12. Dia Datang

1991 Kata
"Jadi, kamu mau pegang Star Media karena ada Khala, ya? Khala, kan, namanya?" Bintang senyum, dan itu benar. Papi Alam geleng-geleng kepala. "Terus, kalau sudah begitu ... sudah mau didapatkan Khalanya, gimana? Lanjut atau udahan di SM-nya?" "Tergantung Khala." "Lho, kenapa gitu?" Ini mami. Malam itu Bintang betul-betul diinterogasi, padahal harusnya istirahat lebih awal karena besok mau melamar. Ehm! "Ya ... kalo Khalanya abis nikah mau tetep kerja di sana, Bintang ngikut." "Astaga. Bucinmu agak lain, ya, Bin?" Papi Alam bertutur. "Bukannya sama aja kayak Papi? Kan, Mi?" Bintang membela diri. Dahlah. Mami hempaskan punggung ke sandaran sofa. "Dasarnya satu DNA, nggak jauh beda!" Begitu kata mami. "Berarti fix abang kamu mau dilangkahin, ya?" Papi bicara soal Bang Wala. Bintang mengangguk. "Karena nggak mungkin nunggu Bang Wala dulu nikahnya, di umur segini aja dia masih belum ada keinginan buat nikah, kan?" "Masalahnya bukan itu, lho, Bin!" Nah, Bang Wala yang sejak tadi diam menyahut, "Ini, sih, lonya aja yang kebelet kawin." Well, Wala memang jadi sopir papi dan maminya tadi saat perjalanan ke sini. Sekalian, Wala ingin tebar pesona sama sosok yang membuat adiknya klepek-klepek kayak sekarang. Lihat saja nanti! Sebab semua mengakui, Wala punya ketampanan lebih daripada lelaki di keluarga Semesta. Istilahnya, dia nomor wahid kalau soal wajah dan fisik. Sayang, agak semprul dan bandel orangnya. "Memang." Bintang tidak mengelak. "Toh, wajar. Bintang udah 28 tahun, ya, Pi? Udah tiba masa kawin," katanya, pembelaan. Bang Wala kelihatan mencibir. Sementara itu, di lain tempat. Asli! Khala juga nggak bisa tidur, efek terlalu mendebarkan perihal hari esok. Khala rebah miring kiri dan kanan, lalu telentang, terngiang-ngiang .... Tujuh tahun lalu. "Hujan, Mas." Di perjalanan saat kencan kesekian, lokasi tujuan masih jauh, tidak mempersiapkan jas hujan pula, dengan motor yang biasa Bintang pakai buat ngojol, terpaksa mereka menunda perjalanan itu. "Berhenti di sini dulu nggak pa-pa, kan?" Khala menoleh, lalu mengangguk. Namun, hujannya deras dan tampak akan memakan waktu lama. Minimarket pun nggak kelihatan ada di sebelah mana, membuat mereka menjeda perjalanan dengan berteduh di warung yang tutup. "Baju kamu basah, Khal." Ah, iya .... "Dikit, kok." Tadi sempat menerobos hujan, tetapi karena dirasa deras dan tidak memungkinkan buat terus diterobos, mereka berhenti. "Eh, Mas mau apa?" Melihat Bintang yang melepaskan jaketnya. "Pake ini, Khal." "Jangan!" Khala menolak lembut. "Baju aku berlapis, kok. Justru kalo jaketnya dilepas, nanti Mas cuma pakai kaus aja." Iya, sih. Bintang pun memakai lagi jaket itu. Dia menatap Khala sejenak. Pakaian Khala mencerminkan ukhti-ukhti, tetapi posisi mereka saat ini di sana sangat tidak baik buat image seorang Khala. Tiba-tiba Bintang menyesal, dia memang selalu menyesal bila bahas soal ini. Namun, bagaimana lagi? "Di sini sepi, Khal." "Iya, Mas." Mereka berdiri bersisian, tentu saja berjarak. Khala juga tidak menoleh sekadar menatap Bintang yang selalu curi-curi pandang. "Nanti yang ketiganya setan, bukan?" Khala meringis, mengusap-usap lengan atas. Alih-alih dingin, dia gugup. Well, ini perjalanan terjauh yang Khala lakukan bersama Mas Pacar. Di usia 18 menuju 19 tahunnya itu, Khala masih begini. Nakal, kan? Untuk ukuran orang yang pernah mondok, pakai baju tertutup, Khala ini agak lain memang. Dan itu sama Mas Bintang. Dulu, Khala sedang puber sepertinya. Tidak berpikir perihal image, orang tua, dan hal-hal yang dia ketahui bahwa pacaran itu mendekatkannya pada zina. Munafikkah dia? Dulu. Namun, bagaimana ini? Dilema Khala membawanya pada hari itu. Lepas setuju buat pacaran diam-diam, memasrahkan hati yang ternyata jatuh cinta, kemudian mau diajak kencan sejauh sekarang. Puncak, ya? Mereka mau ke sana. Khala menunduk melihat jempol kaki. Ya, nggak setertutup itu, sih, sampai ke mana-mana pakai kaus kaki. Khala baru menutup tubuh dengan gamis dan jilbab panjang saja. Sosok Khala yang demikian, bila diviralkan, bukankah dia akan jadi bahan hujat warga neti? Pakaiannya tertutup dan sopan, tetapi dia--kali ini--Khala melirik Mas Bintang, pun lelaki itu balas lirikannya. Kontroversi sekali, ya, kan? Antara pakaian dan kelakuan. Khala sering dilema dan resah soal itu. Dulu. Namun, dia suka pria ini. Dan Khala senang bepergian dengannya. Gimana, dong? Istigfar saja tidak cukup rasanya. "Mas ...." "Kalo cuma pegangan tangan, nggak pa-pa, kan?" Iya, itu. Khala menunduk. "Telapak tangan kamu dingin banget," katanya, "Mas angetin ... kayak gini." Adalah detik di mana Bintang mempererat genggamannya. Tatapan Khala jatuh di sana. "Modus." Khala berucap dengan pipi memerah. Gitulah. Dulu. Bintang senyum-senyum, dengan genggaman yang kian dia rekatkan. "Memang. Berkat bisikan dari yang ketiga." Sayton namanya. Fix, dua-duanya senyum khas orang kasmaran. Dengan wajah yang sama-sama ditolehkan ke arah yang berlawanan, tetapi tangan saling berpegangan. Itulah dulu. Sampai ketika hujannya reda, menyisakan gerimis kecil saja, mereka melanjutkan perjalanan. Namun, saat itu, Bintang membawa Khala ke sebuah tempat perbelanjaan. Lengkap. Khala diajak ke toko pakaian dalam juga. Tentu saja, Khala protes. Namun, belum dia buka mulut, Mas Bintang sudah menghalaunya dengan kalimat, "Jangan tersinggung, ya, Khal? Maaf sebelumnya. Tapi serius bukan karena mau mesumin kamu, Mas khawatir aja kalau baju kamu basah dan lembap gini ... nanti sakit. Apalagi di sana, kan, dingin. Jadi, nggak pa-pa, ya, Mas beliin pakaian ganti? Janji nggak mesum." Khala batal protes. "Tapi nggak harus beli pakaian dalam jugalah, Mas," cicitnya, agak bisik-bisik. Mas Bintang menggeleng. "Itu penting. Ayo!" Kalau tidak salah ... 34B, Bintang tahu dari ukuran yang Khala cari-cari saat itu. Dan saat Khala menoleh, Bintang langsung buang pandangan, pura-pura nggak lihat apa-apa. Dulu. Nakal, ya? Satu hal yang jika diingat, Khala jadi malu. Di mana kini dia menutup wajahnya dengan bantal. Tiba-tiba terngiang saat itu. Tanpa Khala tahu, di lain tempat ... Bintang juga sama. 7 tahun lalu memang semanis itu, tetapi setidak patut itu, hingga Khala yakin perginya dia dulu adalah tanda bahwa Tuhan tidak rida atas hubungan asmaranya dengan Mas Bintang saat itu. Mungkin ... bila terus dilangsungkan, dulu, Khala bisa membuat Mas Bintang khilaf, dan Khala larut di kekhilafan tersebut. Mungkin. Siapa yang tahu? Tapi juga 'mungkin', lelaki itu yang namanya tertulis di catatan jodoh dengan Khala, hingga di masa kini, setelah 7 tahun berlalu, kembali dipertemukan dengan kondisi yang jauh lebih serius dan menjanjikan daripada saat itu. Sampai-sampai .... Di sanalah Khala sekarang, lepas malam berlalu, paginya dijemput abang, pulang-pulang langsung disuruh pakai baju bagus kalau kata mama, pun wajahnya dirias. Segitunya. Khala deg-degan. Ini, sih, fix, lamaran. Ya Tuhan .... Papa dan mama sudah memakai baju terbaik, dua abang Khala pun sampai pulang, membuat Khala merasa tidak keruan, pintu rumah pun lebar dibukakan. Debarannya memang menyenangkan, tetapi juga bikin mulas. Duh! Hingga akhirnya, terdengar lantunan salam ... Khala panas dingin di kediaman. "Waalaikumsalam. Silakan, silakan masuk." Ya, Mas Bintang datang. *** 7 tahun lalu .... "Udah, Khal?" Khala ganti baju. Ya, waktu itu. Dia mengangguk. Pakaian basahnya sudah dia rapikan ke dalam paper bag, Mas Bintang juga sudah ganti pakaian. "Kita cari makan dulu, ya?" Lagi, Khala mengangguk. Dan kini dia jadi penasaran .... "Apa waktu pacaran sama yang sebelumnya juga Mas suka ajakin jalan-jalan sejauh ini?" Bintang menoleh. "Ini mesti dijawab atau bisa di-skip?" "Jawab, dong." Khala cemberut. "Atau pengin di-skip karena--" "Stop di situ, Khal. Jangan diterusin. Nggak ada 'karena' buat hal-hal menyangkut Nadia." Yeah, disebut. Mas Bintang malah tertawa. "Kok, malah cemberut gitu? Kalau nggak suka bahas soal mantan Mas, ya, nggak usah di-notice, Khal." "Bukan gak suka." "Berarti suka?" "Nggak juga. Aku cuma penasaran aja." Mas Bintang geleng-geleng kepala. "Jadi jawabannya apa?" imbuh Khala. Oh, iya, belum dia jawab tadi. Bintang pun berucap, "Iya, pernah. Tapi nggak sering, kok, apalagi waktu itu lagi zaman-zamannya Mas sibuk kuliah dan cari uang." Meski dengan Nadia, pacarannya lebih dari 4 tahun. Sosok yang menemani Bintang di kala susahnya. Sayang banget, Nadia nggak kuat. Khala manggut-manggut. Dia nanya soal itu karena di usia hubungannya dengan lelaki ini yang masih seumur jagung pun sudah diajak main jauh, mendadak kepo saja, bagaimana dengan yang dulu pacaran sudah lebih dari setahun. Itu dulu. Sekarang waktu membawa mereka pada situasi saat ini, di mana Bintang telah duduk manis di ruang tamu rumah Pak Wirya. Dulu, Bintang duduk di sini dalam rangka bimbingan skripsi, sedang sekarang .... Hal yang membuat dia berdebar, jauh lebih mendebarkan dari saat Bintang datang untuk menunjukkan ketertarikannya kepada putri sang dosen, dia sebut sebagai lamaran. Oh, papi dan mami duduk di satu sofa yang sama, lalu Bintang di sofa tunggal, sofa lainnya ada Pak Wirya dan istri, dua sosok lagi--lelaki yang bintang taksir adalah kakak-kakaknya Khala--ikut gabung di sini, sedang satu kursi lagi masih kosong, yakin itu disediakan untuk Khala. Well, jangan tanya di mana Bang Wala. Bintang sudah mengunci abangnya yang itu di rumah. Nakal, sih! Bang Wala ketahuan punya rencana jahat untuk menggoda Khala, entah kenapa ... Bintang cemas untuk saat ini. Walau katanya, cuma bercanda. "Ma, panggil Khalanya." Selepas berbincang-bincang saling mengenalkan orang di sana, Pak Wirya bilang begitu kepada istrinya. Bintang tegang maksimal. Percayalah! Sejak masuk ke rumah ini, ketegangan Bintang meningkat. Saat jabat tangan dengan dua abang Khala pun dia berkeringat dingin, diledek jadinya. Hari ini Bintang datang bersama mami dan papi, dia menyampaikan niat baiknya terhadap Khala, juga tentang ketertarikan yang masih bertakhta sejak lama. "Masya Allah ... cantik, ya, Pi?" Itu suara mami. "Pantas Bintang ngebet pengin sama yang ini aja," sahut papi. Pak Wirya dan istri terkekeh di situ, Bintang kikuk sekali. Sedang Khala ... memerah pipinya. "Tolong, Kak, bangkunya pindahin ke sebelah sini," tutur Pak Wirya kepada salah satu putranya, "kok, ya, Papa khawatir terjadi penyerbukan di antara mereka misal duduknya deket-deket begitu." Padahal jauh, lho! Khala makin merah padam, Bintang mesem-mesem. Bangku kosong milik Khala itu benar-benar dipindahkan dari posisi semula, makin jauh dari tempat duduk Bintang. Meski demikian, yang ada di sana tertawa. Dan karena jarak sekarang, justru Bintang jadi makin bisa melihat Khala tanpa harus curi-curi pandang dengan lirikan. Khala cantik banget, atau Khala tampak cantik karena dilihat oleh Bintang yang memang menyukainya sejak dulu? "Lihat sini, dong, Nak Bintang." Eh? Iya. Lagi dan lagi tingkah Bintang mengundang gelak tawa mereka. Dahlah! "Jadi, Khal ...." Mulai serius sekarang, Pak Wirya menerangkan kepada Khala di sana. "Laki-laki ini, Mas Bintang namanya, kakak tingkat kamu dulu di kampus, juga katanya sekarang satu kantor, ya, kalian?" Khala terdiam menyimak. Papa lanjutkan, "Naksir sama kamu. Pengin diseriusin katanya. Kemarin datang ke Papa, karena itulah Papa minta kesediaan Mas Bintang untuk membawa serta orang tuanya kemari kalau memang serius." Dan, dia datang. Dia memenuhi ucapan Pak Wirya, papa Khala. Sampai kini, dua keluarga duduk di sana. "Mas Bintang ini single katanya, kecuali kalau nanti kamu nerima niat baiknya. Belum pernah menikah, tadi KTP-nya sampai dikasih tunjuk ke Papa." Yang mendengar, terkekeh pelan. Khala makin nggak keruan deg-degannya. Menunduk khidmat, mendengarkan. "Usianya 28 mau 29 tahun, Khal. Sudah mapan dia bilang, punya usaha yang menjanjikan dan sejahtera secara finansial. Papa nggak paham cara kerjanya Mas Bintang, tapi tadi ditunjukkin juga sudah seperti presentasi dalam memasarkan produknya," papar Pak Wirya, lalu menatap orang tua Bintang di sana, "ya, Pak, ya?" Papi Alam tertawa, mengangguk. Memang tadi Bintang konyol sekali menurutnya, promosi besar-besaran di depan keluarga Pak Wirya ini. Segitunya menginginkan Senja Khala .... Bintang meringis. "Papa melihat semangatnya buat dapetin kamu, tapi kembali lagi ... ini untuk kamu, Khal." Detik itu, Khala mengangkat pandangan, dia bertatapan dengan sang papa, sejenak saja. Papa bilang, "Segala keputusan soal niat baik Mas Bintang dan keluarganya ini, Papa serahkan ke kamu. Silakan." Ah, ini terlalu mendebarkan. Ya Tuhan .... "Oh, ya ...." Papa berucap lagi. "Ini Pak Alam sama Bu Rana, orang tua Mas Bintang. Maaf, Papa kelupaan." Sambil terkekeh, juga meminta maaf kepada papi dan mami Bintang di sana. Ikutan terkekeh. Untungnya, mereka ramah sekali. Khala menoleh dan menyalami dua sosok itu. Ya Allah, dia juga lupa untuk sopan santun yang satu ini. Astagfirullah. "Sama anaknya nggak salaman juga, Khal?" Abang semprul malah meledek Khala. Namun, percaya, deh. Mas Bintang yang salah tingkah di sana. "Jadi, gimana?" Tentang laki-laki yang datang ke rumah, Khala menatap mata itu. Pun, bersinggungan sorotan matanya. Mereka bertemu dalam sebuah tatap yang mendebarkan. Dear, Hati Bisa, nggak, santai sedikit? Di detik Khala mengangguk malu-malu, saat itu Bintang ashdjskksjkjfhdhjjshshjkk! Sebagian teks menghilang terbawa arus kebahagiaan. Namun, kisah ini baru dimulai, kan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN