"Jadi, waktu itu kamu liat Nadia pas acara Mas wisuda, ya?"
Benar-benar datang berkunjung ke kontrakan Khala, niat Bintang ingin meluruskan perihal perginya Khala di 7 tahun lalu. Bila ditanya, kenapa baru ingat sekarang, setelah lewat 7 tahun itu, tentu karena baru saat-saat ini fokus Bintang ke arah sana. Kalau kata Khala, sih, Mas Bintang tidak benar-benar mencari. Dulu.
"Pas kalian pelukan juga saya lihat, kok."
Bintang berdeham. Iya, sih. Memang sempat pelukan. "Maaf soal itu."
"Gak pa-pa, toh sudah basi, Pak." Khala seruput teh hangatnya. Duduk berdua di teras, tatapan Khala lurus ke depan.
"Ya ... Mas nggak membenarkan soal pelukan itu, sih. Tapi kamu juga lihat siapa yang mulai, kan? Mas nggak balas pelukan itu, Khal. Mungkin pas kamu ngeliat, posisinya Mas lagi megang bahu Nadia, ya? Seinget Mas, itu waktu Mas dorong biar pelukannya lepas."
"Nggak tau, lupa." Khala letakkan cangkir tehnya. "Toh, itu udah lewat 7 tahun lalu, Pak."
Dari tadi tatapan Bintang tertuju di tiap gerak-gerik Khala.
Well ... "Udah clear, kan, ya?"
Mereka bertatapan. Tahu-tahu Mas Bintang memegang lengan Khala, ditatap jari-jari manisnya, Khala risi. Dia tarik lengannya sampai terlepas.
"Masih sama."
Apanya?
Khala menatap sosok itu dengan waspada, hingga begitu saja ... tatapannya jatuh di sebuah benda yang Mas Bintang keluarkan dari sakunya.
"Tujuh tahun lalu, Mas beli ini, Khal."
Cincin.
Khala melihat benda berkilauan itu di sana.
"Entah muat apa nggak di kamu, Mas beli dengan mengira-ngira aja. Tapi diliat-liat, jari kamu sama yang Mas perhatikan dulu nggak banyak berubah ... mau coba pake?"
Khala terkesiap.
"Atau mau denger latar belakang dari cincin ini dulu sebelum Mas pasang di jari kamu?"
Oh, itu ....
Dulu.
"Kalau cuma pegangan tangan, boleh, nggak, Khal?"
Nggak boleh, Akhi!
Ini dulu.
Namun, Khala di usia itu mengangguk malu-malu. Nggak pa-pa, kan? Khala memang anak pondokan, tetapi mendapat godaan macam Bintang Gemilang Semesta, dia oleng dari yang semula pacaran pun rasanya nggak mau melakukan.
Wah ... berarti Bintang ini sayton, ya?
Khala menunduk melihat apitan jemari di sela-sela jari tangan kekasihnya. Iya, memang Khala tahu dalam Islam, pacaran itu tak boleh, apalagi sampai bergandengan tangan, bukan mahram, dosa, dan lain halnya. Itu juga mungkin alasan mengapa Tuhan mematahkan hatinya di waktu yang belum lama berpacaran.
Terlalu cepat menyadarkan Khala bahwa kesenangan dalam percintaan yang bukan mahram adalah semu. Ya, gitu. Menurut Khala di usia 18 tahunnya dulu.
"Khal."
"Hm?"
Mereka berjalan-jalan di taman area monumen nasional, belum menentukan pilihan tempat untuk mereka duduki. Begini saja dulu.
"Jari-jari kamu imut, ya?"
"Orangnya juga imut, kan, Mas?"
Langsung Bintang tatap wajah Khala, eh, Khalanya malu. Dia menunduk dengan senyum khasnya.
"Tapi kayaknya karena kamu masih kecil, deh, Khal."
Detik itu Khala lepaskan cekalan tangan Mas Bintang, ngambeknya lucu. Nggak suka disebut masih kecil katanya. Kan, memang sudah besar 18 tahun itu. Bintang malah tertawa.
Hingga akhirnya mereka menemukan tempat duduk, lokasi yang teduh, juga cocok untuk pacaran. Ehm!
"Rumah Mas jauh, ya?"
"Kita sama-sama orang ibu kota sini, kok," sahut Bintang.
"Tapi ujung ke ujung, kan?"
Bintang senyum.
"Berarti Mas udah mau pulang, ya? Skripsinya udah mau selesai, kan?"
"Kenapa emang? Takut kangen, ya, kalo jauhan?"
"Dih ...." Pipi Khala merah jambu. Iya, sih.
Bintang adalah pacar plus cinta pertama Khala dalam arti asmara, ya. Kalau general, cinta pertama Khala itu Pak Wirya, papanya.
Beda sama Bintang, sebelumnya dia pernah pacaran, Khala juga tahulah siapa itu mantannya.
"Nanti Mas bisa main ke rumah Pak Wirya, hitung-hitung silaturahmi alumni mahasiswa ke dosennya."
"Dengan maksud terselubung gitu, ya?" cibir Khala.
Mas Bintang tertawa. "Ya, gimana lagi? Mau langsung dilamar, kamunya belum siap." Bintang mainkan jemari Khala. "Masnya juga belum siap, sih."
Dia alihkan tatapannya pada wajah Khala, perempuan itu juga balas menatapnya.
"Nggak mungkin lamar anak Pak Wirya dengan kondisi finansial yang masih kayak gini."
"Tapi sebenernya keluarga aku nggak mandang ekonomi orang, kok."
Bintang senyum. Meski demikian, orang tua pasti berharap putrinya dilamar oleh lelaki yang sudah mapan, bukan? Setidaknya, punya pegangan kerjaan. Kalau Bintang ... dia merasa belum punya bekal apa-apa. Cuma modal tanggung jawab saja, termasuk setia yang menjadi kebolehannya. Karena lahir dari perkawinan penuh cinta Papi Alam dan Mami Rana pun tidak cukup mengartikan bahwa Bintang juga orang berpunya, dia menilai dirinya masih miskin.
"Pokoknya Mas mau sukses dulu, Khal. Selain nanti sebagai cowok yang meginginkan anaknya, Mas juga mau nunjukin diri sebagai mahasiswa yang dulu pernah diajar sama papa kamu ini, sukses masa depannya." Seserius ucapan, tatapan Bintang juga sama seriusnya. "Yang penting Mas udah ngantongin hati kamu, nih, ya. Bener mau sama Mas, kan?"
Khala mengangguk dengan polosnya.
Di situ Bintang senyum dan dalam hati bertekad, fix, habis wisuda nanti, Bintang mau beli cincin, mau datangi rumah Pak Wirya, setidaknya buat nitipin Khala, ingin menunjukkan keseriusannya, meski mungkin jawaban Pak Wirya tidak membolehkan anaknya pacaran, tetapi kalau tahu bahwa Bintang seserius ini, setidaknya kelak Khala akan dijaga untuk Bintang seorang, kan? Hingga tiba waktunya Khala melewati usia 23 tahun, di situ mungkin Bintang sudah punya bekal, mungkin bisa diteruskan ke tahap seserius lamaran. Mungkin. Dan Bintang tidak sabar.
Urusan pacaran hari ini, yang sembunyi-sembunyi ini, bisa diatur nanti. Yang penting Khala sukses Bintang tandai, ini cewek nggak boleh dikemanakan selain dikepada-Bintangkan. Sampai sini paham?
Begitu cara main Bintang, di saat dia merasa sudah menemukan sosok yang klik di hatinya.
Oh, ya ....
Dulu.
7 tahun lalu.
Saat di kediaman Semesta.
"Beneran nggak mau nerusin bisnis Papi?"
"Bintang mau yang beda, Pi."
Agak lain memang.
"Tapi kamu masuk kualifikasi kriteria penerus studio Papi, lho."
"Buat Bang Wala ajalah."
Papi mencebik. "Ya ... abang kamu yang itu emang paling cocok segi wajah, sih. Cara dia ngomong depan kamera juga udah bagus. Sayang aja ... reputasinya lagi jelek akhir-akhir ini. Lagi tahap filtrasi dan pemulihan nama baik dulu."
Tentu, karena Cakrawala--abangnya Bintang yang itu--playboy cap buaya darat labelnya. Merusak image di materi-materi podcast papi.
"Ada Galak, kan?"
Waktu itu Bintang pulang ke rumah orang tua, saat mendekati masa-masa menuju wisuda. Tiap pulang selalu ditawarkan jadi penerus bisnis papi.
Sayang, Bintang nggak tertarik.
"Ikut di Semesta Media aja sama Abang, Bin."
Nah, kebetulan ada Bang Langit di sini.
"Mendekati sama minat Bintang, sih, Bang. Cuma ... nggak minatnya, tuh, karena masih golongan bisnis keluarga, Bintang kurang suka."
Eh, eh, papi malah geram dan bilang, "Ya udah, kamu Papi pecat dari keluarga Semesta ajalah biar nggak ada alasan bisnis keluarga dan blablabla."
"Pi!" Ditegur mami, diusap-usap bahunya sama mami. Dilihat-lihat, papi ini lemah banget kalau sudah urusan mami, langsung anteng dan emosinya mereda.
Memanglah, ya, apa pun jenis sensinya papi, mami obatnya. Ampuh, Sis!
"Oh, ya, nanti wisuda ... Bintang mau ngenalin seseorang ke kalian."
Ehm!
Ngomong-ngomong, mereka sedang makan malam.
"Seseorang yang namanya Senja Khala itu, ya?"
Hell!
Bintang langsung mendelik garang ke wajah abangnya. Bang Langit malah menyeringai. "Nggak ada yang nggak Abang tau."
Dan itu mengerikan!
Bang Langit dengan santuy menyusut mulutnya, kelihatan elegan, kadang Bintang kesal sama perangai abangnya yang ini, tetapi apalah daya ....
"Wah ... ada fotonya, nggak? Mami lihat, dong!"
"Jangan dibocorin sekaranglah!" tukas Bintang, kesal.
Papi malah tertawa. Bang Langit juga. Tak lama, datanglah Bang Wala.
"Jangan ngelangkahin guelah, Bin. Lagian lo masih muda, main-main dulu sana--ampun, Bang! Canda aja ini!"
Yup, Bang Wala ciut jika Bang Langit sudah unjuk ototnya. Bintang tertawa mengejek.
"Kamu kalo mau sesat, sendirian aja, Wala. Nggak usah ajak-ajak Bintang," kata papi.
"Pi!"
Lagi, ditegur mami. Memang, nih, Bang Wala itu anak kesayangan mami. Beuh! Percaya sama Bintang.
Dan itu dulu.
Bintang senyum-senyum sendiri di kamar sehabis obrolan tadi, besoknya dia mau beli cincin selepas malam itu Bintang cek saldo rekening. Hasil ngojol, tuh. Bintang kumpulkan. Mana tahu akan dipakai untuk membelikan simbol ikatan buat cewek yang bukan Nadia.
Ya, semula ... Bintang nabung buat Nadia.
Yang Bintang syukuri tidak jadi dengan gadis itu, yang tidak menghargai komitmennya.
Dulu.
Angan-angan Bintang ... di hari wisudanya, dia akan memublikasikan siapa perempuan yang ditaksirnya kepada keluarga Semesta, lalu tahap berikutnya, Bintang mau datang ke rumah Pak Wirya, memberi tahu perihal perasaannya pada anak dosen Bintang yang itu.
Well, Pak Wirya tidak menjadi bagian dosen yang hadir di acara wisuda Bintang.
Oh, ya, angan-angan Bintang sudah tinggi dan sangat tertata malam itu. Dia sudah terbayang akan melakukan apa dan bagaimana.
Tanpa tahu bahwa Tuhan punya rencana ... tentu, yang lebih apik dan kukuh dari rencana Bintang di sana.
Hancur sudah.
Rencana Bintang ibarat debu, sedang rencana Tuhan adalah anginnya.
Kebayang?
Sampai akhirnya, 7 tahun itu berlalu.
Kini ....
"Cincinnya masih Mas simpan, Khal."
Bahkan masih bisa dia bawa--cincin yang dulu dibelinya untuk Khala di hari Bintang wisuda--sekarang diangsurkannya cincin itu kepada Khala. Pemiliknya.
"Nggak pernah Mas terpikir buat buang, jual, apalagi ngasih cincin ini ke orang yang bukan kamu."
Itu, kan, sejak awal memang Bintang nobatkan untuk Khala. Punya Khala. Bintang mempersiapkannya.
Di sini ... saat ini ... Khala kehilangan kosakatanya. Menatap benda berkilau itu, yang Mas Bintang sodorkan padanya.
Tapi ....
"Kenapa baru sekarang, Pak?"
"Ngasih cincin ini?"
Khala menatap mata itu, mata yang juga menatapnya. Dia menggeleng dan bilang, "Kenapa baru sekarang paham di mana letak saya ninggalin Bapak?"
Oh, itu ....
Bintang senyum. "Kayaknya sehari aja nggak cukup buat bahas soal kita di tujuh tahun lalu, Khal." Dia diam sejenak. "Kita butuh waktu yang lebih dari hari ini, besok, atau lusa ...."
Khala mengernyit.
"Mungkin, kalau kamu penasaran ...." Mas Bintang bilang, "Live with me forever, Khal. I'll tell you everything, tentang kita di tujuh tahun lalu, mau?"