"Ma, bikinin kopi."
Tujuh tahun lalu, masih tentang Bintang yang mengejar Senja Khala di waktu itu.
Hari setelah wisuda, Bintang bertandang ke rumah pacarnya. Langsung disambut oleh Pak Wirya, dosen sekaligus ayahnya Khala. Bintang kikuk sekali, sebab itu pertama kali dia datang dengan status yang sudah bukan lagi mahasiswa bimbingan pak dosennya. Pasti akan dipertanyakan apa tujuannya bertandang ke sana.
Well, Pak Wirya paham Bintang suka kopi. Waktu itu, pas bimbingan kapan hari, Bintang pernah melunjak minta kopi alih-alih seragam air putih seperti suguhan teman-temannya.
Gimana, ya? Waktu itu ditanya mau minum apa, Bintang request kopi, yang lain bilangnya terserah. Itulah kenapa Pak Wirya menyuguhinya kopi hari ini. Hari kedatangannya. Tanpa Bintang request lebih dulu, padahal dia tadi mau bilang terserah.
Yeah ... Pak Wirya dulu sempat nanya, sih: Suka kopi? Bintang mengangguk dan senyum, juga bilang, "Tapi yang hitam, Pak."
Ngomong-ngomong ... ada Khala tidak, ya?
Dulu.
Hari itu.
"Gimana kemarin wisudanya?"
Eh, iya ... Bintang berdeham. Senyum ramah dulu. "Alhamdulillah, sukses, Pak. Cumlaude."
Pak Wirya mengangguk-angguk, datanglah kopi, disuguhkan di depan Bintang, lekas dia bilang terima kasih kepada ibunya Khala. Duh, makin grogi. Soalnya ... mama Khala ikutan duduk di situ.
Membuat jantung Bintang berdetak lebih giat, dag-dig-dugnya nggak nyelow, Bintang juga berkeringat.
Kok, parah, ya, damage-nya?
"Mm ... kopinya saya minum, ya, Pak, Bu."
"Oh, iya. Silakan ...."
Bintang langsung seruput. Panas! Namun, yang paling meresahkan ... ini pahit sekali. Sungguh! Bintang berdeham lagi, menatap ibu dan ayahnya Khala. Ketika sang ibu tersenyum, Pak Wirya justru tampak datar-datar saja.
"Manis, Nak?"
"Anu ... pahit, Bu." Bintang meringis, tersenyum kikuk, lagi.
"Sengaja nggak Ibu kasih gula," katanya.
Eh, kenapa?
Sebelum itu, terdengar suara dehaman Pak Wirya. "Ada perlu apa Nak Bintang kemari?"
Oh, iya!
Bintang sodorkan buah tangannya. Jujurly, dia bingung harus datang dengan membawa apa ke kediaman orang tua Khala, dulu, jadi apa saja yang ditaksirnya pantas diserahkan, Bintang membeli itu.
"Apa ini?"
Pak Wirya tampak menyelidik.
"Itu ... buat Bapak sama Ibu, semoga suka. Dan tolong diterima, ya, Pak?"
"Dalam rangka apa, Nak?" Kali ini ibunya Khala yang nanya.
Bintang makin deg-degan saja. Apakah maksud kedatangannya ke sini sudah terendus? Kok, mereka seperti sudah ....
"Itu, Pak ... Bu. Maaf sebelumnya." Bintang auto duduk tegak ketika lanjut bilang, "Saya tertarik sama Khala."
Paham ke mana arahnya, mereka tampak tidak terkejut, justru kalem mengangguk-angguk. Tanpa ada sesi menunduk, Bintang dengan lugas memaparkan bahwa ....
"Pertama kali ketemu Khala di kampus, di area belakang pas katanya Khala habis dari ruangan dosen, kebetulan saya lagi di situ." Bintang juga bicara itu tanpa ditanya, gaya pemaparannya pun sudah seperti pegawai yang menjawab pertanyaan interviu calon bos. "Masih di hari yang sama, ternyata Khala pesan ojol saya. Mm ... sambil ngampus, saya memang nyambi jadi tukang ojol juga, Pak, Bu."
Terus ....
Mereka khidmat mendengarkan. Ya sudah, Bintang lancar jaya berucap, "Karena ternyata Khala adik tingkat saya di kampus, dari situ kami jadi sering berangkat bareng. Awalnya memang karena Khala mesen jasa ojol saya. Dan ... kapan tepatnya, saya nggak tau, tapi sesudah itu Khala jadi tampak menarik dan saya tertarik, Pak, Bu. Begitu awal mulanya ... silakan kalau ada yang ingin ditanyakan."
Sekian presentasi Bintang, kurang-lebihnya mohon maaf, monggo kalau ada yang membuat penasaran, dituntaskan saja dengan pertanyaan.
Ehm!
Kira-kira demikian.
Hari itu ... Bintang datang dengan setelan rapi, kemeja putih dan celana hitam. Eh, persis yang mau lamar kerjaan. Bintang baru sadar kalau pakaiannya kaku begitu. Pun, rambutnya disisir klimis biar rapi. Dia bawa buah tangan. Dengan jaket hijau kenamaan ojolnya, disampirkan di motor. Tadi Bintang pakai itu juga, sekarang sudah dilepas.
Bicara-bicara ... Bintang bawa cincin di saku.
"Khala masih umur berapa, Ma? Kasih tau."
Bintang mencium aroma-aroma penolakan di sebelum diskusi lebih jauh. Yah ....
"Delapan belas, Pa. Mau sembilan belas sebentar lagi."
Bintang sudah tahu.
"Saya bisa nunggu, Pak, Bu. Lagi pula saya juga masih harus cari pekerjaan dan mapan untuk nanti datang lagi ke sini."
"Sebentar." Pak Wirya menyela, beliau pun tampak mengubah posisi duduknya. Menatap Bintang tepat di mata.
Di situ ada AC, tetapi Bintang berkeringat. Dulu ... dia masih awal dua puluhan, tepatnya sekitar 21 jalan 22 tahun kurang lebih.
"Bukannya kamu sudah punya pacar?"
Eh, Pak Wirya sampai tahu. Namun, pacar yang mana dulu, nih? Kabar itu ... soal Nadia atau Khala?
Kebayang bagaimana kakunya Bintang harus menjawab pertanyaan itu?
Ya, dulu.
Situasi sulit pertama yang nyaris gagal Bintang mengatasinya.
Namun, hari itu ... di mana Khala?
Hari setelah wisuda, dan saat itu Khala menghilang. Tertanda, Bintang yang kebingungan ada apa dan kenapa, hingga di mana letak salahnya?
Dulu.
***
Hari ini, Bintang seruput kopinya, minuman yang sama dengan tujuh tahun lalu, dengan kondisi ada Khala di sini, duduk di sisinya, di teras kontrakan gadis berjilbab hitam itu.
Telah Bintang tawarkan untuk hidup forever dengannya, tawaran kesekian, jawaban Khala masih sama ... gantung.
Namun, Bintang senyum. Tarik ulur yang mana Bintang berposisi menarik, sedang Khala mengulur, tampak lucu di matanya. Serasi, kan?
"Oh, ya ... tujuh tahun lalu, alasan berbobot apa yang bikin Bapak dalam waktu dekat mutusin buat suka sama saya?"
Akhirnya, Khala ajukan pertanyaan. Hal yang membuat dia merasa dijadikan ajang pelarian.
Namun, ... "Sebelum itu, apa nggak bisa kamu ganti sikap formalnya dengan sikap kamu ke Mas di tujuh tahun lalu?"
"Nggak bisa, Pak. Keadaan dan posisinya saja beda."
"Tapi orangnya masih sama, Khal." Bintang letakkan gelas kopinya. Menatap Khala.
"Next time. Sekarang jawab dulu pertanyaan saya."
Fine.
Bintang bilang, "Yang pertama, karena Mas merasa nyambung pas ngobrol sama kamu. Kesan kedua, kamu sosok yang sepertinya bisa menjaga dan menghargai komitmen."
"Tapi nyatanya, saya ngilang, kan, Pak?"
Bintang senyum. "Tapi nyatanya juga, sampai sekarang kamu nggak pacar-pacaran lagi, kan, Khal? Mentok di saya."
"Kok, pede banget?"
"Kenyataan itu."
Khala mencibir, melengos juga.
"Pokoknya, Mas klik di kamu. Kalau udah merasa klik gitu, nggak harus nunggu lama, besoknya pasti langsung tertarik. Apalagi kamu, kan, tau ... riwayat percintaan Mas sebelum sama kamu itu kayak gimana."
"Nggak tau, tuh!"
"Nadia selingkuh, Khal. Ini Mas kasih tau, hal yang paling fatal dalam sebuah hubungan ... kalau sama Mas, itu selingkuh. Dan nggak perlu banyak waktu buat move on dari orang peselingkuh. Jadi kamu jangan khawatir merasa dijadiin pelarian, nyatanya, kan, nggak gitu. Mas deketin kamu, ya, murni karena suka, bukan melarikan diri dari Nadia."
Sampai sini, lurus?
Benang kusut mereka.
Khala terdiam.
Yang lalu tangannya diraih Mas Bintang, ada cincin yang begitu saja disematkan.
"Kesempitan, ya, Khal?" Bintang terkekeh. "Ya udah, yang ini Mas bawa pulang lagi, besok Mas ganti."
Cincin itu, dia ambil lagi.
"Jangan ...."
"Gak pa-pa, nanti diganti sama yang--"
"Punya saya, kan, ini?"
Bintang menatap cincin yang kini ada di genggaman Khala, diambil dari cekalan jari Bintang, hingga Bintang melihat cincin itu Khala masukkan ke jari kelingkingnya.
"Nggak muat, sih ... longgar. Tapi barang yang udah dikasih, nggak boleh diambil lagi."
Eh?
Tunggu.
"Jadi ... berarti--"
"Iya." Khala memangkas. "Cincinnya aku terima, makasih." Membuat senyum terukir di wajah tampan itu. "Tapi, Pak ... tolong jangan tersinggung. Niat baiknya saya hold dulu, akan di-acc kalau ternyata saya juga klik di Bapak."
Sebab mau dikata hubungan dulu belum selesai pun, kan, sudah dijeda tujuh tahun lamanya. Mustahil kalau tidak ada yang berubah, tetapi tidak dipungkiri kalau masih ada dari saat-saat itu yang tertinggal apik di hati. Namun, perlu dipastikan lagi.
Dan, Khala minta itu.
"Sure." Mas Bintang kelihatan semringah, setidaknya daripada hari kemarin. "Karena tawaran yang Mas kasih juga bukan buat durasi setahun dua tahun, tapi selamanya. Tentu saja kamu harus mempertimbangkan dengan matang, tapi pastikan Mas diterima, ya, Khal? Kali ini, Mas maksa. Harus diterima. Jangan sampai kamu nyesel, yang kayak Mas dengan spek sesempurna ini--"
"Stop!"
"... cuma ada satu."
Khala geli mendengarnya. Pun, Mas Bintang terkekeh.
Seneng banget kayaknya, ya, Fernando kita yang satu ini, ketika tawarannya mendapatkan lampu hijau acc dari Rosalinda. Duh!
Bisa-bisanya ... Khala bersemu.
Ehm!
"Sekarang udah beneran clear, kan?" Khala niat mengusir.
Mas Bintang menggeleng. "Clear-nya kalau kamu udah malam pertamaan sama Mas, Khal."
Dihhh!
Khala mendelik.
"Makasih kopinya, Khal." Sambil terkekeh. "Mas pulang dulu."
"Iya, silakan."
"Apa mau--"
"Nggak!" Khala waspada. Dia bersiap merapikan sesuguhan yang diletakkan di meja teras. Jangan sampai masnya ngulur waktu bertamu.
Karena sungguh, Khala takut ....
"Lima menit, ya? Duduk sini dulu sampe kopinya hanyut ke lambung."
Dan itu konyol!
"Pak--"
"Janji lima menit, Khal." Bintang duduk lagi, senyum juga, ditatapnya Khala. "Serius cuma lima menit, Khal. Karena kalo lebih, Mas juga nggak berani ... barangkali cucu papi, kamu lahirkan nanti."
Ish ....
"Ya, sok aja kalo berani."
WHAT THE HELL, KHALAAA!
"Jangan gitu," kata masnya.
Nggak tahu kenapa, tiap kali hal ini terjadi, Khala tertarik buat jadi sayton. Tatapannya menantang lelaki itu, padahal, kan, tidak boleh demikian. Khala juga tahu.
Hingga ... paham ke mana arahnya, Bintang berdiri, pamit, meski ini belum lima menit. Sebab Bintang sadar bahwa sepertinya hari ini ... ya, khusus hari itu, iman Bintang sedang setipis tisu.
"Lima menitnya, Pak?"
Ah, Khala ....
Bintang sudah pakai sepatu, dia bilang, "Ditabung aja, Khal. Simpan buat nanti kamu bener-bener saya tandai."
Eh ....
Gimana, gimana?