Michel Adnan Raihan
“Edwin keruanganku sekarang juga,” ucapku dingin kepada seseorang yang ada di sebrang sana.
“Baik Tuan,” balas seseorang dari sebrang sana dan menutup secara sepihak telpon dariku. Setelah telpon di tutup secara sepihak aku langsung menatap datar ke arah beberapa tumpukan berkas kantor yang sangat membosankan ini. Tak lama kemudian suara ketukan pintu dari arah depan terdengar ke dalam ruanganku.
Tok! Tok! Tok!
“Masuk!” teriakku dari dalam ruangan. Mendengar teriakanku dari dalam ruangan Edwin langsung menghampiriku dengan tergesa-gesa dan menundukkan kepalanya kearahku.
“Mohon maaf, ada apa Tuan memanggil saya?” tanya Edwin sambil menundukkan kepalanya.
“Duduklah di sofa itu dulu, aku akan membereskan ini dulu dan berbicara denganmu.”
“Tapi Tuan------“
“Saya tidak terima penolakan,” ucapku dengan tegas. Edwin yang mendengar jawabanku langsung duduk cepat ke arah sofa kecil yang ada di ruanganku. Melihat tingkah lakunya aku tertawa kecil di balik berkas yang sedang k*****a.
“Tidak berubah,”desisku dengan pelan. Aku langsung menutup berkas itu dengan kasar dan berjalan ke arah kulkas yang ada di ruanganku. Aku mengambil dua kaleng minuman bersoda dan beberapa makanan ringan yang ada di berangkas makananku, lalu menghampirinya.
“Santai saja, tidak perlu gugup seperti itu Win. Kau adalah temanku, anggap saja hari ini aku memanggilmu sebagai teman bukan sebagai atasan. Sekarang kau harus menatap mataku jangan menunduk seperti itu,” ucapku sambil menyodorkan satu buah kaleng minuman kearahnya.
“Tidak pantas seorang bawahan menatap atasannya sebagai teman,”jawabnya dengan pelan.
“Kau berani membantahku?” tanyaku dengan dingin.
“Tidak Tuan,” cicitnya dengan pelan.
“Dengarkan perintahku dengan baik. Mulai sekarang anggap aku sebagai sahabat lamamu lagi, jangan pernah kamu menundukkan kepalamu ketika berbicara denganku, jangan pernah berbicara baku dengan bahasa saya dan anda.” Mendengar perkataanku barusan Edwin langsung membelalakkan matanya dan melotot kearahku.
“Nah gitu dong berani natap kearah gue, hahahaha. Nih minum,” ucapku sambil membuka sekaleng soda dan memberikan kaleng soda itu untuknya.
“Kau mengajak berteman denganku tapi nadamu seolah-olah ingin membunuhku secara perlahan,” dumel Edwin.
“Oh ayolah, kapan lagi lo bisa berteman dengan orang pintar, kaya, dan tampan seperti gue ini?” tanya kerahnya, ia langsung menatapku dengan tatapan jengahnya. Mendapatkan perlakuan seperti itu aku hanya tersenyum kecil dan meminum air soda itu dengan pelan.
“Sudahlah lupakan saja masalah yang tadi. Gue mau tanya sama lo, lo mau kuliah lagi gak?” tanyaku dengan pelan, Edwin yang sedang minum air soda itu langsung tersedak dan terbatuk-batuk di depanku.
Khuk! Khuk! Khuk!
“Dasar tua bangka baru saja gue bertanya seperti itu, masa lo harus tersedak seperti itu di depan gue. Sungguh memalukan,” ucapku dengan kesal.
“Ini bukan masalah tua atau mudanya, gue kaget denger permintaan lo yang tiba-tiba kayak tadi. Kerasukan setan apa lo ngajak gue kuliah lagi? Lo kayaknya salah makan tadi pagi, coba gue tanya sama Varo dulu tadi pagi dia ngasih apa ke lo.” Edwin langsung mengeluarkan handphonenya dan mengetik nama Varo di kontaknya.
“Oh ayolah, gue ngajak kuliah ini beneran bukan salah makan atau ada maksud lain di dalamnya. Gue pengen bisa hidup bebas kayak orang lain, kuliah, main bareng kawan, nongkrong bareng pacar, ngelawan dosen, ikut organisasi , dan ikut Unit Kegiatan Mahasiswa,” jawabku dengan santai.
“Seharusnya lo taulah kita ini bukan orang biasa, banyak musuh yang mengincar orang-orang di sekitar kita. Kalau misalnya kita balik lagi kuliah kantor lo siapa yang ngurus? Kan lo lagi proses pembuatan senjata baru tahun ini, banyak proyek yang lagi lo kejer tahun ini. Gue gak mau ya lo ngasih semua tanggung jawab itu ke gue dan Varo, sedangkan lo malah have fun bareng temen-temen baru lo nanti.”
“Kagak Ya Tuhan, gue gak akan ngasih kalian pekerjaan seperti itu. Tenang aja gue akan kuliah sambil kerja begitu pula dengan kalian berdua. Kalian ikut gue kuliah tahun ini, untuk masalah biaya semuanya udah gue tanggung, kalian tinggal duduk manis dan ikutin pelajaran dengan baik.”
“Heh apa-apaan! Lo asal main daftarin gue kuliah aja. Umur gue udah 20 tahun, udah waktunya gue fokus kerja buat keluarga gue. Lagi pula gue juga udah males buat mikir tentang pelajaran di kampus.”
“Gak ada banyak alasan. Lo sama Varo udah gue daftarin di kampus yang sama kayak gue, tinggal ngambil prodinya aja kalian bisa milih sendiri. Gue gak terima penolakan! Siapapun yang berani nolak gue, siap-siap aja dia kehilangan pekerjaannya.”Mendengar ancaman dariku Edwin langsung diam dan tak berani membantah keputusanku kali ini, aku meyunggingkan senyum misterius kearahnya.
“Bereskan pekerjaan lo dan Varo, gue udah pesen tiket pesawat ke Indonesia. Besok kita akan kuliah disana. Bilang sama Varo tentang hal ini, tidak ada bantahan, tidak ada penolakan, apalagi sampai diam-diam menghindar dari gue. Jika itu semua kalian lakukan siap-siap saja kalian akan kehilangan pekerjaan kalian masing-masing.”
“Kenapa begitu cepat sekali huh! Padahal gue belum bersiap-siap sama sekali,” umpat Edwin dengan pelan.
“Gue masih bisa mendengar u*****n dari lo ya, Win! Gak usah pikirin tentang paspor dll, gue udah ngurus itu semua. Kalian tinggal bawa baju-baju tang di perlukan saja. Buku kalian, baju kuliah, tempat tinggal, makan, uang kuliah, paspor, identitas kalian di Indonesia, dan handphone kalian untuk yang di Indonesia sudah gue siapin.” Mendengar semua itu Edwin langsung tercengang dan menatapku dengan tatapan yang sulit di artikan.
“Bisa-bisanya lo kepikiran sampai seniat itu. Jangan-jangan ada seorang cewe yang lo taksir ya di Indonesia?” tanya Edwin.
“Kan lo tau selama ini gue gila kerja, mana sempet gue mikirin cewe dll disini. Udahlah gak usah banyak tanya, gak usah banyak bantah, sekarang lo balik ke ruangan lo dan kerjain semua tugas yang udah gue kasih ke lo dan Varo. Malem ini lo wajib laporan ke gue, sebelum kepergian kita ke Indonesia,” ucapku sambil berjalan kearah meja kerjaku yang tak jauh dari sofa itu.
“Udah tunggu apalagi? Sekarang lo balik keruangan lo dan kerjain semua tugas lo sekarang juga.”
“Dasar pemaksa!” seru Edwin sambil meninggalkan ruanganku. Aku hanya terkekeh pelan melihat tingkah Edwin yang sangat lucu dimataku.
Sebenarnya Aku, Edwin, dan Varo adalah sahabat dari kecil. Orang tua kami berteman dengan sangat akrab semasa SMA dan sampai mempunyai kami bertiga. Setelah lulus SMA kami pergi dari rumah karena sesuatu hal dan mencoba untuk membangun perusahan kami sendiri-sendiri.
Satu tahun berlalu aku berhasil membangun sebuah perusahaan yang sangat besar tanpa bantuan siapapun. Pada akhir 2016 silam perusahaanku menjalin kerja sama dengan perusahaan Edwin dan Varo. Perusahaan mereka berdu sekarang ada di bawah naungan sahamku, itulah yang membuat mereka berdua menjadikanku sebagai bos besar mereka dan membuat benteng tinggi seperti tadi.