sudah terjadi di masa itu? Bahkan dia yang terlibat pun berpikir keras karenanya, padahal harusnya dia tahu, kan? Yang mana dulu itu .... "Serius, Mas, nggak mau dibayar?" Hari-hari berlalu, makin ke sini Bintang makin sering bawa Khala sebagai penumpang, tetapi ongkosnya Bintang gratiskan. "Iya, gak pa-pa. Toh, tujuan kita sama." Sambil dia lepas helmnya. Di parkiran kampus. "Next time chat WA aja kalo mau dijemput." Eh? "Emangnya boleh, ya? Nggak melanggar ketentuan di aplikasi ojolnya, gitu?" Bintang menoleh, menatap Khala di sisinya. Well, paham nggak maksud Bintang tadi bilang gitu gimana? Kayaknya, Khala nggak paham, ya? Membuat Bintang terkekeh saja. Dia pun rogoh saku. Sudah berminggu-minggu komunikasi antara dia dan Khala hanya melalui riwayat chat di aplikasi ojek online. Makanya sekarang Bintang bilang, "Coba sebut nomor telepon kamu." Khala kontan menoleh. Mereka bertatapan, tak lama, Khala menunduk melihat jalan yang dia pijaki. "Buat apa, Mas?" "Ngehubungin. Biar enak ke depannya." Khala mengernyit. Menatap Bintang lagi, pun Bintang menatapnya. "Kosong delapan berapa?" imbuh Bintang. Sudah siap untuk ketik nomor telepon di sana. Entah apa isi kepala Khala saat itu, tampak menimbang-nimbang sebelum akhirnya disebutkan 12 angka yang dapat Bintang hubungi. "Oke. Di save, ya? Besok-besok misal butuh tumpangan, call aja." Khala terkekeh. "Berasa punya ojek pribadi, nih." Bintang cuma senyum. Dulu. Gara-gara sering ketemu, sering terlibat percakapan, nyambung pula obrolannya, hingga patah hatinya atas perselingkuhan Nadia dirasa cepat tersamarkan. Yang mana Bintang merasa, Khala hadir di waktu yang tepat. Sangat. Membuat fokusnya dari kekecewaan hubungan menjadi manis teralihkan. Sampai-sampai Bintang lupa kalau skripsinya harus segera dirampungkan. Namun, jika begitu, artinya dia harus pulang. Waktunya di tempat yang sama dengan Khala berkurang, habis malah, dan Bintang keberatan. Kenapa, ya? Kayak gak rela aja gitu. "Mm ... nanti sore ada acara, Khal?" "Ada. Kan, aku ngajar ngaji, Mas. Terus suka ikut pengajian remaja sekitar perumahan juga habis itu. Kenapa emang?" Oh, iya! "Mau mampir ke rumah," katanya. "Ke rumah aku?" Bintang mengangguk. "Buat?" Tak Bintang jawab. Dia cuma mesem. Percayalah, saat itu mesem-mesemnya nular sama Khala. Detik di mana Khala menunduk dan Bintang menatap ke sisi kanannya, sedang Khala berjalan di sisi kirinya. Duh .... Nggak kerasa, akhirnya mereka tiba di tikungan. Seperti biasa, arah mereka berbeda, di situlah mereka berhenti. Kali ini kayak yang nggak mau pisahan, jadi berdirilah mereka di sana cukup lama. Well, dunia serasa milik berdua. Yang lain cuma numpang lewat saja. "Nanti kalo udah jam pulang, chat aja, ya?" Khala mengangguk. "Makasih, ya, Mas ... tumpangannya." Senyum. Itulah hari di mana perubahan di hati Bintang untuk Khala, pun Nadia, terasa begitu jelas terjadi ... dan Bintang sadari. Kira-kira beberapa minggu setelah kejadian kepergok diputusin. Mengingatnya, Bintang senyum-senyum sendiri. Gila. Cuma mengenang momen itu saja dia sudah salah tingkah di masa kini. Yang Bintang tutupi matanya dengan lengan kiri, bibirnya masih melengkung, kadang terkekeh juga, dan itu masa kini. Sampai-sampai ingatan Bintang bablas pada saat dulu dia bilang, "Sadar nggak, Khal? Ternyata saya suka sama kamu." To the point. Asli. Bintang juga bilang, "Kalo kita pacaran, mau?" Ingat sekali ekspresi Khala waktu itu. Yang pasti kaget, sih, ya, soalnya Bintang tiba-tiba banget. "Tapi jangan tersinggung, ya, ini saya ngajakinnya pacaran dulu? Next kalo udah sama-sama siap, saya datengin papa kamu." Waktu itu ... lama Khala terdiam. Bintang juga ingat bahwa telapak tangannya sendiri jadi dingin, tetapi berkeringat. Lirih suara Khala berkata, "Pacaran, Mas?" Dulu ... Bintang mengangguk, dia pun bilang, "Tapi kamu udah telanjur tanda tangan kontrak no pacaran sebelum umur 23, sih, ya?" Bintang meringis. "Dan saya nggak masalah misal pacarannya diem-diem. Sekali lagi, jangan tersinggung, ya, Khal, saya ngomong gini?" Tampaknya Khala masih mengondisikan diri yang terkejut oleh ucapan tiba-tiba Bintang. Kelihatan dari tampangnya, Khala kebingungan. Oleh sebab itu, Bintang juga katakan, "Perasaan ini di luar kendali saya, Khal. Sayangnya, periode saya di kampus ini udah gak lama lagi. Tapi semisal kamu mau komitmen, dimulai dari pacaran aja dulu, pastinya pacaran versi saya ... kita bahas hal-hal yang lebih serius dari ini nantinya. Pun, kalau kita pacaran, saya bisa ambil tindakan pasti buat kita ke depannya. Yang penting perasaan kamu dan kamunya mau aja dulu. Gimana?" "Hah?" Malah ngang-ngong! Alias melongo bin hah-heh-hoh. Bintang usap tengkuk. Kan, jadi salting dianya. "Ya udah, deh, gini aja. kamu pikir-pikir dulu apa yang saya bahas hari ini. Besok saya jemput jawabannya sekalian saya jemput kamu ke kampus. Deal?" Hari itu .... "Mas!" Baru juga Bintang ambil langkah menjauh, Khala memanggil. Pun, Khala bilang, "Gak usah nunggu besok, deh." Bintang dan Khala bertatapan. Pas sekali, lorong di sana cukup sepi. Kata Khala, "Aku mau." Dengan pipi merah jambu. "Tapi rahasia, ya?" Khala kelihatan malu-malu. "Mm ... udah, ah. Aku ke kelas dulu!" Dia bahkan langsung pergi tanpa menunggu reaksi Bintang yang abcdefghijkl waktu itu. Fix, 9 April di tujuh tahun lalu, mereka jadian. Menjadi alasan kenapa hari ini Bintang datangi kediaman Khala selepas dia kirimkan kuenya lebih dulu. Dalam rangka memperingati kenangan lama yang sampai detik ini tak Bintang anggap usai. "Oh, ya, ini ponakan saya ...." Well, Bintang datang tidak sendiri. Di mana pintu kontrakan itu telah Khala buka, dia melihat ada gadis cantik di sisi kanan gerangan. Yang Bintang perkenalkan, "Namanya Ana. Dan kalau begini, saya boleh masuk, kan, Khal?" *** Ternyata betulan, Sis! Pak Bintang ada di luar. Barusan Khala tengok dari jendela, hingga kini dia bukakan pintunya. Tahu-tahu sudah duduk di ruang tamu, telah Khala persilakan masuk juga, ada manusia lain selain dirinya dan pak bos soalnya. Jadi, nggak apa-apalah. "Oh, ya, ini buat kamu." Apa lagi itu? Kue yang tadi pun belum disentuh. Karena nggak enak nolaknya, ada ponakan Pak Bintang yang memperhatikan, jadilah Khala terima. "Makasih, Pak. Padahal nggak usah repot-repot." Pak Bintang cuma senyum. "Kita makan bareng-bareng aja, ya? Sebentar, aku ambil kue yang tadi juga." Rupanya donat madu. Well, ini masih jam sepuluh pagi. Ampun, deh! "Kamu sudah sarapan, kan, Khal?" "Udah, Pak." Saat dia duduk kembali di tempat tadi, telah disajikannya kue dan donat di meja. Fokus Khala langsung tertuju pada ponakan bosnya. "Dimakan, Dek." Ah, iya .... Sepertinya Ana ini masih umur belasan. Kelihatan kinyis-kinyis dan lugu sekali. Lihat! Donatnya langsung dicomot. Meski demikian, tampaknya dia pendiam. "Cantik, kan, Khal, ponakan saya?" Khala terkesiap. "Ehm .. iya, Pak." "Ini anak pertamanya abang saya yang nomor tiga." Well, Khala nggak mau tahu, sih. "Kita juga bisa punya yang kayak gini kalau kamu mau." Haha! No thanks, Sir. Tampang Khala menunjukkan itu. "Ngomong-ngomong, maksud kedatangan Bapak kemari itu apa, ya?" Sampai-sampai bawa ponakan segala! Bikin Khala nggak bisa berkutik saja. Yang mana dia alihkan obrolannya. Untung saja, ponakan Pak Bintang tampak tak acuh dan paham posisi bahwa dia cukup jadi pajangan di sini. Alias tidak melibatkan diri pada percakapan, meski dirinya yang tadi dijadikan bahan obrolan. "Selebrasi hari jadi kita yang kedelapan, bukannya tadi di telepon saya udah bilang?" Ya Salam .... Ingin Khala debati, tetapi urung sebab tak enak hati. Bukan sama Pak Bintang, melainkan gadis remaja yang diajak datang ke sini. Duh! Lagi pula, hubungannya, kan, sudah selesai. Berapa kali Khala harus sampaikan soal ini? "Toh, hari ini kamu senggang, kan?" "Sebenarnya saya sibuk, Pak." "Sibuk ngapain?" "Me time." "Oh ...." Pak Bintang duduk bersandar di sofa, menatap Khala tepat di mata. "Nggak apa-apalah, ya, saya ganggu?" Nggak boleh, tahu! "Iya, Pak." Ya Allah, tolong! Khala nggak bisa jujur kalau ada orang selain Pak Bintang di sini. Dan Khala melihat sebuah senyum meledek terbit di bibir pria itu. Istigfar, Khala! Pasti Pak Bintang sedang menertawakan kelemahannya sekarang. "Nggak kerasa, ya, hubungan kita sudah delapan tahun?" Ndasmu, Mas! Khala cuma senyum. "Usia kamu juga sudah di atas dua puluh tiga, ya, sekarang?" Ya, terus kenapa?! Mau, deh, sewot begitu. Sayang, Khala merasa harus jaga sikap di depan anak-anak. "Iya, Pak." "Kalo begitu ... boleh, dong, saya bikin rencana buat datangin papa kamu?" Hah?! "Bercanda," imbuhnya. Pak Bintang pun terkekeh. "Tegang banget wajah kamu." Begitu katanya. Aduh, Gustiii! "Santailah, Khal. Kamu, kan, tau saya orangnya nggak suka maksa." Bintang senyum. "Tapi giat berusaha." Lagi, senyum. "Sampai saya berhasil mendapatkannya." Demi Tuhan, senyumnya mengerikan! Khala pun tanggapi dengan dehaman, lalu alihkan pandangan. Mesti cepat-cepat dia belokkan obrolan. "Enak, Dek, kuenya?" Pinter, Khala! Untung ada orang ketiga di sini. Ponakan Pak Bintang pun mengangguk. Amat pendiam, kalem sekali pembawaannya, dengan raut judes tentunya. "Nambah lagi aja, Dek. Habis juga gak apa-apa, dapet kiriman dari om kamu ini." "Tante nggak suka?" Eh? Khala kicep. Wait .... Kok, kayak agak-agak mengintimidasi gitu, ya, tatapan dan nada bicaranya? Membuat Khala kikuk sekali. Gegas dia comot donatnya. "Suka. Ini saya juga makan." Grogi, Sis! Yang mana tingkah Khala ditertawakan Pak Bintang di sana. Pun, ikutan comot donatnya. Jadilah dimakan bertiga. "Oh, ya, udah berapa lama kamu kerja di Star Media?" Khala telan dulu donatnya. "Sekitar tiga tahunan kurang-lebih, pokoknya sejak lulus kuliah saya kerja di sana." "Berarti sekitar segituan juga, ya, kamu tinggal di sini?" Khala mengangguk. Baiklah, mari kita berdamai dengan keadaan, setidaknya untuk saat ini saja. Pak Bintang melegut kopinya. "Tapi waktu saya cari kamu ke kampus, selalu saja, kenapa kamu nggak pernah ada?" Duh! Macam mana Khala mau berdamai coba kalau yang dibahas adalah mengungkit-ungkit masa lalu? Fine! "Seperti yang Bapak bilang sebelumnya, saya sembunyi persis kayak diculik genderuwo." Pak Bintang mengangguk-angguk. "Kalau begitu, waktu saya datangi ke rumah, di sana kamu juga gak ada, bahkan jawaban orang tua kamu kompak kayak yang sudah direncana ... biar Khala nggak ketemu saya. Apa iya?" Mereka bertatapan, sejenak saja, sebelum Khala alih kepada anak remaja yang sibuk melahap kue anniversary. Ehm! "Oh, jadi ... maksud kedatangan Bapak ke sini itu buat interogasi?" "Dan apa susahnya buat kamu jawab, Khal?" Khala mingkem. Iya, sih. Nggak susah. Khala cukup jujur dan paparkan ada apa dengan masa lalu itu hingga dia seenggan ini sama gerangan. Namun, Khala menggeleng. Ada luka yang melarangnya untuk berterus-terang. Ada hal yang membuat dia inginnya ... Mas Bintang merasa dipermainkan. Jahatkah Khala? "Kita bahas itu nanti, ya, Pak?" Khala berikan senyuman. "Nggak enak kalau sekarang." "Oke. Besok saya jemput dan pulang kerjanya kita bareng aja. Khusus buat membahas hal ini." "Pak--" "Saya udah cukup umur buat menikah, Khala. Kamu juga udah bebas dari kontrak itu. Dan saya maunya kamu, jadi tolong kerja samanya. Toh, di sini kita hanya perlu komunikasi, saya yakin yang bikin kamu begini itu cuma kesalahpahaman aja, dan kamu pun masih mau sama saya, kan?" Astagfirullah! "Ana ... om kamu, kok, percaya diri banget?" Merasa di-notice, Ana menoleh, pun menyahut, "Itu modal buat dapetin Tante." What the-- "Tuh, anak kecil aja ngerti!" decak Bintang. Khala menghela napas pelan. Ya sudah! "Tolong jangan terlambat jemputnya." Oh, tentu! Bintang menyeringai. "Apa saya nginap aja, ya?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN