7. Rasa yang Tertinggal

1296 Kata
Dulu .... Sibuk kuliah tidak membuat Khala berhenti jadi guru ngaji anak-anak, di daerah perumahannya dia aktif dalam bidang kerohanian. Selain mengajar, setelahnya Khala tidak langsung pulang, dia duduk manis dulu kala ada pengajian dan gabung dengan ibu-ibu. Bersyukur papa memilih lokasi tinggal di tempat yang tidak jauh dari religi. Oleh sebab itu, di sanalah Bintang berada. Walau tidak menjadi satu-satunya lelaki, tetapi dia menjadi satu-satunya pemuda--selain Khala--di rumpun pengajian masjid perumahan itu. Khala kaget, dong, masnya ada di sini. Duduk di kumpulan bapak-bapak yang tidak seberapa banyak, lalu posisi tepat berhadapan dengan Khala--pada jajarannya. Membuat sepersekian detik mereka beradu pandang, membuat Khala tersipu di saat pak ustaz di depan terlalu peka dan malah memberi ledekan. Ibu-ibu jadi ikutan. Kebayang? "Alhamdulillah di pengajian kali ini kita kedatangan tamu spesial ...," katanya, "dari mana, Mas?" Itu suara pak ustaz. Mas Bintang menyebut alamat tinggalnya--indekos--sosok yang sedang merantau di daerah sini sebagai mahasiswa. "Oalah ... satu kampus dengan Neng Khala, ya?" Itu bapak-bapak. "Jangan-jangan ikut pengajian di sini karena ...." Ya, gitu, deh! Pipi Khala jadi merah jambu. Sulit dia sembunyikan senyumnya di situ. "Awas, Neng, duduknya pindah, jangan berhadap-hadapan, takut terjadi penyerbukan." Ibu-ibu malah haha-hihi dan meledek Khala sampai dia pindah posisi, yang tak lagi berhadapan. Takut terjadi zina mata dan berujung penyerbukan versi manusia katanya. Duh, buibuk! Ada-ada saja. Pulangnya .... "Besok Minggu, Khal." Oh, iya. "Kamu pesen ojol Mas, ya? Biar ada alasan yang nggak mencurigakan soal hubungan kita kalau Mas pengin ajak kamu jalan." Kan, mereka pacarannya sembunyi-sembunyi, meski setelah ini entah papa dan mama Khala akan tahu berita kedekatannya dengan pemuda pertama selain Khala di pengajian tadi atau nggak. "Iya." Khala senyum. Dia tidak keberatan dengan hubungan ini, Mas Bintang mampu membuatnya merasa tetap terhormat meski diajak pacaran secara diam-diam. Merasa tetap dihargai walau Khala tahu pacaran versinya sekarang itu sangat tidak menguntungkan pihak perempuan. Sungguh mampu membuat Khala percaya bahwa dalam hubungan ini, dia aman-aman saja. "Ya udah, gih, pulang. Mas liatin dari sini ...." Karena nggak bisa nganter. Dan alasan Bintang datang, ikut terjun dalam dunia Khala, gabung dengan segala hal yang Khala lakukan di rutinitasnya, karena perasaan Bintang yang ingin selalu melihat Khala, dekat dengannya, hingga sebaik mungkin Bintang manfaatkan peluang. Sadar bahwa waktunya di wilayah ini sisa sedikit, skripsinya tinggal menunggu jadwal sidang, begitu selesai ... Bintang akan pulang. Dulu. Hubungan itu apik terjalin, khususnya tidak diketahui orang tua Khala, entah bagaimana mereka sama sekali tidak bertanya tentang rumor yang sempat sampai di telinga keluarga Khala perihal kedekatan keduanya. Tak ambil pusing, Khala dan Bintang justru bersyukur. Dengan demikian, mereka tidak perlu mengarang jawaban andai ditanya. Satu hal yang membuat Bintang menyesal di hubungannya saat itu ... "Maaf udah bikin kamu jadi harus ngebohong sama orang tua." "Tapi mereka nggak pernah nanya, kok, Mas. Aku jadi nggak harus bohong karena nggak perlu ngejawab apa-apa." Di toko buku, dulu. Mereka suka jajan komik bersama. Adalah detik di mana Bintang berkata, "Cepet gede, ya, Khal. Cepet lewati usia 23 tahun kamu itu ...." Sambil menatap Khala tanpa berani menyentuhnya. "Biar Mas bisa menghadap papa kamu sebagai cowok yang lagi deketin anaknya." Khala mesem-mesem. "Kalo sekarang nggak berani, ya, Mas?" "Kalian udah bikin kontrak bermaterai, kan?" "Tapi secara hukum itu nggak sah! Kan, aku masih di bawah umur pas tanda tangan." "Iya, sih. Tapi nantilah, Khal." "Kenapa?" Tatapan Bintang alih ke depan, senyum dan bilang, "Mas belum punya bekal yang cukup buat minta anaknya Pak Wirya." "Yaaah ... tapi berani ngajakin pacaran diem-diem?" Khala manyun. Bintang tertawa. "Kalo itu, takut keduluan orang, Khal. Jadi Mas tandain dulu aja anaknya." Ya, kan? Dulu. "Yang penting kamu ngerasa nyaman, kan, di hubungan ini? Misal ada satu aja yang bikin kamu nggak nyaman, bilang, ya?" Dulu. Senja Khala adalah sosok yang Bintang klaim untuk dia perjuangkan, bahkan sampai detik ini. Yang mana sekarang itu, di kantor .... Ayu: [Dalam rangka apa, sih, Pak Kepala Cabang kita mantau redaksi dari pagi sampe mau abis jam istirahat kita ini?] Anne: [Tau, ih. Laper. Mau keluar buat makan, gak enak!] Rizky: [Udah tau dipantau beliau, kalian ini malah chat-chat-an! Kalo diliatin dari belakang gimana, woi?] Anne: [Nggak. Dari tadi Pak Bos asyik main hape. Nunduk terus, tuh!] Room chat grup tim redaksi yang hanya ada mereka saja itu mendadak jadi grup gibah. Sekilas Khala membacanya, mendadak dia merasa bersalah. Tahu kenapa? Yup, pagi tadi pas diajak nikah--Khala kaget banget--dan tentu dia tidak menjawabnya. Alih-alih bilang mau atau nggak, Khala justru kabur. Sial. Ajakannya bikin takut digeret langsung ke pelaminan. Namun, karena kecepatan pemesanan ojek di aplikasi tidak se-sat-set Mas Bintang tadi, Khala jadi berakhir duduk di mobil masnya lagi. Ugh ... dengan awkward tentu saja. Khala canggung banget. Meski demikian, Mas Bintang nggak kelihatan begitu. Cowok itu justru masih sanggup bilang, "Selagi belum ada jawaban, saya bakal ikutin kamu terus." Ya, nggak percaya, dong! Namun, lihat! Khala mampus ketika ucapan masnya direalisasikan. Ternyata benar-benar ngintil. Kalau begini, kan, Khala jadi khawatir ketahuan hubungannya dengan--eh, memangnya ada hubungan apa, sih, antara dia dengan Mas Bintang? Ck! Mantan gemblung dasar. So, fine ... Khala kirimkan pesan: [Bisa kita bicara di luar, Pak?] [Ya. Di ruangan saya aja.] Eh, langsung dibalas? [Ayo.] Begitu balasan susulannya. "Kalian pada puasa apa gimana?" Kontan celetukan itu membuat tim redaksi, kecuali Khala, terkesiap di tempat. Bintang berdiri. "Jam istirahatnya sebentar lagi habis, silakan kalau yang mau makan, makan aja." Begitulah akhirnya personil redaksi mendapatkan angin segar. Yeah ... dipikir-pikir, aura kepala cabang mereka kali ini sangat beda dengan yang dulu. Mas Bintang auranya sangat-sangat-sangaaat kaku dan membuat pegawai tidak berani begitu-begini. "Kecuali Khala, ikut saya dulu ke ruangan." Fix! "Lo ada salah ngerjain cover apa gimana, Khal, tadi?" Selepas pak bos pergi, Khala diberondong tanya, kenapa dia dipanggil ke sana? *** "Pak--" "Jangan nunjukin kedekatan kita, perlakukan kamu sebagaimana pegawai di sini, dan bersikap seolah-olah sebelumnya kita nggak saling kenal, kamu mau bilang gitu, Khal?" Mulut Khala yang semula mangap sampai rapat berlipat-lipat. Kesal, Sis! "Itu Bapak hafal." "Ya. Silakan duduk dulu." Bintang tunjuk kursi di depannya. Khala menghela napas sebelum mendudukkan diri. Ya Allah .... "Sejujurnya saya nggak nyaman, Pak." "Mau tuker kursinya?" "Bukan soal itu." Khala makin menunjukkan raut kesalnya. Eh, Mas Bintang di Langit malah terkekeh. "Sorry," katanya, "Situasi paling nyaman yang saya tawarkan untuk kamu adalah ambil posisi sebagai istri." "Pak--" "Selain itu, maaf sekali." Ah, apaan, sih! "Jadi, gimana soal tawaran saya tadi?" Yang mana? Soal nikah atau jadi istri? Argh! Kok, ya, sama saja?! Dengan berani, Khala menatap mata itu. Dulu kalau lihat telaga bening Bintang, Khala akan tersipu. Kalau sekarang ... entahlah, justru kesal dan emosi. "Maaf, Pak. Mungkin kalau Bapak ngajaknya ke perempuan lain--" "Oh, jadi saya harus coba lagi?" Dipangkas terooos! "Ke perempuan lain, Pak, silakan," tegas Khala. Berharap Mas Bintang paham jika itu penolakan. Dengan mata yang saling bertatapan, lalu hening memeluk ruangan, sepersekian detik Bintang menelusuri sorotan mata Khala, mencari-cari masih adakah rasa yang tersisa di sana? Namun, tatapan Bintang malah tergelincir pada bibir yang tanpa sadar Khala gigit. Detik itulah Bintang senyum, satu hal yang dia ingat bagaimana Senja Khala di saat resah. "Boleh saya tau alasannya kenapa?" "Karena saya nggak mau jadi istri Bapak." "Iya, itu kenapa?" Khala terdiam. "Apa masih persoalan tujuh tahun lalu? Karena di mata kamu, saya selingkuh waktu itu?" Lagi, Khala diam. Dia juga nggak punya alasan khusus. "Pokoknya, nggak mau." "Alasannya, Khala." "Saya nggak suka sama Bapak," tegasnya. Namun, masnya malah tertawa. Dih, dih! Di mana letak komedinya? "Iya, dan alasannya?" Astagfirullah .... "Bapak waktu suka sama saya, apa ada alasannya?" "Ada." Eh? Khala mengerjap, sedang Bintang tersenyum. Oh, bukan! Tapi, menyeringai. "Ya ... wajar kalau kamu ngiranya dijadiin pelarian dari Nadia." Disebutnya nama itu, Bintang terkekeh. "Karena nggak tau seberapa berbobotnya alasan saya waktu mutusin buat naksir anaknya Pak Wirya ... iya?" Sial .... Khala merona.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN