11. Fantasi Liar

2546 Kata
11 "Itu terlalu kontras warnanya, bagian punggung sama depan-belakang cover nggak nyambung. Coba cari warna yang selaras sama dominan warna di situ." Itu baru soal cover buku yang dikerjakan personil redaksi. Bintang sedang mengawasi kinerja dan melihat-lihat hasil kerjaan mereka. Oh, hari itu ... setelah kemarin datangi kontrakan Khala, besoknya Bintang jadi full semangat di kantor sampai-sampai datang paling awal, mengadakan meeting dan melihat hasil kinerja tiap tim, lalu sekarang mengevaluasi. Namun, dengan Bintang yang semangat begitu, pegawainya jadi merasa dapat bencana. Kerjanya jadi dua kali lebih ekstra, kena omel pula. Sebetulnya bukan cuma tim redaksi saja yang dikritik Bintang, tetapi memang tim redaksilah yang pertama kali Bintang semprot. Habisnya ... kok, bisa kualitas cover dan layout-nya di bawah standar SM? Atau, lebih tepatnya ... di bawah standar Bintang. Dia, kan, punya selera yang tinggi terkait dua hal itu, khususnya cover. Jadi, tidak bisa dibiarkan begitu saja melihat hasil cover buatan redaksi Star Media kacau begini. Bintang pun mengembalikan lagi pekerjaan mereka, minta digarap ulang. "Siapa yang mengerjakan cover Privacy or Secrecy?" "Saya, Pak." Bukan Khala. Bintang berjalan ke sana. "Coba semuanya lihat, itu cover bagus atau tidak?" Hening. "Saya nanya, bagus apa nggak?" "Bagus, Pak." "Jujur!" "Mungkin ... terlalu tipis line-nya, Pak. Jadi kurang jelas sketsanya, kalah sama warna cover," komentar Khala. "Nah, itu. Kalau dilihat sekilas memang bagus. Nggak ada yang salah dengan gambar dan pilihan warnanya, asal ... catat baik-baik, masa yang kayak gini aja harus saya ajarin?" Galak memang. Mas Bintang itu terkenal galak di Star Media, asal kalian tahu. Belum lagi tatapannya, kalau dia tidak suka sama suatu hal, alis dan tatapan matanya akan bicara jujur sekalipun mulut bilang hal lain. "Kalau mau pakai garis tipis buat sketsa, lalu pilihan warna garisnya adalah hitam, maka jangan ambil warna gelap buat dasar cover-nya. Coba lihat cover Privacy or Secrecy itu, warnanya merah dan condong ke gelap, warna line-nya hitam, garisnya pun tipis, dan gambar di sana itu jenis sketsa line aja," katanya, "lain lagi kalau kamu pakai warna dasar cover-nya putih, pastel, atau warna-warna lembut dan hangat yang tidak terlalu mencolok, line-nya akan terlihat." Seketika seluruh anggota redaksi pun mengangguk, mencatat hal-hal yang diucapkan pak bos mereka. "Bisa juga pakai warna dasar cover itu, merah, tapi garis sketsanya dipertebal, atau gunakan warna putih buat line-nya. Sampai sini paham?" Memang, nih, agak lain kepala cabang kali ini. Mas Bintang tampak lebih berilmu di bidang desain cover dan layout, bahkan ilustrasi. Ketika dia memberikan contoh pun, nggak main-main, hasilnya bagus sekali. Khala sampai terkesima. Dan, ya ... Mas Bintang terbilang perfeksionis jadinya. "Di sini, kan, ada lulusan DKV." Eh? Khala merasa di-notice. Pun, Mas Bintang meliriknya. "Masa hasil kinerja redaksi sekacau ini? Minimal, lulusan DKV bisalah membantu yang lain di sini." Khala menunduk. "Memangnya kalau bikin cover atau apa, kalian nggak saling tanya sudah bagus atau belum ke rekan?" "Tanya, Pak." "Nah, yang ditanya juga berilah komentar yang jujur, jangan cuma jawab bagus-bagusnya saja. Karena selain kecepatan, Star Media juga menuntut kualitas terbaik buat hasilnya." Uh .... Ini, sih, asli ngomelnya. Khala sampai nggak berani menatap mata itu. Dan sepertinya, Mas Bintang sedang mode profesional. "Ya sudah, sebelum saya ke divisi lain, apa ada yang ingin ditanyakan?" Sementara itu, di ruangan lain .... "Anak redaksi kena omel Pak Bintang, woi! Siap-siap!" "Di sebelah hawanya nggak enak! Jangan sampe di kita ada yang bikin kesalahan, ya! Cepet siapin jawaban dan mentalnya!" "Pas meeting tadi, konten kita ada di-notice sama Pak Bos, gak? Seminggu ini t****k kita FYP terus, kan?" "Duh, anjir ... Pak Bintang bikin gue deg-degan!" Begitulah. Sejak pergantian kepala cabang, dunia Star Media jadi 180 derajat bedanya. Waktu zamannya Pak Barga, mereka kerja lebih santai dan rileks, dengan hasil bagus menurut mereka, dan itu menyenangkan. Namun, ketika edisi Pak Bintang sekarang ini, Star Media dituntut kerja lebih hard, dengan hasil nggak masuk akal menurut mereka. Yang sebelumnya bagus kata pegawai Star Media, ternyata di bawah standar bagi Pak Bintang. Gimana mereka nggak gonjang-ganjing? "Mental saya terancam nggak aman, Ya Tuhan ...." "Pengin resign aja, tapi butuh uang, gimana dong, tolong!" Demikian keluhan-keluhannya. Apa kabar jika mereka kerja di pusat? Alias di kantor Semesta Media. Bintang geleng-geleng kepala, dia mendengar keluhan dari beberapa karyawan. Meski demikian, Bintang pura-pura tuli saja biar mereka nggak malu dan makin ciut sama dia. Ah .... Semua kejadian di kantor hari ini boleh dibilang gara-gara Khala. Karenanya, bos mereka jadi semangat membara. Dengan begitu, habis sudah segala salah dan kekurangan mereka dibasmi dengan kritik dan evaluasi. Beres dengan itu, Bintang masuk kembali ke ruangannya, duduk di singgasana, ambil ponsel dan dia kirimkan pesan untuk Senja Khala. Isinya .... [Istirahat nanti mau makan apa?] Bintang akan belikan. Namun, balasannya .... [Bapak.] [Anda kelihatan lezat hari ini.] [Saya makan itu saja!] Dengan emotikon marah diikuti pisau dan gunting, juga terong, entah apa maksudnya. Namun, Bintang terkekeh karenanya. Gegas dia balas. [Kayaknya kamu udah nggak sabar, ya, Khal?] [Ya udah, luangkan waktu kamu akhir pekan.] [Kita percepat aja.] *** Abshshfhsjkskkjhh!! Apa itu? Hal yang membuat kepala Khala pusing dan nyut-nyutan. Oh, akhir pekan. Waktu pesat berjalan. Tiba-tiba di akhir pekannya, Khala dapat paggilan, sore itu .... "Besok pulang, ya, Khal?" "Lho, besok Senin, Pa. Hari kerja." Dari papanya. "Iya. Pulang, ya?" Aih ... mana bisa! "Mungkin Selasa bisanya, Pa." "Besok, Nak. Abang kamu jemput nanti." Waduh! Kok, papa maksa, sih? "Khala harus ngobrol buat izin sama bos dulu." Tampaknya, papa diam sejenak. Sambungan nirkabel itu masih terhubung. Well, Khala sedang menyisir rambut, baru selesai keramas tadi saat mandi sore. "Ditelepon aja bosnya, disuruh pulang sama papa gitu, acara keluarga. Hari itu aja, kok." Nah, kalau itu suara mama. Sepertinya, di-loudspeaker. Khala pun mengalah, ya sudahlah. "Ya udah, Khala coba hubungi bosnya dulu, Ma, Pa. Tapi memang ada acara apa besok, Pa?" "Acara keluarga." Ya, iya ... tapi apa? "Acaranya nggak bisa berlangsung tanpa Khala atau gimana, Pa? Sepertinya krusial banget." "Memang." Khala jadi penasaran. Namun, belum juga dia bertanya lebih lanjut, papa pamit menutup panggilan. Yah ... gagal dapat jawaban. Acara keluarga apa, sih, yang mengharuskan Khala datang? Oh! Nggak mungkin ada kaitannya dengan isi pesan Mas Bintang kapan hari lalu, kan? Cepat-cepat Khala baca ulang. Dan, detik itu juga ... Khala telepon gerangan. Sungguh, jantung Khala deg-degan! *** "Pak, saya datang lagi." Setelah 7 tahun lalu, Bintang pernah ke sini dengan maksud mengungkapkan ketertarikannya pada putri dosen pembimbing skripsi. Pak Wirya kelihatan jauh lebih sepuh sekarang, sepertinya sudah pensiun. Well, sudah Bintang cium tangannya dengan takzim tadi di awal kedatangan. Dia juga mengangsurkan buah tangan. Pun, kali ini Bintang datang dengan mengendarai mobilnya, juga penampilan yang jauh lebih dewasa, tampak mapan, tentu saja! "Sudah lama, ya ... memangnya masih sama? Atau, dalam rangka yang berbeda?" Mendengarnya, Bintang senyum. "Sama, Pak. Masih soal ketertarikan saya sama Khala." "Ma, bikinin kopi!" Oh, masih ingatkah? Bintang terharu, tetapi apik dia sembunyikan raut itu. Hingga datanglah mama Khala dengan segelas kopi dan beberapa sesuguhan, minuman Pak Wirya hanya air putih saja. Bintang pun lekas menyalami gerangan, ibu Khala masih tampak cantik di usia senjanya. "Ini mahasiswa yang dulu bimbingan sama Papa, bukan?" "Iya, Bu. Bintang." Dia memperkenalkan diri ulang. "Oalah ... sekarang kerja di mana, Nak?" "Star Media, Bu." "Lho?" Ibunya Khala duduk di sisi Pak Wirya, gabung di sana. "Bukannya itu tempat kerja Khala juga, Pa?" Tampak Pak Wirya mencomot hidangan, mengangguk-angguk. "Masih ingat Khala, kan, Nak?" tanya ibu. Tentu saja! "Kedatangan saya ke sini juga karena Khala, Bu." Sekarang Pak Wirya berdeham. Ibu Khala tampak terkejut. "Jangan bilang ...." Bintang mengangguk. "Saya mau melamar Khala, Bu, Pak. Sebelumnya sudah saya sampaikan perihal lamaran juga ke Khala, tapi sepertinya saya datang lebih cepat dari yang Khala perkenankan waktunya." "Kalian pacaran?" Satu pertanyaan baik dulu maupun sekarang, tentang pacar, Bintang selalu kesulitan. Duh .... Ya, itu. Kemarin. Hari Minggunya Bintang gunakan untuk mendatangi kediaman orang tua Khala, dia bergegas, bicara perihal niat baik dan keseriusannya terhadap Khala, tahu hasilnya apa? Kata Pak Wirya, "Ya sudah, kalau memang seserius itu, besok datang bawa orang tua kamu. Dan harus besok." Alasan mengapa ... malam ini Khala menelepon Bintang, tentu saja karena hari Seninnya disuruh pulang, padahal Senin adalah hari sibuk di kantor. Bintang dapat menebak maksud adanya telepon dari Khala saat ini. Yeah .... Dia angkat panggilan itu, dengan sebelah tangan lain yang tengah menggenggam telinga cangkir, sesekali dia sesap kopinya. Malam ini, Bintang duduk di balkon. Dia sedang ada di kediamannya sendiri. "Kemarin ... Bapak ke rumah?" Rumah orang tua Khala, Bintang paham. "Iya. Papa kamu udah ngasih tau, ya?" "Pak!" Khala tampak geram. "Kan, saya belum kasih jawaban!" Bintang senyum menatap cangkir kopinya, seolah tergambar wajah Khala di cairan hitam pekat itu. "Gimana, ya? Telanjur udah didatangi orang tua kamunya, Khal ... bahkan besok Mas mesti bawa orang tua juga ke sana." "Saya belum siap!" "Nggak pa-pa. Pelan-pelan aja ...." Bintang sesap lagi kopinya. Bilang, "Biar saya yang gerak, kamu cukup mengizinkan dan menerima pergerakan saya menuju kamu. Ok?" "Nggak ... sama sekali nggak oke!" "Khal." Bintang berucap tegas. "Kalau dijalani, nanti kesiapan itu akan menyusul. Yang penting acc aja dulu." "Masalahnya, karena belum siap, saya jadi susah nge-acc. Masa Bapak nggak paham soal ini?" "Ya udah, ya udah ... coba jabarkan, kamu nggak siapnya di bagian mana? Menikah? Soal itu, bisa diatur nanti." Karena yang terpenting bagi Bintang, Khalanya sudah dia ikat lebih dulu, dengan ikatan yang benar-benar kuat, meski belum sampai tahap menikah. Bintang mau melibatkan orang tua. Ya, supaya Khala nggak ke mana-mana. Egois? Nggak pa-pa. Asal Khala tidak bisa kabur seenak masa transisinya dulu, Bintang di-ghosting. Untung waktu itu dia juga masih ada hal yang harus dikejar--selain pacar--dia harus mapan, kan? Buat pacar. Ah, ada banyak hal yang Bintang lakukan saat setelah Khala menghilang. Tentu saja, semua itu penuh strategi dan terukur. "Saya bahkan--" "Aku, Khal," pangkas Bintang, "dulu kamu nyebutnya aku, juga mas. Coba mulai dibiasakan lagi kayak dulu." Khala tampaknya terdiam setelah Bintang menyela barusan. "Khal?" Sementara itu, di seberang telepon sana ... Khala uring-uringan, dia gigit bibir, lalu guling kanan dan kiri di kasur dengan rambut panjang berantakan. Argh! Oke, fine! "Aku bahkan ...." Khala paparkan. "Belum pernah dikenalin sama orang tua Mas!" Lalu mencicit, "Masa tau-tau lamaran aja, sih?" Kan, minimal kenalan dulu gitu. Dikenalin sama orang tua, lebih afdal lagi kalau sama keluarga. Sedangkan dia? Sama sekali belum pernah, tuh, dikenalkan kepada mereka. Eh, Mas Bintang tertawa. "Kan, besok mau ketemu? Besok juga kenal, besok Mas kenalin, makanya besok kamu pulang, ya?" Bukan itu poinnya, astagfirullah! "Lagian dulu ... tapi ini Mas nggak lagi nyalahin kamu, ya. Jangan tersinggung. Waktu wisuda, Mas mau ngenalin kamu ke orang tua, tapi kamunya bahkan nggak datang, tuh?" "Aku datang!" "Tapi kabur setelah lihat Nadia ... kan?" Ck, iya! Dulu. "Terus ngilang." Wajah Khala merah padam. Ya, dulu memang begitu. Terdengar suara helaan napas dari arah seberang, seiring kemudian Mas Bintang bilang, "Untung alasan saya naksir kamu sangat berbobot." Jadi saat Khala pergi, Bintang memilih bertahan dan terus berjuang. Karena Bintang nggak sekonyol itu buat berharap, menunggu, hingga mengejar perempuan yang meninggalkannya ... sampai 7 tahun berlalu. Khala mengerling, meski hidung kembang-kempis kesenangan. Wajar, kan? "Secinta itu ternyata, ya?" Agak meledek nada suaranya. "Nggak juga." Hell .... "Kalau cuma karena cinta, dari tujuh tahun lalu Mas udah lupain kamu, Khal. Udah sama yang lain bahkan," imbuhnya, "nggak bakal sengotot ini sampe-sampe pas belum punya apa-apa, ngeberaniin diri buat ketemu papanya." Eh? "Maksudnya?" Mas Bintang diam. "Halo?" Lalu terdengar suara pintu ditutup. Khala deg-degan. Jangan bilang dulu itu .... "I locked you to myself," katanya, "lewat Pak Wirya." Adalah detik di mana panggilan itu diganti jadi video call oleh sosok di sana, Khala terkesiap. Jilbab! "Nggak diangkat?" "Aku lagi nggak pakai kerudung." "Oh ...." Khala berdeham. Nggak tahu kenapa sekarang malah kikuk, dengan jantung yang berdetak setidak wajar dulu, persis ketika habis mendapat pernyataan rasa dari sosok itu. Ya Allah ..... Dag-dig-dug, gitu! "Khal." "Hm?" Fix, Khala kalah. Alih-alih bersikeras untuk tetap "keras", sekarang Khala malah larut pada ucapan-ucapan lelaki itu. Yang memang sejak dulu, Mas Bintang amat pandai soal mendapatkan hatinya, lelaki ini berbahaya--setidaknya bagi Khala. Yang katanya, "Meski belum pernah lihat, tapi setelah denger kamu lagi nggak pakai jilbab, dosa nggak kalau Mas memfantasikan kamu ... yang tanpa jilbab itu?" Astagfirullah! Khala langsung nyebut. "Tapi gimana, dong, Khal ... bayang-bayangnya nggak mau pergi ...." Sungguh, lirih sekali. Khala gegas berpamitan, menyudahi acara teleponan ini, dengan satu pesan berbunyi, "Selama belum menikah, kedekatan kita, baik yang dulu atau sekarang ... tolong dirahasiakan dari orang-orang kantor, ya? Tetap perlakukan aku selayak bawahan, dan--" "Kesimpulannya, saya di-acc, kan, Khal?" "Tolong profesional, Sir." "As your wish." Tanpa Khala dapat melihat, di sana Bintang tersenyum, sampai panggilan ditutup, senyum Bintang tidak hilang, bahkan ketika matanya yang tertutup, bibir Bintang tetap melengkung. Ya Tuhan .... Sebahagia itu. Saking bahagianya, Bintang mau mengakui dosa-dosanya atas Khala, terkhusus dulu ... kalau nggak salah, waktu pergi main dan basah-basahan, waktu di mana Bintang tahu sebuah rahasia perempuan--Khala--yang ternyata 34B. Paham? Atau masih remang-remang? Uh, nanti .... Ya, nanti akan Bintang ceritakan. Kini, Bintang berdeham. Oh, itu kejadian lampau. Pernah Bintang lupa, tetapi sekarang teringat lagi ... seiring fantasi-fantasi nakal yang membuatnya tidak nyaman sendiri. Tolong jangan salah paham, bukannya m***m, Bintang cuma ... nggak ngerti! Sungguh, dia menginginkan Khala bukan karena nafsunya, tetapi nafsu ini ada karena rasa inginnya itu atas diri Khala. Makanya, Bintang takut banget ... kalau-kalau imannya yang setipis tisu ini, Khala siram dengan air. Yang harusnya padam, malah meleyot, sobek, dan rusak. Bintang tidak mau begitu. Dari sekian banyak perempuan, Bintang paling hati-hati di Khala. Buat memegang tangannya saja, dia perlu izin, pun tidak berani minta lebih. Namun, dari semua itu, kenapa hanya Khala ... yang selalu bisa membuat pertahanan Bintang melemah? Dulu .... Bukan maksud membandingkan. Waktu sama Nadia, jujur, Bintang pernah pelukan, pernah membawa cewek itu ke dalam kosannya, bahkan Nadia pernah tidur siang di sana, dengan Bintang yang juga tidur walau tempatnya di lantai. Ini Bintang jujur, ya! Tapi nggak ada maksud lain. Nah, bersama Nadia yang sudah sampai sejauh itu, sama sekali tidak ada fantasi seliar dirinya saat dengan Khala. Membayangkan rambutnya, berdesir ketika telapak tangan bersentuhan, pun hanya dengan tatapan yang tak sengaja berjumpa, Bintang merasa abcdefghijkl di sana, tetapi juga mati-matian membuang pikiran berdosa itu agar Khala aman terjaga, juga nyaman dengannya. Sama Nadia, keluar masuk kosan bersama pun rasanya biasa. Namun, bersama Khala ... tahu bahwa cewek itu hanya sendirian di kontrakannya dan Bintang berkunjung tanpa teman saja dia sudah khawatir, berhati-hati, sama sekali tidak berani meski Khala menggoda dengan tawaran jailnya. Oke, cukup sampai di situ. Bintang menutup mata dengan lengannya, diiringi jantung yang porak-poranda detakannya, setelah baru saja notifikasi ponselnya berbunyi secara beruntun dan itu dari papi. Berisi .... [Papi sama mami lagi di jalan, rencana mau nginap di rumah kamu biar besok ke sananya bareng dari satu arah.] [Oh, ya, Bang Langit udah kasih tunjuk foto calon kamu. Papi jadi penasaran, jampi-jampinya apa sampe bisa dapet yang kayak gitu?] [Paling penting, dia aman, kan? Mami sampai khawatir, lho!] [Cuma gara-gara kamu keturunan Papi. Yeah ... pokoknya, habis pesan yang panjang ini, siap-siap kami interviu lebih panjang lagi, ok?] [Ini sebentar lagi sampai.] Akhir-akhir ini, sejak Bintang menyampaikan berita lamaran dan meminta mereka datang, papi jadi cerewet sekali. Kalian juga merasakan hal itu, kan? Ngomong-ngomong, bicara soal foto Khala ... BINTANG NGGAK BISA TIDUR! Argh!!!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN