4. Ketemu!

1872 Kata
Dulu, mengingat 7 tahun lalu .... "Sebelumnya saya pernah ke rumah Pak Wirya, tapi kok saya nggak lihat kamu?" Di perjalanan menuju tempat tujuan Khala. Oh, ya, kali ini bukan kebetulan, tetapi sengaja. Akun Senja Khala menghubungi Bintang dengan melalui riwayat chat-nya. Di situlah Bintang datang dan mengantarkan Khala ke toko buku. "Mungkin waktu itu saya masih mondok, Mas." Obrolan di motor berlangsung tanpa hambatan, soalnya Bintang mengemudi dengan pelan. "Oh ... anak pondok ternyata." Khala cuma senyum walau tak bisa dilihat oleh lawan bicara. Well, memang Khala ini terbilang islami, tetapi tidak begitu fanatik agamis hingga merasa fine saja ketika berboncengan atau berjalan berduaan dengan kang ojolnya kayak sekarang. "Lho, Mas ikut turun?" "Mau sekalian beli buku juga," katanya. Begitu tiba di parkiran. Khala ber-oh ria. Jadilah mereka jalan beriringan, sesekali Khala melirik gerangan, sesekali juga Bintang mencuri pandang. Kira-kira itu 2 minggu setelah Bintang kepergok diputuskan. Khala nggak tahu bahwa seorang lelaki bila sudah putus galaunya cuma sebentar, malah nggak kelihatan galau. Beda, ya, sama perempuan? Yang bisa sampai menangis berhari-hari, apalagi kalau kasusnya diselingkuhi. Hm ... untung Khala nggak pacaran. Hatinya sejauh ini terlindungi. "Mas suka baca komik juga?" Karena ternyata langkah Mas Bintang mengiringinya sampai ke rak buku cerita, entah itu n****+ atau komik. "Lebih ke suka lihat gambarnya." Diambillah salah satu komik di sana oleh Bintang. Khala juga. Dia pun ambil dan membaca bagian belakang bukunya, menarik atau tidak. Bedanya, selain gambar, Khala suka isi ceritanya. "Gimana di DKV?" Sekadar informasi, DKV adalah singkatan dari Desain Komunikasi Visual. Biasanya di jurusan itu--di kampus mereka--tugas akhirnya bukan membuat skripsi, tetapi bikin komik, animasi, atau karya lainnya. Oh, tetapi ada juga kampus yang tugas akhirnya skripsi untuk jurusan DKV. "Aku masih mahasiswa baru, belum begitu mendalami ilmunya, Mas. Jadi, belum tahu ...." "Kenapa ambil jurusan itu?" Sambil lihat-lihat komik di sana. Khala menjawab, "Sesuai passion." Bintang senyum. "Kalo Mas, kenapa ambil Manajemen Bisnis?" Detik itu mereka bertatapan. Makin ke sini, dilihat-lihat, mata Khala indah sekali. Bulu matanya lentik, kulitnya putih, alisnya terukir dengan baik dan alami, ditambah ... Khala cepat-cepat alihkan pandangan, padahal saat itu Bintang sedang keenakan menelusuri garis wajahnya. Yah .... "Awalnya karena terpikir pengin jadi pengusaha kayak abang saya." "Oh, Mas anak keberapa kalau boleh tahu?" "Lima." "Wow." Khala menatap sosok itu lagi, di situlah Bintang rampung dengan penelitiannya pada wajah Khala. Fix, bibirnya bagus. Pink dan enak dilihat. "Orang tua Mas produktif, ya?" Khala terkekeh. Bintang langsung menunduk. Nggak lama. Dia menatap Khala lagi. "Sangat produktif. Total anaknya ada tujuh kalau kamu mau tahu." "Wah ...." Pantas saja Mas Bintang kuliahnya sambil kerja, pasti biar bisa membantu meringankan beban ekonomi keluarga. Khala takjub. Untunglah kakak Mas Bintang ini ada yang sudah jadi pengusaha. Di situ Bintang alihkan fokus pada jajaran komik di depannya. Dia pun bilang, "Tapi setelah banyak waktu yang saya habiskan di jurusan itu, setelah saya temukan hobi baru, dan merasa kayaknya passion saya di situ ... sekarang sepertinya saya salah masuk jurusan." Tanpa mereka sadari, obrolan keduanya nyambung sekali, membuat satu sama lain merasa enak diajak ngobrol. "Memang passion Mas apa?" "Kayak kamu." Khala mengangguk-angguk. "Terus gimana?" Mereka berjalan mencari komik di rak lain. Alih-alih milih buku secepatnya, malah keasyikan ngobrol di sana. Ngomong-ngomong, Khala menghubungi kang ojol yang sama karena dia merasa kenal dengan gerangan, jadi merasa lebih nyaman saja ketika diboncengnya, tidak ada maksud lain. Serius! "Untuk sekarang jalani saja dulu," katanya, "toh, sebentar lagi juga udahan kuliah di jurusan itunya." Bintang terkekeh. "Bener. Toh juga ilmu nggak ada yang sia-sia, siapa tahu di masa depan Mas jadi pengusaha atau pimpinan, pun di bidang passion Mas itu." Sumpah! Sama sekali dulu Khala nggak tahu kalau ucapannya ternyata jadi ... terjadi! Lihatlah, siapa gerangan yang menjadi pimpinan di perusahaan tempat Khala bekerja--sesuai passionnya. Ya, dulu, kalaupun Khala mengharapkan hal ini, tetapi situasinya tidak setelah dia dan lelaki itu memiliki kisah seperti 7 tahun lalu. Kini, diletakkannya kopi panas di meja lelaki itu. Khala bilang, "Silakan, Pak ... kopi rasa tujuh tahun lalu." Bintang alihkan tatap dari laptop kepada sosok Khala dan kopi di sana. "Saya ingat sesuatu." Tiba-tiba suara Pak Bintang membuat Khala urung pamitan, padahal dia mau garap cover yang masuk di list pra-cetak. "Ya?" Bintang tunjuk kopi itu. "Yang bikin kopinya sesuai dengan rasa tujuh tahun lalu, bukan komposisinya." Terus? "Duduk dulu di situ, setidaknya sampai kopi saya habis." Telunjuk Bintang alih pada kursi di depan meja kerjanya. "Dengan begitu, rasanya akan sama kayak dulu." Hell! Khala merapatkan bibir super rapat. Sabar, Ya Allah. "Maaf, tapi banyak kerjaan yang harus segera saya selesaikan, Pak." "Kerjakan nanti saja." "Nggak bisa gitu, Pak." "Bisa. Saya bosnya." Astagfirullah! Tahan, Khala, tahan .... "Artinya Bapak tidak profesional." "Cuma sama kamu," jawabnya enteng. Mau mengumpat, tetapi Khala tahu itu nggak baik. Ya sudahlah, dengan dongkol setengah mampus, dia pun duduk di kursi yang Pak Bintang tunjuk. Memang, nih, ya, kalau sudah jadi mantan, apa-apa kesannya terasa begitu menyebalkan. Nah, Bintang senyum. Dia seruput kopinya. Khala melengos sebal. "Saya udah ditanyain kapan nikah sama mami." Oh, ya, Khala tahu kalau lelaki yang dulunya tukang ojol ini, yang Khala kira bukan kalangan berada, tetapi tidak termasuk bagian masyarakat menengah ke bawah juga, rupanya anak orang berpunya. Pun, sangat berlimpah hartanya. Mana mungkin Khala tidak tahu keberlimpahan keluarga Semesta, yang dulu Khala pikir nama Semesta di ujung nama Bintang itu hanya bentuk dari kesamaan saja. Ternyata betulan gen keluarga Semesta, dan perusahaan abang yang dulu Bintang maksud adalah Semesta Media. Khala rasa dirinya begitu lugu di tujuh tahun lalu. "Umur saya udah 28 tahun sekarang." "Bapak curhat?" ketusnya, agak sinis juga. Namun, raut Bintang datar-datar saja. Dia tidak tersinggung. "Cuma ngasih tau kamu." Khala pun mengerling, ngapain juga dikasih tahu? Khala nggak pengin tahu, tuh. Bintang nikmati lagi kopinya. Persis, sekarang rasanya mirip-mirip kayak dulu. Waktu di mana saat itu .... "Sebenernya daripada teh, saya lebih suka kopi." Dulu. Sepulang dari mengantar Khala ke toko buku, ada bermacam komik di plastik belanjaan itu, dan Bintang mampir di rumah Khala dulu. Untunglah Pak Wirya sedang di kampus. Bintang mahasiswa semester akhir, jadi dia ke kampusnya kalau ada perlu atau saat bimbingan saja. "Oke, aku bikinin dulu. Tunggu, ya?" Begitu. Ibu Khala seorang guru SMP, hari ini ada di rumah dan tadi sudah Bintang cium tangannya sekadar bentuk hormat. Bintang pun duduknya di kursi teras, dibawakan secangkir kopi oleh Khala, dengan camilannya juga. "Nih, Mas. Semoga sesuai selera," katanya. Bintang bilang makasih. Khala pun duduk menemani tamunya. Kali ini mahasiswa bimbingan papanya adalah tamu Khala. Kopi itu lekas diseruput oleh Bintang di sana, menyesap melalui bibir cangkir. "Pas." Khala senyum. "Alhamdulillah kalo gitu." "Oh, ya, nanti mau ikut organisasi apa di kampus?" "Mm ... kayaknya nggak ikut apa-apa, deh." "Mau jadi mahasiswa kupu-kupu?" Khala terkekeh. "Iya. Soalnya aku udah punya kegiatan sendiri kalo sore." "Apa?" Dan itu dulu, waktu 7 tahun lalu yang masih Bintang ingat dengan jelas. Hingga di masa kini, alur kisahnya terkesan maju-mundur, Bintang selalu suka jika dia ingat masa-masa awal kenalnya dengan Khala. "Oh, ya, kamu masih jadi guru ngaji di sana?" Dewasa kini Bintang bertanya kegiatan dulu yang pernah Khala tekuni. "Bukan urusan Bapak." "Ini saya nanya." "Saya nggak mau jawab!" tekan Khala, garang. Bintang menghela napas. Jadi makin penasaran, ada apa dengan dulu sehingga Khala jadi begini? "Apa dulu saya ngelakuin kesalahan, Khal?" "Ya." Jujur, Khala tatap mata itu. "Dan sangat fatal." "Kalo gitu, kasih tau saya." Khala malah melengos. Tampangnya tampak tidak bersahabat. "Oh, kamu maunya saya nyari tau sendiri?" Khala menyela, "Apa nggak bisa kita hidup di masa kini? Yang dulu-dulu, ya udah, biarin berlalu. Aku udah ikhlas." Di situ Bintang berdiri. Khala seketika siaga, duduknya waspada, sebab Bintang mendekat. "Never," bisiknya. Khala terkesiap. "Ya sudah, silakan lanjutkan pekerjaan kamu. Kopinya enak, pas, sesuai selera saya. Besok-besok bikinin lagi, ya?" "Never!" Khala berapi-api, dia pun pergi. Melihatnya, Bintang tertawa, lalu dia legut lagi kopinya. Nggak salah dia masuk ke Star Media. *** "Khal, kamu ada hubungan apa sama pak bos?" "Hah?" Khala terkesiap lagi, kali ini oleh teman sedivisi. "Nggak ada." Kok, tiba-tiba ditanya begitu. "Ada apa?" "Ada yang aneh," katanya. "Apa, tuh?" "Di sini ada OB, Khal." Ah, iya .... "Ngapain kamu bikinin beliau kopi?" Oh, itu. "Seumur-umur Pak Barga yang di sini juga urusan kopi, OB yang bikin." Nah, gimana, ya? Khala menggaruk tengkuk yang tertutup jilbab, lalu fokus ke komputer tatapannya, tetapi tidak dengan isi kepala. Temannya betul juga. "Emang agak aneh, sih," sahut Khala. "Tapi ini pak bosnya yang minta." Dia pun alih menatap sang kawan buat bilang, "Sebagai bawahannya, aku bisa nolakkah?" "Jangan-jangan pak bos naksir kamu, Khal?" celetuk yang lain. Gibah mode on. "Masa dari kopi jadi naksir?" "Mana tahu, kan? Dari kopi aja bisa jadi kenangan mantan?" Sambil tertawa geli. Khala nyaris tersedak ludah sendiri. Detik itu, jantungnya heboh berdetak. Duh .... Kenangan mantan, ya? Tanpa bisa Khala cegah, pipinya panas bersemu. Indah sekali kalau ingat yang dulu-dulu, juga pedih di saat yang sama. Semu di pipi Khala hilang dan bersih tersapu. Sudahlah. Kerja! Kerja! Hingga waktu berjalan sampai pada batasnya, jam kerja telah usai, Khala siap-siap untuk pulang. Di usianya yang sekarang dia sudah tidak tinggal dengan orang tua. Khala ngontrak, tujuannya supaya lebih dekat dengan kantor ini, pun dulu sekalian memupus jejaknya dari Mas Bintang. Ya ampun! Yang namanya mantan, apalagi cinta pertama, kenapa sulit sekali dilupa, padahal cuma sebentar hubungan yang terjalin. Oh, Khala jadi paham ... mungkin ini yang Mas Bintang rasakan dulu. Kenyataan bahwa Khala adalah cuma pelarian, semakin membuatnya kesal saja sekarang. "Kok, ya, dulu aku mau, sih, sama dia?" gerutunya begitu tiba di depan kontrakan. "Jadi di sini kamu tinggal?" "Astagfirullah!" Kaget, Pemirsa! Khala berbalik dan melihat seseorang melangkah mendekat. Itu Bintang. Langkahnya teramat kokoh dan pasti. Tatapannya menelisik lingkungan rumah yang Khala tempati. Sebelum kemudian tatapan itu jatuh di mata Khala dan tajam sekali. "Berapa lama kamu sembunyi di sini, Khala?" "Maksudnya?" Khala mencicit, nggak tahu kenapa seketika merasa ciut. "Tujuh tahun?" "Ja-jangan terlalu dekat!" Soalnya Mas Bintang maju terus pantang mundur, bahkan langkah pun jadi membuat jaraknya kian rapat, sedang Khala terimpit pintu yang masih belum sempat dia buka. "Sekeras apa pun saya berpikir, mengingat-ingat, hal yang bikin hubungan kita jadi kayak gini ... itu apa, sih?" "Tolong mundur sedikit ...." Khala julurkan tangan untuk mendorong gerangan. "Jangan bikin posisi yang bisa membuat orang lain salah paham." "Memangnya ada yang lihat?" Malah makin maju. Gusti! Khala menunduk. Kesal, tetapi jantung malah deg-degan bergembira ria. Dasar, pengaruh sayton! Fine. Bintang berikan jarak, membuat Khala bisa napas lebih nyaman. Namun, Bintang tetap di sana, menatap Khala tajam. "Selama tujuh tahun kamu udah kayak diculik genderuwo, tau? Susah banget saya temuin." "Itu karena Bapak nggak bener-bener nyari!" Sekarang mereka beradu pandang dengan sengit. "Kamu galak banget sekarang," desah Bintang, melembutkan tatapan. Khala masih menunjukkan raut garangnya. "Ada lelaki yang mengubah saya jadi kayak gini," tegasnya. Bintang terdiam. Paham jika kalimat itu ditujukan untuknya. Sedang Khala, dia gegas buka pintu rumah kontrakan itu. "Saya tinggal sendiri," katanya tiba-tiba. Bintang masih diam. Nggak kepikiran Khala bakal lanjut bilang, "Bapak mau masuk dulu?" Adalah hal yang membuat Bintang boloho sejenak, menatap Khala lamat-lamat. "Itu undangan ... atau ujian?" Khala lengkungkan sebelah sudut bibirnya. Yeah, paham, paham. Bintang pun terkekeh. "Saya pamit aja kalo gitu." Sebab Khala cuma ngetes keimanan. Ya, kan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN