Tadi itu, pagi-pagi sekali Bintang telepon kenalan Bang Langit yang punya usaha kue dan roti, biasa digunakan jasanya ketika ulang tahun atau acara-acara tertentu di Semesta Media. Dan karena hari ini alarmnya berbunyi, dering peringatan hari jadi hubungannya dengan Khala dulu, yang biasanya Bintang rayakan sendiri, sekarang nggak. Khala sudah ketemu, jadi Bintang mau mempersiapkan perayaannya dengan sungguh-sungguh dan berbeda.
Dulu, kalau tiba di tanggal dan bulan ini, biasanya Bintang datang ke toko buku, dia beli beberapa komik, lalu datang ke tempat yang pernah dikunjunginya dengan Khala.
Namun, saat ini ... selesai persoalan kue, Bintang langsung gas pol ke rumah Bang Langit. Dan di situlah Bintang sekarang.
"Bang, pinjem Ananya buat seharian ini, boleh?"
"Ke mana, Om?" Ana sendiri yang menyahut. Ponakan Bintang yang itu sudah remaja, anak rumahan, dan pastinya akan senang bila diajak jalan-jalan.
"Temenin Om, yuk, Ana? Om punya misi buat kamu, nih."
"Apa, tuh?"
"Adalah. Yang penting mau ikut aja dulu," kata Bintang, membujuk.
"Jangan sore-sore pulangnya, diajakin makan jangan lupa," sahut Bang Langit.
"Iya, siap. Yuk?" Bintang raih tangan Ana.
Bocah remaja itu pun mengangguk. "Ma, Ana main sama Om Bintang dulu, ya?"
Ya, demikian otak cerdas Bintang memperhitungkan cara agar dapat dipersilakan masuk ke rumah kontrakan Khala. Bintang harus bawa teman perempuan, dan teman itu haruslah saudaranya, untuk menjadi malaikat di antara Bintang dan Khala.
Sampai akhirnya, esok hari telah tiba. Seperti apa yang Bintang kata kemarin, dia menjemput Khala untuk berangkat ke kantor bersama.
"Sendirian, Pak?"
"Berdua sama kamu."
Mas Bintang senyum, sedang Khala kesal mendengarnya. Maksud pertanyaannya bukan itu, lho!
"Oh, ya ... silakan."
Khala dibukakan pintu mobil. Dulu ... terlepas dari 7 tahun lalu, tiap kali menjemput Mas Bintang selalu pakai motor dan Khala nyaman di boncengannya.
"Khala?"
Ah, iya!
Khala gegas masuki mobil itu, malah melamun tadi, betapa jauh kelas yang Mas Bintang tunjukkan saat ini dengan 7 tahun lalu. Orangnya memang sama, tetapi status sosialnya ... ah, sudahlah.
"Saya sengaja jemput kamu satu jam sebelum jam masuk kantor, kita mampir buat sarapan dulu, ya?" katanya.
Khala mengangguk. "Tapi nanti jangan turunin saya di halaman kantor, ya? Nggak enak kalau ada yang lihat kita berangkat bareng."
"Soal itu biar jadi urusan saya, Khala. Kamu cukup hidup dengan nyaman di sisi saya."
Eh?
Emang gitu, tuh! Dari dulu. Mas Bintang punya mulut yang semanis madu, dan dulu ... Khala tersipu. Tidak tahu kalau sampai detik ini, Khala masih tersipu.
Astagfirullah, Khal! Kendalikan diri kamu. Dulu ... cowok itu yang bikin hati kamu terbang tinggi dan jatuh dibanting kenyataan bahwa Khala hanya sebatas pelarian.
Cukup dulu saja Khala tergoda dengan segala hal yang manis-manis dari pria ini.
"Kamu masih suka nasi kuning pinggir jalan, kan? Atau ada menu lain yang ingin kamu makan?"
"Nasi kuning aja, Pak."
"Oke. Tunggu di sini, ya?"
Khala melihat sosok itu keluar mobil dan tampak membeli nasi kuning di sana. Mas Bintang kelihatan paling mencolok di antara para pembeli yang antre. Dari jauh Khala memperhatikan, lelaki itu banyak berubah. Percayalah, dulu tampak lebih kurus walau sama tampan dengan sekarang, bedanya tubuh itu terlihat berkali-kali lipat lebih kokoh, bahunya lebih lebar, juga--astagfirullah!
Memandang ciptaan-Nya seintens ini, Khala jadi malu. Ehm!
Tak lama, Mas Bintang kembali. Ada kresek nasi kuning di tangan, lalu dia berikan kepada Khala dan membiarkan Khala memangkunya.
"Makan di taman sekitar sini aja, ya?"
"Sepertinya Bapak paham betul lokasi sini."
"Oh, iya ... tempat tinggal saya daerah sini. Sering saya lewatin, dan tiap kali lihat taman di sana, saya berharap bisa ajak kamu buat duduk di situ." Lagi, ada senyum di wajah itu.
Dari dulu, Mas Bintang memang berjiwa merakyat. Dia nggak neko-neko, juga paham apa yang Khala sukai. Ketimbang makan di resto, Khala lebih suka tempat terbuka dan sederhana seperti taman.
Ya, sebagaimana 7 tahun lalu ....
"Serius mau makan di sini, Khal? Kalau cuma makan di mall, restoran, Mas masih mampu biayain kamu."
Dulu.
Waktu Mas Bintang masih jadi tukang ojol.
Dan sudah jadi pacar Khala.
"Aku lebih suka di sini, Mas."
Di taman.
"Memangnnya nggak panas?"
"Di sini, kan, ada pohon. Ada angin juga. Toh, ini udah sore ... cuacanya nggak begitu terik. Apa Mas yang keberatan?"
Oh, iya, itu kencan pertama mereka.
Bintang langsung duduk di sisi Khala yang sudah duduk lebih dulu, Bintang memberi spasi di antara mereka, lalu dia berikan makanan yang sempat dibelinya tadi di kaki lima dekat kampus.
"Selagi kamu nyaman, Mas nggak akan keberatan."
Khala senyum. Pipinya mudah tersipu. Bintang adalah cinta pertamanya dan sejak saat itu, tanpa bisa dikendalikan, Khala memberikan seluruh hatinya untuk lelaki ini.
Tanpa sadar, di satu waktu yang sama, saat ini, ingatan mereka beranjak pada masa itu, membuat Bintang senyum-senyum sendiri, juga Khala yang menunduk menyembunyikan senyumnya itu. Dulu. Manis sekali kalau diingat.
Hingga Bintang nyeletuk, "Setelah apa yang kita lalui dulu ...." Khala menoleh. "Meski singkat, tapi kamu juga nggak bisa lupa, kan, Khal, betapa manisnya kita saat itu?"
Ada nasi kuning di pangkuan Khala, pun Bintang, bukannya makan, mereka malah nostalgia.
"Tapi kenapa sekarang jadi kayak gini, ya?" gumamnya. Bintang menatap Khala lamat-lamat. Di sini, saat ini, Bintang katakan, "Padahal hati saya masih di kamu, nggak ada yang berubah setelah hari itu."
Khala speechless di tempat. Memutus pandangan mereka. Dia menatap nasi kuningnya.
Karena itu, Bintang mulai menyuap. Dia makan dalam diam setelah mengungkapkan isi hati. Berharap Khala mengerti bahwa keseriusan dan komitmen yang Bintang tawarkan dulu tidaklah main-main, perasaannya pada Khala pun tidak secetek itu hingga waktu 7 tahun tak membuatnya beralih.
Kalau Khala mau tahu, setia pada apa yang dia komitmenkan adalah satu-satunya kebolehan Bintang, dia pandai untuk itu. Apalagi saat remaja dulu, papi pernah bilang: "Kamu boleh pacaran, asal yang bener. Cari cewek yang bener-bener 'bener'. Jangan cuma cari yang cantik, tapi menjerumuskan, atau justru merusak komitmen kalian. Dan andai kamu telanjur pacaran sama cewek yang kayak gitu, tinggalin. Misal dia yang lebih dulu ninggalin kamu, ikhlasin. Karena di depan sana ada cewek yang nantinya layak kamu perjuangin."
Pun, kata papi, "Kuncinya satu, setia. Dari situ, lihat aja nanti ... cewek mana yang sanggup bertahan dan bisa melampaui kesetiaan kamu ini."
Ya, gitu.
Setia. Dan lihat perempuan mana yang tahan dengan kesetiaan Bintang di segala situasi, percaya nggak percaya, Nadia tereliminasi. Terus, Khala?
Satu hal yang Bintang yakini, Khala pergi bukan karena tidak tahan dengan kesetiaannya, melainkan justru ....
"Saya selingkuh?"
Kaget, dong!
Ada hal yang harus Bintang pastikan dulu dari sosok Khala, baru setelah itu Bintang bisa ambil langkah untuk "tinggalin" atau justru "perjuangin."
Eh, eh, saat Bintang menjemput jawaban Khala tentang apa yang dia tanyakan kemarin, mengapa 7 tahun lalu Khala nge-ghosting, ternyata karena ... apa tadi?
"Kamu lihat saya sama Nadia dari sudut mana, sih, Khal?"
Selingkuh? Bintang? Hell ... itu nggak masuk akal. Karena untuk seorang Bintang, perihal setia adalah kebolehannya.
"Tapi ya udahlah, Pak. Toh, udah berlalu. Tujuh tahun pula, itu waktu yang nggak sebentar. Aku udah ikhlas." Khala selesai dengan sarapannya, dia sudah jujur tentang masa lalu yang membuatnya pergi dari Bintang, juga perubahan sikapnya di masa sekarang, semua itu karena hati Khala yang dia serahkan secara total kepada Bintang, disakiti sedemikian parah. "Oh, ya, setelah ini saya harap Bapak pun bisa menerima kenyataan kalau kita di tujuh tahun lalu sudah selesai."
Alih-alih menyahut, Bintang malah tertawa.
Gila ....
"Khala--"
"Tolong perlakukan saya sebagaimana karyawan Bapak."
Alis Bintang menukik. Nggak tahu kenapa, dia sangat tidak terima dengan gagasan Khala.
"Setelah tujuh tahun berlalu dan kamu lihat sampai detik ini saya masih ngejar-ngejar kamu, apa masuk akal kalau dulu saya selingkuh?"
Khala alih menatap mata itu, setegas ucap, tatap pun demikian. Khala bilang, "Jikapun bukan, saya tau kalau dulu saya cuma pelarian. Pak, tujuh tahun memang bukan waktu yang singkat perihal perpisahan, tapi empat tahun lebih kebersamaan Bapak dengan perempuan itu, dibanding bersama saya, juga durasi Bapak yang cuma butuh beberapa minggu untuk memutuskan menyukai saya, itu satu hal yang membuat saya yakin untuk mundur."
Ya Allah ....
Khala ....
Kira-kira begitu suara hati Bintang, sedang mulut malah terkekeh, entah di mana letak lucunya. Namun, otak Bintang ... ya ampun.
Khala melihat jam tangan. "Sepertinya waktu kita sudah habis, sarapan saya juga sudah selesai ... yuk, ke kantor?"
Di saat Bintang masih menertawakan segalanya di situ, Khala bersiap diri, tetapi dia tidak mempersiapkan hati untuk mendengar Bintang berkata, "Let's get married."
Khala menatap lengannya yang saat itu dicekal Bintang, lalu merayap pada tatapan pria itu yang teramat menjanjikan. Katanya, "Akan saya buktikan betapa terampilnya saya perihal kesetiaan."