Amarah Raihan

1745 Kata
"Bertahanlah ibu dan ayah, aku akan pergi menolong kalian." Mereka langsung menghampiri mobilku dan mengetuknya dengan sangat pelan. Tok! Tok! Tok! Aku membuka sedikit kaca mobilku dan menatap mereka dengan datar. "Ada apa?" tanyaku dingin. "Maaf Tuan, saya ingin bertanya apakah kami mengendarai motor atau mobil?" tanya Varo dengan sopan, rasanya aku ingin terkikik geli mendengar suara sok sopannya itu. Tapi aku tetap menahan semuanya untuk menjaga imageku di hadapan mereka semua. "Kita akan membawa tiga mobil, kau dan Edwin satu-satu menjadi penanggung jawab di mobil itu. Bawa beberapa pasukan yang sekiranya sangat kuat, karena kita akan menghadapi banyak sekali orang-orang yang kuat," ucapku datar. "Baik Tuan, saya akan memberi tahu Edwin tentang hal itu." cari pun akhirnya hendak meninggalkan mobilku namu segera ku tahan. "Tunggu, jangan lupa aktifkan bluetooth telponmu dan Edwin karena itu akan masuk ke dalam audioku. Kalian wajib selalu hati-hati dan berjaga-jaga disana, karena mereka semua sudah memperketat seluruh bagian rumah dengan banyak penjaga." "Jangan lupa selalu berhati-hati disana, karena satu kali saja kita lengah mereka akan membuat kita tertembak dengan hitungan detik. Kerjakan yang kalian bisa dan selalu saling menutupi satu sama lain," pesanku kearah Varo. "Lakukanlah brefing dengan mereka semua, kau sudah taukan untuk masalah bagaimana cara mengepungnya?" tanyaku dengan pelan. "Saya tau, Tuan." "Bagus itulah gunanya kau sebagai pemimpin Medan perang. Semangat! Saya percayakan mereka semua padamu. Dan jika ada yang terluka jangan segan langsung membawa mereka ke rumah sakit," ucapku. "Baik Tuan, kalau begitu saya permisi dulu. Saya akan mengadakan brefing sebentar dengan mereka semua," pamit Varo sambil meninggalkan mobilku. Aku langsung menutup kaca mobil dan menunggu supir pribadiku dan beberapa anak buah yang sedang brefing bersama Varo. Tring! Tring! Tring! Aku langsung melihat Id celler yang masuk kedalam handphoneku. "Vania? Ada apa dia menelponku?" tanyaku dalam hati. Aku langsung mengangkat telpon tersebut. "Halo." "Halo Tuan, maaf mengganggu waktunya sebentar. Tuan apakah benar jika kau dan beberapa anak buahmu akan menyerang salah satu rumah anggota The King?" tanyanya dengan nada khawatir, mendengar pertanyaannya aku langsung mengernyitkan dahiku bingung. "Ada apa sebenarnya? Kenapa dia begitu khawatir hari ini?" batinku. "Iya, saya dan beberapa anggota Galaxy akan menyerang mereka. Ada apa?" tanyaku dengan nada dingin. "Baiklah aku akan mengirim satu mobil kesehatan untuk kalian. Mobil itu aku letakkan seratus meter dari lokasi kejadian. Jadi, anggota yang terluka atau siapapun yang terluka bisa langsung di masukkan kedalam mobil itu." "Tidak usah repot-repot, saya sudah mengatur semuanya." "Saya tidak terima penolakan Tuan, ini bukan untuk Tuan. Melainkan ini semua ku berikan untuk anggota Galaxy." "Baiklah terserah anda saja, Nona Gerald." "Tolong share lokasi yang akan kalian datangi nanti, biar aku mengirimkan mobilnya." "Baiklah akan saya kirim lewat pribadi chat. Tunggu saja," ucapku dengan nada dingin. "Terima kasih Tuan, kalau begitu aku tutup ya. Sekali lagi terima kasih," ucapnya sambil menutup telponnya secara sepihak. "Ada apa sebenarnya? Kenapa dia begitu sibuk mendengar bahwa kami akan menyerang mereka?" tanyaku dalam hati. "Apa ada salah satu dari mereka yang Vania suka? Aish ada apa dengan kau ini Raihan, kenapa kau malah kepikiran oleh ucapan Vania tadi. Sudahlah tidak usah di perpanjang urusan itu semua, kau harusnya memberikan alamatnya dan fokus menyerang mereka saja. Sampingkan Vania dia hanya sekertarismu," gumamku. Tak lama kemudian mereka semua masuk kedalam mobil dan duduk di tempatnya masing-masing. Aku melirik mereka semua dengan sekilas, dan membiarkan mereka masuk kedalam. "Maaf, Tuan sudah membuat anda lama menunggu. Kami baru saja selesai brefing dengan Mr. Benedict," ucap Rendi dengan sopan. "Sial, kau membuat brefing semakin lama ternyata Varo. Awas saja jika nanti orang tuaku kenapa-napa kau orang pertama yang ku habisi setelah mereka," gumamku dalam hati, aku langsung menampilkan senyuman tipisku kearah mereka dan kembali fokus kearah ponselku. "Tidak masalah, sekarang cepat jalankan mobilnya dan pergi ke jalan yang sudah ku masukkan di maps mobil. Kita harus segera pergi," ucapku sambil mengirim lokasi ke Vania. "Baik Tuan," jawab Rendi sambil menjalankan mobilnya. Kami pun langsung pergi kearah rumah yang di tuju, jarak dari markas kerumah mereka ada sekitar 10 menitan untuk sampai kesana. Menurutku itu adalah jarak yang lumayan dekat dengan markas dan sangat mudah di jangkau. Banyaknya semak belukar di daerah sana menambah kemudahanku untuk menyerang mereka secara diam-diam. Rendi melajukan mobilnya di atas kecepatan rata-rata, aku langsung menghidupkan bluetooth telponku yang menghubungkan ke Varo dan Edwin. "Edwin, Varo!" panggilku. "Iya Tuan," jawab mereka secara berbarengan. "Oke bagus, tetep jaga komunikasi sampai disana. Jangan sampai ada sedikitpun yang terlewat. Saya akan mengepung mereka dari arah belakang, kalian mengepung dari arah depan." "Tapi, Tuan-----" ucap Edwin dan langsung terpotong oleh ucapanku. "Tidak usah khawatir. Saya akan baik-baik saja, mereka memperketat penjagaan di depan. Untuk di belakang hanya ada beberapa orang saja," ucapku kepada mereka berdua. "Baiklah apapun yang terjadi kita akan tetap bersama. Kami selalu bersamamu Han, berhati-hatilah disana dengan mereka." "Btw apakah anda memesan sebuah mobil medis?" tanya Varo dari sebrang sana. "Tidak, gue gak pesen mobil medis. Itu yang ngasih Vania. Nanti gue jelasin, sekarang kita fokus dulu nyelamatkan orang tua gue," ucapku sambil melepaskan sealtbeat mobil yang terpasang di tubuhku. "Okey," ucap mereka berdua secara bersamaan. Aku terus memperhatikan gerak-gerik mereka dari dalam mobil dan bersiap-siap untuk mengepung mereka semua. "Turun semua dari mobil dan mengendap-endap kearah semak-semak yang ada di sekitar rumah itu. Tidak ada yang mengetahui kita datang, dan mereka juga tidak memiliki CCTV di sekitar rumahnya. Berhati-hatilah karena mata mereka sangat tajam," titahku. "Baik Tuan," jawab mereka semua. Aku dan anak buah yang ada di mobilku langsung turun ke luar dari mobil dan berjalan mengendap-endap kearah semak-semak belukar yang ada di sekitar rumah itu. "Tahan, saya akan mengawasi gerak-gerik mereka semua. Jika kata saya tembak, kalian harus cepat menembak kearah mereka. Pokoknya selalu ikuti instruksi saya," ucapku dengan datar. "Baik Tuan," ucap mereka semua. Aku terus memantau gerak-gerik mereka dari semak-semak belukar yang ada di sekitar rumah itu. "Sial mata mereka sangat tajam sekali," gumamku kesal. "Apakah ada masalah?" tanya Varo dari sebrang sana. "Bagaimana keadaan di bagian depan?" tanyaku sambil terus memantau mereka semua. "Bagian depan sudah lumayan aman. Apakah di belakang ada yang tidak beres?" tanya Varo. "Tidak apa-apa, kita akan melakukannya sekarang!" seruku. "Tembak!" instruksiku. Dar! Dar! Dar! Kami terus menembakkan peluru kearah lawan hingga banyak korban jiwa dari lawan. Kami terus mengendap-endap masuk kedalam rumah, dan menembakkan peluru secara menyumput kearah lawan. Aku dan yang lain berlari masuk kedalam rumah dan menembakkan peluru kepada siapapun yang bertemu denganku. Hingga akhirnya kami bisa menerobos masuk ke lantai dasar rumah itu. Setelah berhasil masuk kedalam, tidak lama kemudian Varo dan Edwin menghampiriku. "Orang tuamu ada di atas, kita harus bergegas keatas dan menyelamatkan mereka. Kita berpencar, aku kekanan, sedangkan kau dan Edwin kearah kiri. Kita akan mengepung mereka semua," ucap Varo. Kamipun mengikuti semua perintah dari Varo, kami semua menjadi dua bagian. Setelah selesai berada di tempat masing-masing, Varo dan timnya langsung menembakkan pelurunya kearah semua penjaga yang ada di dalam ruangan itu. Semua orang yang disitu langsung terkejut melihat tembakan dari Varo. Aku langsung melihat keadaan kedua orang tuaku dan menatapnya dengan nanar. Aku langsung mengepalkan tanganku dengan kuat, "Tak punya hati kau Rick! Orang tuaku kau siksa dengan luka memar di badan mereka!" "Jika orang tuaku bisa seperti itu, maka kamu harus membayarnya dengan nyawamu sendiri!" geramku dalam hati. Aku langsung beralih menatap Fredrick, lalu Fredrick langsung menatap ku dengan tatapan terkejutnya. Aku langsung menyerangnya dan melumpuhkan Fredrick dengan cepat. Semua anak buahnya yang tersisa maju untuk membunuhku, tapi aku langsung bergerak mundur dan berdiri di samping kedua orang tuaku. "Jika ada yang berani maju satu langkah saja, Tuan kalian akan mati di tanganku!" seruku sambil menodongkan pistol kearah kepala Fredrick yang ada di bekapanku. "Lepaskan Tuan kami!" ucap seseorang yang ada di ujung sana, mendengar teriakan dari seseorang itu Varo langsung tertawa dengan kencang. "Lepaskan? Tidak semudah itu. Jika kalian berani berbuat, kenapa kalian tidak bisa berani bertanggung jawab? Kalian saja berani membuat orang tua kesakitan! Dan kalian minta semudah itu di lepaskan? Jangan harap! Tembak mereka!" seru Varo.Semua anak buahku menembak mereka semua, tidak ada satupun perlawanan dari mereka semua. Aku tersenyum sinis dari arah belakang Frederick. Edwin dan beberapa anak buahku langsung melepaskan borgol yang ada di tangan kedua orang tuaku dan melepaskan mereka berdua. "Obati mereka ke mobil kesehatan. Setelah kau mengobatinya langsung bawa ke dalam mobil Raihan," bisik Varo. Edwin hanya menganggukkan kepalanya dengan pelan dan meninggalkan tempat itu dengan cepat. "Masih mau melawanku?" tanyaku dengan nada dingin. "Hahahaha saya tidak pernah takut dengan kalian. Kalian hanyalah seseorang yang lemah jika sudah bertemu dengan The King," ucapnya sambil meremehkan kami semua. "Well, hari ini tapi kami bisa membuktikan kalau kami yang lebih hebat dan lebih keren dari kalian. Kalian kalah satu langkah dari kami, lihatlah semua anak buahmu. Mereka semua sudah mati di tangan kami. Jadi, jangan pernah kamu merasa hebat jika memang kamu belum hebat." "Kami tidak akan kalah!" ucapnya dengan sangat tegas. Aku langsung melemparnya kearah anak buahku, mereka dengan sigap langsung menangkapnya dan memasangkan borgol ke tangan dan kakinya. Aku tersenyum sinis kearahnya, dan menodongkan pistol kearah kepalanya. "Apakah kau tetap ingin hidup setelah ini? Jika memang ingin hidup saya akan melepaskanmu dan hidup menderita. Tapi, jika kau ingin mati tidak masalah. Saya akan membunuhmu sekarang juga dengan pistol kesayangan saya ini," ucapku sambil meniup depan pistolku di hadapannya. "Bunuh saja aku. Buat apa aku hidup, jika semua anggotaku kau bunuh! Tapi, ingat satu hal. The King akan tetep hidup selamanya!" teriaknya di hadapan mukaku. "Wah berani melawan ternyata," ucapku sambil memutar pistolku dengan pelan dan memasukkannya ke dalam saku celanaku. Bugh! Satu pukulan mendarat mulus di pipi sebelah kirinya. "Itu adalah hadiah awal bagiku karena kau mengganggu kehidupan nyamanku!" Bugh! "Itu hadiah kedua karena kau sudah menculik orang tuaku!" Bugh! "Itu hadiah karena kau telah mengganggu pekerjaanku!" Bugh! Bugh! Bugh! "Itu adalah hadiah karena kau menyiksa orang tuaku!" Aku melihatnya dengan tatapan dingin, sudut bibirnya sudah terlihat mengeluarkan darah. Matanya sudah tak sanggup untuk terbuka, aku tersenyum licik di hadapannya dan melihat kearah sekelilingku. Ada seseorang yang ternyata telah membuntuti kami, aku langsung berseringai kecil di hadapannya. "Bunuh dia Varo!" seruku. Varo langsung menembakkan pelurunya kearah jantung Fredrick dan tak lama kemudian ia langsung menghembuskan nafas terakhirnya. "Ada seseorang yang melarikan diri Tuan," lapor salah satu anak buahku. "Biarkan saja. Saya sudah yakin ia akan mengadukan semuanya kepada atasannya. Tidak usah di pusingkan, ini adalah peringatan awal yang saya buat untuk mereka. Siapapun yang berani melukai atau menyiksa orang-orang di sekeliling saya akan berakhir sama dengan mereka semua!" ucapku dengan sangat tegas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN