"Baik Tuan," jawab mereka semua dan langsung menghandle semua mayat yang ada di situ.
Darah! Itulah yang sangat baik saat sekarang ini. Barang siapa yang berani melawanku, mengganggu orang-orang di sekelilingku, berani melakukan hal yang lebih dari ini bisa ku pastikan akan ada darah di sekujur tubuhnya saat menghembuskan nafas terakhir.
Aku tidak akan pernah bermain-main dengan ucapanku. Jika mereka saja berani melakukan kesalahan kenapa aku tidak bisa membunuh mereka karena kesalahannya. Nyawa akan di bayar dengan nyawa!
Aku dan beberapa anak buahku langsung menghampiri Edwin dan beberapa orang lainnya yang sedang berjaga-jaga di sekitar mobil kesehatan.
"Edwin!" panggilku dari kejauhan. Edwin langsung menoleh dan menundukkan kepalanya.
"Ada apa?" tanyaku khawatir.
"Lukanya lumayan parah, kita harus membawanya ke rumah sakit sekarang juga."
"Lakukan yang terbaik sekarang," ucapku dengan dingin.
"Beberapa dari kalian bantu Varo, separuhnya ikut mobil Edwin. Saya akan kerumah sakit bersama mereka semua," ucapku.
"Baik Tuan," ucap mereka semua.
"Ijinkan saya ikut dengan Tuan. Saya yang akan menjadi supir Tuan hari ini," ucap Rendi sambil membungkukkan badannya.
Tak perduli dengan penampilanku saat ini, mau aku di cap sebagai apapun saat ini aku tidak perduli. Dan bahkan jika harus jatuh reputasiku pun sekarang aku tidak perduli. Yang ada di pikiranku saat ini adalah bagaimana caranya bisa menyelamatkan ibu dan ayah dengan tepat waktu.
Aku terus mengikuti para perawat itu masuk kedalam ruangan berkaca di depanku. Mereka semua langsung menahanku di luar agar tidak ikut masuk ke dalam ruangan medis mereka.
"Saya harap Tuan mau menunggu di luar, mohon ikuti peraturan yang ada disini ya. Kami akan melakukan hal yang terbaik untuk orang tua Tuan," ucap seorang suster itu dan langsung masuk kedalam ruangan medis lalu menutupnya dari dalam.
Mereka langsung menutup hordeng yang ada di dalam ruangan lalu memasang infus kepada kedua orang tuaku. Lampu berwarna merah di luar ruangan IGD ini menyala menandakan ada orang yang sedang di tangani.
Aku terduduk lemas di bangku tunggu ruangan itu dan menutup kedua mataku dengan kedua tangan yang masih berlumuran darah kedua orang tuaku.
"Tuhan tolong selamatkan mereka," teriakku dalam hati.
Tak lama kemudian, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundakku dengan pelan. Aku langsung membuka kedua tanganku dan menatap kearah orang itu.
"Hari ini gue dateng sebagai kakak lo, bukan sebagai bawahan lo. Sekarang lo cuci tangan, cuci muka, dan ganti pakaian lo di kamar mandi. Biar mereka gue yang nungguin," ucap Rendi sambil memberikan sebuah paper bag yang berisi satu setel baju kearahku.
"Ren tapi gue ngerasa gagal kali ini," ucapku sambil menundukkan kepala.
"Gak ada yang gagal disini, kita sedang di uji sama Yang Maha Kuasa. Lo harus kuat, lo udah nolong mereka di waktu yang tepat ko. Sekarang ganti baju dulu sana ke kamar mandi, bentar lagi Edwin dan Varo akan datang untuk nemenin lo," ucap Rendi sambil tersenyum tipis kehadapanku.
"Thanks udah selalu ada buat gue Ren," ucapku sambil memeluknya dengan pelan.
"Lo pernah bilang sama Galaxy, Galaxy bukanlah sebuah perkumpulan mafia. Tapi, Galaxy adalah sebuah keluarga yang menjunjung tinggi nilai persaudaraan. Galaxy adalah sebuah perkumpulan pembela kebenaran dan kebajikan. Kita gak pernah menindas yang lemah, namun kita adalah pembela kaum lemah. Ingat sama misi lo, perdamaian dunia. Lo ingin menghabisi semua mafia yang tidak punya hatikan? Maka mulai sekarang lo harus lebih kuat lagi," ucap Rendi sambil menepuk pundakku dengan pelan. Aku hanya mengangguk dan pergi kedalam kamar mandi yang tak jauh dari ruang tunggu.
Author POV On.
Dilain tempat Varo dan Edwin telah menyelesaikan pekerjaannya untuk menyingkirkan semua mayat yang ada di rumah The King dan mereka semua langsung kembali ke markas Galaxy yang tak jauh dari situ.
Sesampainya mereka di markas Galaxy, mereka langsung masuk kedalam markas Galaxy lalu masuk kedalam kamar mandi dan membersihkan badan mereka dari semua noda darah yang ada di sekujur tubuh mereka. Setelah mereka merasa bersih dan berganti pakaian, mereka berdua datang keruang makan yang ada di markas itu.
Mereka berdua memanaskan makanan yang ada di markas mereka, lalu memakannya dengan nikmat. "Btw si Raihan jadi ikut ke rumah sakit tadi?" tanya Varo ke Edwin yang sedang menikmati semangkuk mie yang ia buat barusan.
"Slupthhhh, i-ya dia ikut kerumah sakit tadi," ucap Edwin sambil memakan mienya.
"Jorok banget sih! Abisin dulu makanan yang ada di mulut lo baru ngomong!" seru Varo sambil memukul pelan pundak Edwin.
"Awwww, gila lo mah Var. Kekerasan terhadap cogan. Sakit tau gak pukulan lo itu, mending mah tangan lo itu gak besar ini mah udah segede pisang ambon, berotot mukul gue lagi yang kecil, unyu, dan cogan," ucap Edwin sambil merapikan rambutnya. Varo langsung menatap Edwin dengan tatapan menjijikan.
"Masih cakepan gue, lo jangan kepdan banget sih. Udah deh ngaku aja kalau gue paling ganteng di antara lo sama Rendi," ucap Varo sambil menaruh mangkuk kosong di wastafel tempat cucian piring.
"Udah cepet abisin makanan lo, kita susulin di Raihan ke rumah sakit. Kalau gak di susulin anak itu nanti ngelakuin yang engga-engga lagi," ucap Varo sambil mencuci mangkuk bekas makannya.
Plak!
Edwin langsung menepuk dahinya dengan pelan, bagaimana ia lupa tentang sahabatnya yang agak tempramental itu. Ia langsung dengan cepat menghabiskan mienya dan mencuci mangkuk bekas makannya dengan cepat. Varo yang melihat tingkah Edwin yang tiba-tiba terburu-buru itu langsung menatapnya dengan tatapan bingung.
"Kenapa lo? Ko buru-buru amat?" tanya Varo bingung.
"Udah cepet gak usah banyak cingcong, kita wajib sekarang juga nyusulin si Raihan di rumah sakit. Kalau kita gak nemenin dia di rumah sakit bisa-bisa kita di beklis jadi sahabat sama dia," ucap Edwin sambil menaruh mangkuknya dengan cepat.
"Emang ada apaan sih? Masih lola gue?" tanya Varo bingung.
"Udah cepetan! Lo telpon si Rendi terus tanya dia ada dimana sekarang juga. Abis itu sebelum kesana kita bawa makanan buat mereka berdua, karena gue yakin itu temen lo yang es gak akan makan kalau lagi kayak gitu." Edwin langsung menarik tangan Varo untuk keluar dari markas Galaxy lalu menghampiri mobil mereka.
"Kita kesana naik satu mobil aja. Mobil lo tinggal aja di markas, suruh Renan atau siapa gitu parkirin mobil lo. Cepetan gak pake lama!" seru Edwin, Varo langsung lari kedalam dan meminta salah satu anggota Galaxy untuk memarkirkan mobilnya dengan benar, lalu kembali menghampiri Edwin yang sedang menghisap rokoknya di depan mobil.
"Udah?" tanya Edwin.
"Udah," jawab Varo dengan singkat.
"Kalau udah kita langsung cabut ke rumah sakit sekarang. Jangan lupa nanti di mobil lo telpon si Rendi, minta alamatnya." Edwin langsung masuk kedalam mobilnya dan diikuti oleh Varo di belakangnya.
"Telpon Rendi dulu sekarang," suruh Edwin sambil memanaskan mobilnya.
Varo langsung membuka handphonenya dan mencari kontak Rendi, setelah mendapatkan kontak Rendi. Varo langsung menelponnya, tak lama kemudian Rendi langsung mengangkat telpon tersebut.
"Halo?" sapa Rendi dari sebrang sana.
"Halo, Ren sekarang lo dimana?" tanya Varo dengan cepat.
"Gue ada di rumah sakit yang gak jauh dari lokasi kejadian. Kalian berdua kesini aja, soalnya gue ngeliat muka Raihan udah gak bersahabat sama sekali. Kalau kesini jangan lupa bawain dia makanan soalnya dia juga belum makan daritadi," ucap Rendi.
"Okay, lo bawain paper bag yang ada di jok mobil itu kedalem terus lo kasihin ke dia. Itu paper bag isinya satu setel baju untuk dia dari Vania, tapi inget lo jangan ngasih tau dia kalau itu dari Vania. Kalau sampe lo ngasih tau dia bisa abis lo sama dia," jelas Varo.
"Emang ada apaan antara Vania sama Raihan?" tanya Rendi heran.
"Gue juga gak tau sama sekali ada apa di antara mereka berdua. Setahu gue sih dia sama Vania hanya sebatas sekertaris dan atasan. Hanya itu saja gak lebih dari itu," jelas Varo.
"Kalau misalnya hanya sebatas pekerjaan, kenapa Vania rela ngasih satu mobil kesehatan dan menelpon Raihan dengan nada khawatir? Bukan cuma khawatir tapi Vania juga kayak mau nangis pas denger Raihan mau ke rumah sakit?" tanya Rendi dari sebrang sana.
Varo yang mendengar pertanyaan itu langsung mengernyitkan dahinya dengan bingung. "Vania nelpon Raihan sambil nada mau nangis? Ada apa?" tanya ulang Varo.
"Mangkanya gue tanya sama lo, ada apa? Kalau lo tanya balik ke gue sama aja bohong gak ada jawabannya lah," ucap Rendi dengan kesal.
"Lah iya juga awkwkwkwk, yaudah nanti gue coba tanya pelan-pelan deh ke dia. Kalau gak nanti dia juga akan cerita sendiri pada waktunya. Kita tunggu aja," ucap Varo dengan santainya.
"Yaudah sekarang lo kesini cepetan. Gue gak mau tau lo sama Edwin wajib secepatnya kesini nemenin temen es kalian itu," dengus Rendi dengan kesal.
"Lo datengin dia sebagai temen atau gak kakak. Nanti dia juga akan luluh, dia lebih suka nganggep kita itu sebagai keluarganya daripada anak buahnya. Jadi, lo harus pinter ngambil hati dia hari ini. Sudah waktunya dia akan membuat Galaxy lebih baik lagi," nasehat Varo.
"Apa itu bisa? Setahu gue dia orangnya lumayan arogan," tanya Rendi dengan bingung.
"Bisa ko, kemarin juga Edwin di peluk lagi sama dia. Lakuin aja apa yang udah gue kasih tau. Gue yakin lo juga bisa ko ngeluluhin hatinya yang sekeras batu itu," ucap Varo.
"Oke, kalau gitu. Gue masuk dulu ke dalem sambil ngasih paper bag dari Vania ini. Kalian hati-hati di jalan," pesan Rendi.
"Oke, gue tutup telponnya. Lo jangan lupa suruh dia ganti baju. Pasti bau amis bajunya karena darah," ucap Varo.
"Iya," jawab Rendi, lalu mematikan ponselnya secara sepihak. Varo langsung menaruh handphonenya ke dalam saku celananya, lalu memakai sealtbeatnya dengan benar.
"Pergi ke rumah sakit yang gak jauh dari lokasi kejadian tadi, mereka semua ada disana. Jadi, kita harus cepet susulin mereka. Suasana hati si manusia es lagi gak enak," ucap Varo.
"Kalau udah urusan om sama tante mah udah pasti gak enak banget hati dia. Apalagi selama ini dia jarang banget ketemu sama merekakan. Ditambah liat mereka kayak tadi, ya udah pasti hancur banget perasaan dia. Gue sama dia sekiranya sama lah perasaannya," terang Edwin sambil tetap fokus menatap jalanan yang ada di depannya.
"Kenapa lo selalu berpikiran kayak gitu?" tanya Varo bingung.
"Sekarang gue tanya sama lo. Kita bertiga deket banget awalnya karena apa?" tanya Edwin dengan santai.
"Kita deket selama ini karena kita merasakan hal yang sama. Kita memiliki perasaan yang sama, kita memiliki kesedihan yang sama, dan kita juga punya kesukaan yang sama. Itu aja sih seinget gue," jawab Varo.
"Nah itu lo tau, kita bertiga jauh dari orang tua kita. Mereka semua sibuk dengan dunianya sampai lupa kalau mereka juga punya anak yang harus mereka rawat dan mereka jaga. Mereka lupa kalau anak mereka butuh kasih sayang yang lebih dari mereka, terkadang gue iri sama temen-temen yang lain. Mereka punya kasih sayang yang lebih dari orang tuanya," ucap Edwin sambil tersenyum dengan simpul.