"Sini biar Mami aja yang bawa tas kamu," sambut mami sepulang Bintang dari Star Media.
Memang begitu.
"Giliran Bintang yang pulang disambut baik, dimanjain, coba kalo Wala, Mi ... diomel-omel aja terooos!"
Ada yang iri dengki ternyata. Bintang cuma melengos sambil bilang, "Nggak usah, Mi. Biar Bintang aja." Tak lupa dia senyum ke mami.
"Jangan dengerin abang kamu!" kata mami. "Langian Bintang ini jarang di rumah, masa kamu gitu aja sirik, sih, Wala? Tiap hari juga Mami manjain, kan?"
"Nah, itu. Gara-gara Mami manjain Wala terus, dia jadi tipis rasa tanggung jawabnnya," celetuk papi.
"Malah Mami yang diomelin," sahut mami, cemberut.
Bintang kecup pelipis mami, lalu pamit sama papi dan abangnya, mau langsung ke kamar saja.
Well, dia memang manusia yang paling jarang tinggal di kediaman semesta sejak SMA. Maybe, tipis-tipis kayak Bang Gunturlah. Bedanya, Bang Guntur itu asrama di pesantren, kalau Bintang nggak, dia sengaja cari sekolah yang jauh buat belajar mandiri. Hingga saat tiba di usia dewasa, Bintang sudah punya rumah sendiri hasil dari kemandiriannya itu.
Nggak mewah kayak rumah Bang Langit memang, nggak punya sejenis apartemen juga, Bintang berada di bawah keberentungan abangnya yang itu. Daripada beruntung, pencapaian Bintang terwujud karena kegigihannya.
Sekadar informasi, kesibukan Bintang di masa sekolah hingga kuliahnya itu nggak cuma jadi kang ojol saja. Makanya Nadia nggak kuat pacaran sama dia yang memang banyak waktu tergerus oleh ambisi: Bisa menghasilkan banyak uang tanpa campur tangan orang tua dan kerabat. Di lain sisi, Bintang punya hobi menggambar, dia membuat sketsa di ponsel, lama-kelamaan Bintang jadi tergiur buat kuliah lagi dan ambil jurusan DKV, sampai S2 dia di bidang itu. Oh, ya, Bintang S1-nya dua kali.
Itu zaman-zaman tersibuk Bintang, pun zaman-zaman patah hati yang kedua.
Ah, iya ....
Dulu, di tujuh tahun lalu.
"Kok, Mas lagi, sih, mamang ojolnya?"
"Lokasi saya paling deket sama kamu," katanya. Meski memang ada faktor lain juga yang membuatnya terima orderan ojek dari akun Senja Khala. Yeah, Bintang pastikan itu terjadi secara tidak sengaja. Ini cuma kebetulan. "Nih, pake dulu helmnya."
Khala pun menerima juluran helm hijau itu. Ya sudahlah, yang penting nyampe kampus Khala nggak jalan kaki. Dia belum bisa mengendarai motor soalnya waktu itu. Papa juga berangkatnya beda jadwal dengan Khala meski sama-sama berlokasi di satu wilayah.
"Mas ngojol gini, kuliahnya nggak keganggu emang?" Sekadar basa-basi, daripada di motor sepi. Toh, selain hubungan profesional antara mamang ojol dan penumpang, Mas Bintang ini, kan, kakak tingkatnya di kampus. Senior. Khala membuka percakapan.
Namun, jawabannya malah ... "Berawal dari kepo berakhir naksir, lho."
Khala istigfar. "Gak kelihatan habis diputusin kemarin," dumalnya.
"Apa tadi?"
"Nggak." Khala buru-buru turun selepas sampai di parkiran kampus. "Kok, ikut turun juga?"
"Tujuan kita sama."
Khala ber-oh ria. Dia pun pamit buat jalan lebih dulu, tetapi nggak tahu gimana ceritanya, saat itu langkah Khala terkejar masnya. Tiba-tiba beriringan saja mereka.
"Mas ngikutin aku?"
"Tujuan kita sama." Itu pun jawaban yang sama.
Khala diam. Ya sudah.
"Kamu jurusan apa?"
"DKV."
Khala nggak noleh sewaktu Bintang menoleh.
"Kalo Masnya?" Nah, kali ini Khala nengok, tetapi nggak lama, dia langsung menatap lurus ke depan lagi.
"Manajemen Bisnis."
"Oh ... lupa, kemarin sempet bilang dibimbing skripsi sama papa aku, ya?" Soalnya papa Khala dosen di jurusan itu.
"Tapi kayaknya salah masuk jurusan."
"Kok, bisa?" Detik itu mereka bertatapan. Cuma beberapa detik, Khalalah yang pertama alihkan pandangan.
"Nggak tau, baru kerasa sekarang nyasarnya."
Gitu, ya?
Oke, langkah Khala berhenti. Mas Bintang juga. Tuh, kan, ngikutin!
"Aku belok ke kiri," kata Khala.
"Ya, terus?" sahut Mas Bintang sambil berlalu belok ke kanan.
Sudah, itu saja.
Namanya Senja Khala, nggak ada kesan menarik bagi Bintang di pertemuan pertama dengan gadis berjilbab itu. Khala tampak standar di matanya, seperti penumpang-penumpang ojolnya yang lain. Yang membedakan, Khala nggak genit.
Ya, selama jadi kang ojol, Bintang sering dapat penumpang yang beragam centilnya. Paling parah, Bintang pernah dapat orderan m***m dari customer. Malah nawarin jasa nyeleneh yang lain. Di situ Bintang merasa kesal.
Tapi, kok, makin dilihat, diperhatikan, sering ngobrol dan ketemu secara tidak sengaja, Khala asyik juga. Apalagi saat Bintang datang ke rumahnya buat ketemu Pak Wirya. Dia diminta bimbingan di sana soalnya Pak Wirya nggak bisa ke kampus hari itu, sedang sakit. Namun, beliau tetap meminta mahasiswa bimbingannya datang. Salah satunya Bintang.
"Nggak usah dibawain camilan, Adek. Mereka ini mau bimbingan, bukan bertamu."
Khala baru saja meletakkan teh manis dan berbagai keripik di meja pada tamu papanya.
"Lho, kan, sama aja, Pa?"
Iya, Senja Khala anak bungsu dari tiga bersaudara ternyata. Anak Pak Wirya ada 3, yang duanya cowok semua. Pernah diperkenalkan ketika awal diajar oleh beliau, menyebut jumlah anak dan jenis kelaminnya saat perkenalan itu. Namun, nggak sebut nama. Sekarang Bintang melihat wujud salah satu anak dari dosennya di kampus.
Teman bimbingan Bintang pun berterima kasih dan senyum caper sama Khala. Cuma Bintang yang bilang maaf merepotkan.
Sudah.
Khala masuk ke wilayah dalam rumahnya, meninggalkan para mahasiswa di ruang tamu bersama papanya.
Lama waktu bimbingan berlalu, satu per satu menghadap Pak Wirya. Begitu selesai, mahasiswa diminta habiskan teh manis dan camilannya dulu. Alhasil, diisi dengan obrolan santai.
"Itu yang bungsu, ya, Pak?"
"Kayaknya pernah lihat di kampus, Pak. Kuliah di sana jugakah?"
"Cantik, Pak. Tandain buat saya boleh, nggak?"
Pak Wirya memang friendly orangnya. Obrolannya asal sopan, dia pasti menjawab dengan ramah. Yeah, walau killer dan pelit nilai ketika mengajar. Di luar itu, ramah sekali beliau ini.
"Iya, bungsu. Memang kuliah di kampus kalian. Dan sayangnya, sejak TK anak bungsu saya itu sudah tanda tangani kontrak perjanjian no pacaran sebelum usia 23 tahun."
Buset!
"Serius, Pak?"
"Ada, kok, surat kontraknya. Ditandatangani lengkap dengan dua abangnya sebagai saksi, bermaterai sepuluh ribu juga. Mau lihat?"
Bintang cuma nyimak. Dia melihat-lihat ruang tamu rumah Pak Wirya, sebelumnya pernah ke sini juga, tetapi nggak sampai begini.
"Wih ... asli!"
Teman-teman bimbingan skripsi Bintang pun tertawa. Dia penasaran juga. Bintang melihat dan membaca sekilas surat kontrak tersebut. Betul-betul tertulis di sana, tidak ada pacaran sampai usia 23 tahun, atas nama Senja Khala, tanda tangan bermaterai. Wow ....
Itulah mengapa kisah ini dibuat.
Bintang terngiang-ngiang masa 7 tahun lalu, saat di mana dia menjalani secret relationship dengan anak dosennya. Namun, di masa depan, alias saat ini, kayaknya hubungan itu ganti nama jadi secret relatoinshit!
Bintang mendesah pelan.
Sekarang usianya sudah 28 tahun, sedang Khala dikisarkan usia 25. Waktu pertemuan pertama itu umur Bintang masih 21, mungkin Khala 18 tahunan. Jadi, pas 7 tahun, kan?
Kisah yang dulu memang teramat singkat, waktu berpisahnya lebih banyak, tetapi yang singkat itu memiliki kesan yang sampai detik ini Bintang ingat.
Dia pun mengambil ponsel dan gegas menghubungi nomor Khala. Bintang dapatkan kontaknya dari berkas-berkas pekerja di Star Media. Rupanya dulu sempat ganti nomor.
"Udah tidur?" Bintang langsung basa-basi selepas ucapan salamnya bersambut.
"Maaf, ini siapa, ya?"
Alis Bintang menukik. "Nomor saya nggak disimpan?"
Nggak tahu di sana Khala sedang apa.
"Oh ... Pak Bintang? Maaf. Saya nggak save nomor mantan."
Di sini Bintang yang mangap mau menyahut, seketika mingkem lagi. Gemas, serius! Namun, tak lama.
"Kan, saya bilang save sebagai atasan, Senja Khala." Belum Khala membalas, Bintang imbuhi, "Lagian kita nggak pernah putus."
Tolong digarisbawahi!
"Atasan macam apa yang menelepon karyawannya di larut malam begini, Pak?"
Seketika Bintang lihat jam dinding. Pukul 10 malam ternyata.
"Dan ini di luar jam kerja, pun bukan di kantor. Jadi, saya tutup teleponnya. Silakan hubungi saya kalau ada perlu menyangkut kerjaan saja, Pak. Asalamualaikum!"
Fix, Bintang speechless.
Galak betul ukhti satu itu. Bintang sampai tidak ada kesempatan buat bicara.
Serius nanya, sebenarnya dulu itu kenapa, sih, hingga Khala jadi kayak landak gini ketika dia dekati, durilah yang disuguhkan seakan bentuk perlindungan diri?
Padahal ... 7 tahun sudah berlalu.
***
"Besok nginap di sini lagi, kan, Bin?" tanya papi, sewaktu sarapan pagi di kediaman semesta.
"Nggak, Pi. Star Media sama rumah ini kejauhan, Bintang nanti langsung pulang ke rumah yang di sana aja."
Mami cemberut. "Susah banget buat deket sama kamu lama-lama, nggak betah apa gimana, sih, di sini?"
Bintang terkekeh. "Bukan nggak betah, Mami. Tapi keadaan yang mengharuskan."
"Dan keadaan itu kamu yang bikin sendiri, Bintang," dumal mami.
Oh, ya, Nirwana dan Galaksi pun sudah tak tinggal di rumah ini. Mereka berpencar setelah merasa perlu ruang untuk kehidupan pribadi. Ruang terpisah. Jadi, di sini cuma sisa Bang Wala.
Lihatlah, di usianya yang sekarang, abang Bintang yang itu masih belum minat buat menikah.
"Abang kapan nikah, Pi?"
"Gue lagi diem, lho, Bin, dari tadi," decak Wala. Malah di-notice perihal kewong. Gak suka dia, tuh.
Bintang tahu, itu pertanyaan sensitif buat abangnya.
"Tuh, kapan nikah kamu, Wala?"
Ini lagi mami, ikut-ikutan Bintang.
"Yang penting jodohnya udah lahir, kan, Bang?" ledek Bintang, iseng saja biar hubungan kekerabatan terasa tetap dekat.
"Berisik!"
Bintang tertawa.
"Kalo kamu, kapan?"
Hah?
"Iya, kamu. Masih sama yang dulu? Kalo iya, nunggu apa lagi, Bintang? Bawa ke sini, dong. Kenalin sama Mami dan Papi," celetuk mami.
Aduh ....
"Udah lama putus, Mi." Jika itu soal Nadia.
Eh, sekarang gantian Bang Wala yang menertawakannya.
"Tapi lagi progres, kok. Minta doanya, ya, Pi, Mi, semoga Bintang berhasil bawa dia ke sini."
"Lha, udah ada yang baru?" tanya Wala.
Bintang hanya senyum meledek. Setidaknya, dia lebih serius daripada Bang Wala jika menyangkut wanita.
"Oh, ya, soal Star Media ... itu akhirnya kamu mau, disogok apa sama Bang Langit?"
Bintang terkesiap.
Papi menyebut satu hal yang agak janggal memang bagi seorang Bintang buat masuk ke ranah bisnis keluarga. Apalagi sebetulnya Bintang sudah punya mata pencahariannya sendiri dan terbilang mumpuni. Walau di awal-awal maminya sempat curiga jika Bintang terlibat pesugihan.
Nggak kelihatan kerjanya, entah di mana perusahaannya, tahu-tahu Bintang bisa beli rumah, tanah, dan harta benda lainnya. Gimana Rana sebagai mami Bintang tidak curiga coba?
Sebelum diketahui bahwa Bintang adalah ilustrator berjaya.
"Adalah," kata Bintang. Berdeham salah tingkah.
Wah ... kayaknya Alam mesti ngobrol sama Langit, nih, perihal Bintang. Yup! Informasi tambahan, papi Bintang adalah Alam Semesta, dulunya duda anak 3--yakni Bang Awan, Bang Guntur, dan Bang Langit adalah putra papi dari istri terdahulu--lalu papi menikah dengan Ranasya, maminya Bang Wala, Bintang, Nirwana, dan terakhir Galaksi si bungsu. Seperti itu silsilahnya.
"Ya udah, Bintang berangkat, ya, Pi, Mi." Mencium tangan mereka, bonus kecupan hangat di pelipis mami. Lalu alih ke abangnya. "Titip papi sama mami, Bang. Kabarin kalo udah mau nikah."
"Berisik. Udah sana minggat!"
Yeu!
Bang Wala si paling sensitif kayak anu. Bintang pun berlalu.
Sementara itu, di Star Media.
"Konsep cover: Satu cewek dan cowok lagi duduk berdua disinari cahaya masa depan." Membaca itu, Khala terdiam.
Cahaya masa depan ... apaan, tuh?
Memang, nih, penulis suka aneh-aneh menuangkan konsepnya. Membuat bagian redaksi di Star Media pusing menerka-nerka maksudnya.
"Cahaya matahari kali, tuh. Kayak lagi duduk di pantai, terus disorot senja. Gitu kali," komentar teman sedivisi.
Khala mengangguk-angguk. "Aku bikinin aja dulu kali, ya."
"Jangan ngasal bikinnya."
Eh?
Yang ada di sana terkesiap seketika. Apalagi Khala, tahu-tahu ada makhluk tinggi besar di belakang kursinya.
"Pagi, Pak Bintang!"
Disapa berjemaah oleh karyawan, kecuali Khala yang masih atur keterkejutan.
Posisi kubikel memang bersampingan, bukan kumpul berhadapan. Dengan membelakangi pintu masuk ke ruang redaksi. Sengaja di desain begitu agar mereka fokus hanya pada layar. Toh, yang boleh masuk ke ruangan itu cuma tim redaksi saja, kecuali kalau ada perlu pasti ketuk pintu. Beda lagi jika Bintang yang masuk, dia nggak perlu ketuk-ketuk dulu. Tahu-tahu ada di sana saja kayak sekarang.
Aset Star Media banyak di komputer redaksi soalnya. Itu alasan pendiri SM ketika mendesain perusahaannya.
"Cover-nya jangan sampai kayak tempelan, ya," tukas Bintang.
"Siap, Pak Bin!"
Disingkat-singkat.
"Oh, ya, saya duduk di sini, kalian fokus saja sama pekerjaan masing-masing, nggak perlu hiraukan saya." Sambil duduk di sofa yang tersedia.
Duh ....
Tepat di belakang bangku Khala soalnya. Pasti karyawan lain juga merasa gimana gitu, ya, misal saat kerja diawasi atasan.
Dan di tempatnya, Bintang mendapati satu pesan baru.
Khala: Sepertinya Bapak senggang.
Langsung Bintang tatap perempuan berjilbab itu di depannya, layar komputer kembali ke halaman Photoshop.
Bintang: Justru ini pekerjaan saya. Mengawasi karyawan agar tidak melakukan hal lain selain pekerjaan, seperti chatingan misalnya?
Khala berdeham.
Hih, kesal!
Jadilah pesan itu cuma dibaca. Tanpa Khala tahu, di belakangnya, Bintang tertawa tanpa suara.
Yang demikian itu, Bintang kirimkan satu pesan lagi. Mau nggak mau terlihat di notifikasi komputer Khala, chat itu berisi ....
[Rasa kopi kemarin terlalu manis, apa kamu melebihkan takaran cinta dari yang pernah terjalin dulu, Khala?]