1. Pelan-Pelan, Mas!
"Kita putus."
Mendengarnya, Bintang menghela napas pelan sebelum kemudian bilang, "Penjelasan aku sama sekali nggak kamu simak, Nad?"
Nadia.
Pacar Bintang saat itu.
"Denger. Justru karena itu, aku mau kita putus. Karena itu, kamu nggak pernah ada waktu buat aku! Karena itu, aku nggak jadi prioritas kamu! Dan karena itu, kita jadi sering berantem. Aku capek!"
Tampak menggebu-gebu, tatapan Nadia pun berapi-api, serius minta putus.
Lagi, Bintang menarik napas pelan. Menatap dalam gadis beralmamater sama dengannya. Oh, ini pacar pertama Bintang. Dia dapatkan hati Nadia saat dirinya masih menjadi mahasiswa semester 1 di kampus yang tidak jauh dari sekolah gadis ini, dulu, sekarang hubungannya dengan Nadia sudah terjalin lebih dari dua tahun, bahkan Nadia menemani Bintang hingga semester akhir perkuliahan. Nadia pun sampai jadi mahasiswa di sini juga. Namun, apa tadi?
Putus?
"Sekali lagi aku tanya, yakin mau putus? Hubungan kita nggak setahun dua tahun, Nadia."
"Justru itu! Nggak setahun dua tahun dan selama itu kamu nggak pernah memprioritaskan aku! Selama itu aku sabar dalam hubungan kita yang nggak pernah kamu ada waktu buat aku!"
"Aku kerja," tukas Bintang.
Nadia bungkam. Dia tahu. Memang cinta lokasi mereka terjadi karena pekerjaan Bintang hari itu, sampai hari ini, melalui aplikasi ojek online hingga berakhir sering online bareng, berbagi kontak, lalu ... beginilah akhirnya.
"Aku juga mahasiswa yang ngejer prestasi," imbuh Bintang, yang lalu dia raih tangan Nadia, tetapi langsung ditepis, bahkan melengos. Bintang sembunyikan senyum mirisnya. "Siapa cowok itu, Nad?"
"Maksudnya?" Langsung sewot dan menoleh.
"Siapa cowok yang udah bikin kamu nyaman, yang punya waktu lebih banyak dari aku, dan yang bikin kamu pengin udahan?"
"Tunggu ... kamu nuduh aku selingkuh?"
Belum Bintang menyahut, Nadia menamparnya sambil bilang, "Berengsek!"
A-astagfirullah!
Oh, tidak.
Itu bukan suara istigfar dari hati atau mulut Bintang, apalagi Nadia, yang saat ini persitegangan mereka berakhir, lelaki bernama Bintang itu ditinggalkan dengan raut yang tampak ... apa, ya?
Khala tidak bisa mendeskripsikannya.
Oh, ya ... Senja Khala. Sejak tadi dia berdiri di balik tembok tikungan koridor kampus itu. Sepi. Nggak nyangka ada pasangan yang sedang berapi-api salah satunya di sini. Khala sampai urung meneruskan langkah, tetapi tidak balik lagi. Pikirnya, perdebatan panas pasangan itu tak akan berlangsung lama. Namun--
"Nguping?"
Ya Allah!
Khala tersentak mundur. Kaget. Sejak kapan keberadaannya diendus oleh gerangan.
"Maaf ...." Cepat-cepat Khala alihkan pandangan, sempat tertaut tatapannya dengan tatapan tajam lelaki itu, Khala menunduk. "Permisi!"
"Abis nguping dan sekarang mau pergi gitu aja?" Dicekalnya lengan itu oleh Bintang di sana.
Khala berjengit. Segera dia tarik tangannya. Bukan mahram, plis!
"Saya anggap nggak pernah denger apa-apa, Mas jangan khawatir."
Mas?
Bintang menatap perempuan di depannya, tetapi cewek berjilbab itu tak sekali pun membalas tatapnya dengan lama, minimal buat sopan santunlah, ya.
Nggak sampai dua detik, baru juga tatapan Bintang berbalas, cewek itu berpaling tatap lagi darinya. Oh, Bintang paham, selayak jilbab panjang yang dikenakan gadis itu, mungkin sedang jaga pandangan. Namun, tetap saja, yang tadi itu ....
"Nggak sopan," desis Bintang.
"I-iya, maaf." Menatap Bintang lagi demi menghormati, tetapi cuma beberapa saat. "Mari, saya permisi!"
Bintang pun dia lewati, kali ini tak Bintang cegah lagi, Bintang biarkan gadis berhijab itu melenggang pergi. Oh, suasana hati Bintang sedang tak keruan. Dia pun mengetatkan geraham.
Sial. Cinta pertamanya berakhir suram.
Makin sial karena dikonsumsi seseorang.
Oh, ya, siapa tadi?
Mahasiswa baru seperti Nadia juga sepertinya, tetapi ngapain melintas di area dalam kampus wilayah yang jarang dilalui MABA? Jika Nadia, jelas, Bintang yang membawanya ke sini. Nah, cewek tadi?
Bintang pandangi lintasan yang perempuan berjilbab hitam panjang itu lewati. Sebelum kemudian notifikasi ponsel Bintang berbunyi ....
Orderan ojol masuk di wilayah sini.
***
Sekilas, dulu, Bintang ketika kuliah semester 1.
"Serius mau hidup pisah dari Papi dan Mami?"
"Hm. Bintang mau mandiri," katanya. Mami tampak keberatan, memandang Bintang yang sedang merapikan isi kopernya.
"Mandiri itu capek. Apalagi buat usia sekamu, Papi belum tega."
"Mami juga nggak tega. Apa nggak bisa kuliahnya pulang-pergi aja? Atau kalau mau ngekos pun, terima semua fasilitas dari Papi. Kenapa cuma mau bawa motor butut aja? ATM--"
"Mi, please ... Bintang serius mau belajar mandiri."
Iya, iya. Memang begitu awal mulanya kenapa Bintang jadi kang ojol.
Papi menghela napas. "Kenapa harus hidup susah kalo kamu jelas-jelas punya harta berlimpah, Bintang?"
"Bukan punya Bintang, Pi. Itu punya Papi. Jadi tolong terima keputusan Bintang, ya? Jangan khawatir, Bintang cuma mau belajar, kalo udah dapet ilmunya, toh Papi dan Mami juga yang bakal bangga punya anak mandiri kayak Bintang."
"Kamu bisa kerja di studio Papi," sahut mami.
"Maaf, Mi. Itu bukan passion Bintang."
"Oke. Senggaknya, kasih tau Papi rencana mandiri kamu," timpal Alam Semesta, papinya Bintang.
Fine.
Bintang cuma senyum. Oh, ya, itu namanya. Bintang Gemilang Semesta, dia lelaki, si paling pendiam dan tidak betah hidup bergantung kepada orang tua. Bintang risi. Kekayaan membuat hidupnya terasa monoton-monoton saja, segala apa mudah didapat karena uangnya banyak, Bintang jauh dari kata berjuang karena tanpa memperjuangkan suatu hal pun dia bisa memilikinya.
Kehidupannya terasa mudah, memang bagus, tetapi Bintang merasa ada bagian hampa di dalam sana. Entah apa. Dan sekarang ... Bintang ingin mengisinya, salah satu caranya adalah dengan hidup mandiri, pisah dari orang tua, khususnya papi.
Sekadar informasi, Bintang lahir dari gen keluarga Semesta, turunan orang berada, papi adalah youtuber sukses dan berjaya, Bintang juga punya 4 abang dan mereka sukses dengan kariernya, saat ini Bintang masihlah seorang mahasiswa. Maminya ibu rumah tangga yang budiman. Kasih sayang orang tua untuk Bintang tidak kurang, justru lebih. Namun, di usianya ini Bintang sedang naksir tantangan, mencari banyak pengalaman, juga bertualang menyelami kehidupan.
So, inilah putusannya.
"Selama Bintang di sana, tolong kerja samanya, Pi, Mi. Bintang udah telanjur bikin image sederhana dan bukan dari kalangan berada."
"Bintang ...." Mami uring-uringan.
Tak pedulikan itu, Bintang malah bilang, "Satu lagi, di kehidupan Bintang ini, Bintang punya pacar. Tolong jangan diusik, ya?"
"Kamu pikir selama ini Papi dan Mami pernah usik pasangannya abang-abang kamu?" sewot papi.
Bintang nyengir. "Udah, ya, Pi, Mi. Bintang berangkat."
Yang saat ini, tahun demi tahun sudah berlalu, identitas Bintang dengan status sosial merakyat masih dia sandang. Aman. Bahkan sampai dia dan pacar yang pernah disebut kepada papi, putus barusan.
Well ....
"Senja Khala, jadi itu nama kamu?"
Oh, benar sekali, Pemirsa!
Yang order ojolnya adalah cewek berjilbab hitam di area belakang kampus. Tampak terkejut ketika Bintang tiba di titik custommer, pemilik akun dengan nama Senja Khala itu sampai melotot walau samar sebab Bintanglah yang menyodorkan helm hijau berikut tumpangan tidak gratis padanya.
"Cepet naik!"
Oh, iya! Khala terkesiap lagi.
Sebenarnya, ada apa dengan hari ini?
"Pelan-pelan, Mas! Hati-hati, jangan ngebut."
"Lagi hamil?"
"Hah?"
Bintang mulai tancap gas, sesuai permintaan, lajunya terbilang pelan. Eh, sekarang malah terjadi keheningan. Jujur, Bintang sedang bad mood. Tadinya mau menolak konsumen yang datang, tetapi tampak tidak profesional. Masa gara-gara putus cinta, kariernya mesti terhambat juga?
Hingga akhirnya, sepanjang jalan diisi sunyi, kini Bintang tiba di lokasi. Senja Khala pun turun dari motornya.
"Ini, Mas."
Bintang menerima upahnya, tetapi saat uang itu diserahkan, yang Bintang tatap justru wajah perempuan di depannya.
"Kamu mahasiswa baru di kampus tadi?"
Eh?
Khala menatap sekilas. Selalu cuma sekilas. "Iya, Mas."
"Siapanya Pak Wirya?"
Eh? Lagi!
"Mas kenal papa saya?"
"Dia dosen pembimbing skripsi saya di kampus. Oh, jadi kamu anaknya, ya?" Mengingat tempat pemberhentian mereka ini adalah kediaman Pak Wirya, Bintang tahu.
Khala mengangguk. "Kalau begitu saya masuk dulu, terima kasih tumpangannya."
"Nggak usah berlebihan, toh saya dibayar. Oh, ya, soal kejadian di belakang--"
"Saya anggap nggak lihat dan denger apa-apa! Jangan khawatir. Tadi itu saya cuma lewat habis ketemu papa, salah saya jalannya milih ke situ, niat mau lihat-lihat kampus, tapi malah ... pokoknya Mas tenang aja!" Tanpa sadar, bola mata Khala sampai membola ketika menjelaskan, dengan tatap yang langsung tertuju pada Bintang lebih dari tiga detik.
"Oh." Sudah, itu saja. "Oke." Bintang pakai lagi helmnya. Dia pun berlalu dari sana.
Di tempatnya, Khala menghela napas. Ya ampun! Bisa-bisanya dia mergokin cowok yang lagi diputusin sama ceweknya.
Dan untuk kemudian hari, Khala berharap dia tidak bertemu, apalagi sampai terlibat dengan mereka. Meski itu kedengarannya tidak mungkin, kan?
Namun, semua menjadi terasa mungkin ketika di usia Khala yang ke-25 tahunnya kini, sampai Khala lupa pernah ada kejadian itu di hidupnya, dia dan dua orang di masa perkuliahannya itu sudah tak pernah lagi berjumpa.
Serius, Khala sudah lupa!
"Khal, Tim Redaksi disuruh kumpul, tuh!"
"Duh ... pasti mau bahas itu."
"Sabar. Di mana-mana pasti nemu konsumen yang komplain, kok. Cuma bedanya, komplainan kali ini sampe tembus ke telinga atasan. Jadi disuruh meeting, deh!" Sambil menepuk bahu Khala. Yang ditepuk-tepuk pun bilang terima kasih sebelum berikutnya dia pamit memenuhi undangan kumpul untuk timnya.
Waktu berjalan begitu cepat, tak terasa sekarang Khala sudah bukan lagi mahasiswi, dia telah menjadi karyawan bagian redaksi di anak perusahaan Semesta Media. Well, waktu kuliah Khala ambil jurusan DKV, melenceng jauh dari bidang ajar papanya yang dosen manajemen bisnis.
Khala punya hobi dan tujuan hidupnya sendiri, hingga nasib menggiringnya pada perusahan ini. Star Media, salah satu anak perusahaan Semesta Media, di sini lebih fokus pada bagian penerbitan dan percetakan buku. Sekadar informasi, jangkauan terbit di Star Media lebih luas dari penerbit buku kebanyakan, Star Media lebih menonjolkan bisnis berbasis digital terkait bacaan, entah itu komik dan story telling-nya.
Bagian percetakan bekerja sama dengan penerbit legend sejenis Lorenzo Publishing. Star Media memang termasuk penerbit baru di dunia literasi, tetapi diakui pencapaiannya fantastis sekali. Followers di media sosialnya saja sudah melebihi penerbit-penerbit terdahulu.
Yeah ... itu yang membuat Khala tertarik jadi salah satu pegawai di sini sebagai bagian Tim Redaksi. Khala adalah spesialis cover dan layout di Star Media ini.
Namun, akhir-akhir ini Tim Redaksi sedang kacau, dan di sanalah Khala duduk sekarang.
"Sejak redaksi ditinggal, nggak sesering dulu dipantau, kok, kinerjanya makin menurun?" tegur sang atasan.
"Hasil cover dan layout-nya kelihatan asal-asalan." Sambil ditampilkan di monitor depan, ditonton oleh semua anggota redaksi, termasuk Khala.
"Kenapa bisa kayak gini?"
Nah, itu ....
"Dan gara-gara ini, nyaris aja pimpinan pusat ... tau, kan, Mas Langit? Beliau nyaris mengutus Mas Guntur buat ngatur Star Media. Bisa mampus kalian kalo sampe Mas Guntur ke sini," katanya.
Anggota Tim Redaksi menunduk, paling banter, ya, tatapannya lurus pada layar monitor di depan. Nggak berani balas menatap kepala cabang.
"Tapi risikonya ...." Mereka khidmat menyimak, atasan mereka menghela napas panjang. "Akan terjadi pertukaran kepala cabang di sini, gara-gara masalah ini, pimpinan kalian ganti dan bukan saya lagi."
Detik itu, barulah tatapan mereka, pun Khala, jatuh di mata atasannya. Pak Barga bilang, "Next time, jangan sampe kesalahan ini terulang. Parahnya karena konsumen koar-koar di media sosial, dan itu fatal saat kabarnya tembus ke kantor pusat."
Selentingan kabar pertukaran kepala cabang SM pun tersiar begitu pesat. Selesai meeting redaksi, suasana panas menebak-nebak nanti siapa yang akan menggantikan Pak Barga di sini.
Rumornya, calon kepala cabang pengganti itu adalah sosok lulusan Manajemen Bisnis dan pernah S2 DKV. Selain itu, katanya ....
"Masih sedarah sama pimpinan pusat, ini juga denger-denger dari Tim Konten, konon adiknya Mas Langit."
Khala pun menoleh pada sumber bahasan itu.
"Waduh ... berarti aliran perfeksionis, dong?"
"Bisa jadi. Tapi senggaknya, semoga pengganti Pak Barga ini nggak sadis kayak orang-orang di pusat."
"Ati-ati, Khala. Beredar gosip kalo pengganti Pak Barga ini lulusan S2 DKV, kebayang perfeksionisnya dia pas mantau Tim Redaksi, khususnya pembuat cover kayak kamu bakal gimana."
Duh ....
Khala pun senyum, tak peduli dalam hati waswas mendengarnya. "Em ... makasih infonya. Biar aku siapin mental buat menyambut beliau. Eh, aku pulang duluan, ya?"
Berhubung telah tiba jam pulang mereka, Khala gegas pamitan.
Ya Allah ....
Semoga--
"Iya, ini udah nyampe. Aman, kok. Jangan khawatir, kali ini Bintang nggak bakal ...."
Berhenti di detik dia berbalik, tepat di sana, tatapannya jatuh pada sosok perempuan yang--
"Nguping?"
Langsung dimatikan teleponnya, dengan Khala yang mengerjap merasa di kehidupan yang lalu dia pernah mengalami adegan serupa. Pun, lelaki itu juga mengernyit menatapnya.
"Maaf. Itu motor saya ...." Khala tunjuk kendaraannya yang memang tadi diduduki oleh lelaki ini.
Eh, wait!
Dilihat-lihat, bukannya gimana, tetapi rasanya raut itu sungguh tak asing. Satu sama lain. Langkah Bintang membuat jarak kian berkurang.
Satu detik.
Tepat berhadapan.
Dua.
Oh ....
"Senja Khala."
Disebut namanya, Khala tersentak, terkesiap oleh sadar dan ingatan. Pun, lelaki di depannya tampak memiliki daya ingat yang kuat.
"Kamu di sini ternyata."
Dengan tatapan yang selalu saja sulit Khala jabarkan.
Paham?