Mencari Keberadaan

1755 Kata
Tak lama kemudian, suara dering telepon mengganggu waktu istirahatku. Aku menghela nafas dengan panjang, mau sekeras apapun aku mencoba istirahat di siang atau sore hari itu tidak akan berguna. Karena semua orang selalu meneror handphoneku. Aku langsung mengangkat telpon dari seseorang yang ada di sebrang sana tanpa melihat Id cellernya. "Halo," sapaku dengan suara serak khas orang kecapean. "Lo kenapa? Sakit? Persaan tadi baik-baik aja," ucap seseorang yang ada di sebrang sana. Mendengar ucapan itu aku langsung membelakkan mataku. "Ko lo tiba-tiba nelpon gue?" tanyaku kaget. "Gue nelpon karena ada sesuatu yang harus di bahas. Gue ke rumah lo sekarang juga, pokoknya ada yang mau gue omongin sama lo." "Di telpon aja, gue mau tidur. Jangan ganggu waktu istirahat gue." "Gak ada penolakan! Kalau lo nolak berarti lo sanggup kehilangan untuk selamanya." Aku langsung mengernyitkan keningku. "Maksud lo?" tanyaku dengan bingung. "Gue kesana sekarang, gue jelasin disana aja." "Oke, gue tunggu lo disini." Edwin langsung memutuskan telponnya dengan sepihak. Aku memijit pelipisku dengan pelan, rasa sakit kepala melandaku. Begitu sakit rasanya, ketika bangun dengan kaget dan mendengarkan berita yang sangat ngegantung dari Edwin. Aku mencoba memejamkan mataku dengan pelan untuk menetralkan rasa yang mendominasi di atas kepalaku. Setelah merasa baikan, aku langsung turun kebawah untuk mengambil segelas air putih untuk minum dan menunggu Edwin di depan TV. Setelah menunggu beberapa lama aku menunggu Edwin datang, akhirnya yang ku tunggu datang juga. Ia membawa beberapa berkas dengan tergesa-gesa. "Han gawat!" ucap Edwin sambil ngos-ngosan di hadapanku, aku yang melihat tingkah Edwin langsung mengernyitkan dahiku dengan bingung. "Ada apa ini sebenarnya, Tuhan?" tanyaku dalam hati. Aku menghela nafas panjang dan duduk menghadap Edwin yang sedang mengatur nafasnya. "Ada apa? Jelasin ke gue yang sebenarnya," tanyaku dengan dingin. "Huh! Huh! Huh! O-orang t-tua lo, di culik sama The King," ucap Edwin yang tak terdengar dengan jelas. "Ha? Gimana maksudnya? Gue gak maksud, lo kalau ngomong jangan sambil ngos-ngosan yang ada gak kedengaran lo mau ngomong apa. Pelan-pelan lo atur nafas terus bilang sama gue ada apa sebenarnya?" tanyaku dengan bingung. "Orang tua lo di culik sama The King," ucap Edwin dengan sangat cepat, aku langsung melirik Edwin dengan kesal. "Ini manusia apa gimana sih? Udah di bilangin kalau ngomong yang jelas ini malah cepet-cepet terus gak jelas lagi," dumelku dalam hati. "Bisa gak sih lo kalau ngomong gak cepet-cepet kayak kereta begitu. Gue gak bisa denger dengan jelas! Ada apa dengan The King? Kita di serang apa gimana?" tanyaku dengan kesal. "Orang tua lo di culik sama The King," ucap Edwin dengan sangat pelan, aku yang mendengar ucapan dari Edwin langsung terperanjat kaget dan menatap Edwin dengan tajam. "Kenapa bisa orang tua gue sama mereka!" seruku di hadapannya. "G--gue juga gak tau Han, gue tau dari anak-anak katanya orang tua lo disandra disana." "Siapin pasukan sekarang juga. Kita kemarkas sekarang!" seruku dan langsung berlari kearah kamar untuk mengambil jaket kulit berwarna hitam milikku. "Gue tunggu di mobil!" seru Edwin ruangan TV. Aku hanya mengabaikan seruannya dan kembali mengambil jaket dengan senjata kesukaanku. Setelah selesai mengambil senjata dan jaket kebangsaanku, aku langsung menghampiri Edwin yang sudah ada di dalam mobil dan menyuruhnya untuk pindah ke kursi penumpang. "Turun terus pindah," ucapku dengan dingin. "Keep calm bro, jangan sedingin itu. Gue jadi serem liat lo ngeluarin tatapan es lo," ucap Edwin sambil turun dari mobilnya dan pindah ke arah kursi penumpang. Aku tetap menampilkan tatapan dinginku kepada semua orang yang bertemu denganku. Setelah Edwin pindah ke kursi penumpang, aku langsung masuk kedalam kursi kemudi dan mengemudikannya dengan kecepatan di atas rata-rata. Di dalam mobil Edwin selalu menatapku dengan datar, aku hanya mengabaikan tatapannya dan fokus mengemudi."Kalau lo mau cari mati lebih baik sendirian aja gak usah bawa-bawa gue," gerutu Edwin sambil menetralkan rasa takutnya. "Lo gak udah banyak omong ikutin aja apa yang udah gue suruh. Diem dan duduk dengan manis," ucapku dengan nada datar. "Gak berubah," gerutu Edwin sambil mendengus sebal kearah jendela. "Gue masih mendengar gerutuan lo," ucapku dengan datar. Aku langsung menyalakan bluetooth handphoneku ke arah stir mobil dan menelpon Vania. Tut..... Tut..... Tut...... Tak lama kemudian Vania pun mengangkat telponku dengan suara serak yang khas seperti orang bangun tidur. "Siang Tuan, apakah ada yang bisa saya bantu?" "Tukar jadwal penerbangan saya menjadi besok malam. Saya tidak terima penolakan." "Tapi, Tuan-----" Belum selesai ia berbicara langsung ku matikan sambungan telponku secara sepihak. Aku melirik kearah Edwin yang terdiam ketika melihatku bertelponan dengan Vania. "Lo----------" Baru saja Edwin ingin angkat bicara tentang penundaan jadwal terbang besok, aku langsung memotong ucapannya. "Gak usah banyak komentar. Selagi masalah ini belum selesai gue akan selalu menunda kepergian kita," ucapku datar. "Sepertinya kau pantas di juluki sebagai manusia yang tak punya sopan santun. Bisa-bisanya kau sangat hormat, santun, berwibawa di depan orang tua. Berbeda di saat kau bersama dengan bawahan dan temanmu. Kau selalu memotong ucapan mereka tanpa alasan," ucap Edwin. "Lalu kau mau aku seperti apa? Kaku seperti robot? Dingin seperti es? Atau diam seperti patung?" tanyaku datar. "Dah lah up!" ucap Edwin sambil membuang mukanya ke arah jendela. Tak perlu waktu lama kami akhirnya sampai di depan markas Galaxy. Galaxy adalah sebuah perkumpulan mafia terbesar di dunia, memiliki ketua yang tidak pernah muncul di permukaan, pemilik markas terbesar, dan orang-orang yang kuat. Hampir semua orang mengetahui dan mengakui kehebatan mereka semua, meskipun mereka sudah di akui satu hal yang kurang dari mereka. Mereka tidak pernah menunjukkan siapa ketua mereka sebenarnya. Aku dan Edwin langsung masuk ke dalam markas Galaxy. Tanpa aba-aba aku langsung menggebrak meja dan masuk kedalam ruanganku secara kasar. "Tuhan lindungilah orang tuaku," ungkapku dalam hati. Aku langsung masuk dan mencari 2 senjata andalanku dan memberikannya kepada Varo dan Edwin. Aku langsung menghampiri mereka semua dengan tatapan datar. "Tuan maaf, tapi kita semua belum menemukan dimana keberadaan orang tua Tuan. Mata-mata kami sudah mencoba memata-matai markas mereka." Bruk! Aku langsung menendang meja yang ada di hadapanku hingga terjatuh terbalik di hadapan mereka semua. Mereka semua langsung menundukkan kepalanya dengan pelan. Tak ada yang berani menatap mata tajamku saat ini, aku terus memperhatikan mereka semua dari atas sampai bawah. "Kalian semua itu terlalu pintar, jadi mengerjakan hal yang gampang sekalipun kalian tidak bisa! Kenapa kalian tidak bisa mencari keberadaan kedua orang tuaku saat ini. Dimana kehebatan kalian? Dimana nyali kalian? Dimana rasa solidaritas kalian? Kalian bahkan mencari berita saja tidak becus sama sekali!" seruku di hadapan mereka semua. "Kalian taukan seberapa berharganya mereka berdua di mataku?! Mereka adalah kehidupanku! Cepat cari mereka berdua. Jika sampai ada yang berani menyakitinya dan bahkan membuatnya terluka sedikit saja, siap-siap saja siapapun dia tak perduli dia keluarga, teman, sahabat, musuh atau anak buahku sendiri akan ku habisi saat itu juga. Cepat cari mereka sekarang juga!" teriakku. Hening....... Tring! Tring! Tring! Suara telponku berdering nyaring memecah semua keheningan yang tercipta di dalam markasku. Aku langsung mengangkat panggilan tersebut dengan nada datar. "Halo, ini dengan siapa?" ucapku datar. "Apa rasanya ketika mendengar berita yang tidak mengenakkan itu Tuan Raihan yang terhormat?" tanya seseorang yang ada di sebrang sana. "Siapa kau? Dimana mereka?!" tanyaku dengan tegas. "Wow santai aja dong brother, orang tua anda baik-baik saja jika bersama dengan saya Tuan. Berbeda dengan bersama anda mereka tampak tidak bahagia," ucapnya. "Jangan asal bicara kau. Orang tuaku tidak seperti itu. Kau selalu mengadu domba antara satu sama lain!" seruku. "Aku tidak mengadu domba ko, aku hanya menjelaskan apa yang harus ku jelaskan. Emangnya kau tidak kasian melihat orang tuamu tersiksa oleh kasusnu itu?" tanyanya dengan lembut. "Lepaskan mereka atau kau akan menerima akibatnya!" "Hmmm akibat seperti apa yang akan ku dapatkan darimu? Bukankah kau tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk melawanku? Kau hanya seseorang yang sangat lemah, jadi jangan pernah kamu bermimpi untuk bisa seperti aku ya," ucap orang itu. "Apakah kau sudah merasa hebat? Kalau iya kenapa kau sangat ketar-ketir jika aku datang? Apakah kau sangat takut jika aku datang menghampirimu sekarang juga? Untuk menutupi ketakutanmu itu kau sekarang menelponku agar aku sedikit terlambat datang kesana. Benar begitu bukan Tuan Steven?" tanyaku dengan santai. "Aku menelponmu karena aku ingin mendengar suara kehawatiranmu terhadap orang-orang yang kau sayang. Buat apa aku takut terhadapmu saat ini? Toh aku bisa membunuhmu dalam sekejap." "Maaf, tidak ada yang dapat membunuhku saat ini. Hanya Tuhanlah yang dapat membunuhku. Jadi, sekarang kau bilang dimana kau berada saat ini?" ucapku dengan datar. "Cari sendiri dimana aku dan orang tuamu berada. Selamat mencari Tuan Raihan!" serunya dari sebrang sana. Aku langsung menggeram sangat kencang dan mengepalkan tanganku dengan sangat kuat. Tidak ada yang bisa membuat orang tuaku berada jauh dariku sebentar saja. "Cari mereka semua sampai dapat! Saya tidak akan memaafkan siapapun jika mereka berdua terluka!" teriakku di hadapan mereka semua. Kabut amarah menguasai diriku saat ini, tak perduli dengan orang-orang yang sedang merasakan takut kearahku. Siapapun gang menghalangi jalanku akan habis hari ini juga. Mendengar seruanku mereka semua lari berhamburan keluar dari ruang tengah Galaxy. Aku langsung masuk kedalam ruanganku dan teringat untuk membuka GPS yang tersambung di handphone kedua orang tuaku. Setelah membuka lokasi mereka berdua ternyata mereka semua berada tidak jauh dari markas ku. "Hahaha kelewat pintar! Menculik seseorang yang tak seharusnya di culik membuat kau menyerahkan nyawamu kepada seseorang yang pantas membunuhmu. Kita lihat seberapa pintar kamu menyembunyikannya mereka semua dariku," ucapku sambil menyunggingkan senyuman licik. Aku langsung mencopy tempat itu kedalam handphoneku dan keluar dari ruangan pribadiku. Aku menutup pintu dengan kasar dan pergi dengan tergesa-gesa, semua orang yang mendengar suara bantingan pintu terkejut dan hanya bisa menundukkan kepalanya saja. "Siapkan pasukan sekarang juga!" seruku dari arah dalam. Mereka semua yang mendengar seruanku langsung berlari kedalam ruangannya untuk mengambil senjata masing-masing. Aku langsung menghampiri Varo dan Edwin di luar markas yang tampak sedang berdiskusi dengan serius. "Jika kalian berdiskusi tentang laporan perkerjaan itu nanti saja, saya tidak akan membuat kalian terburu-buru menyelesaikan laporan itu. Sekarang yang terpenting adalah nyawa orang tuaku. Saya tidak akan memaafkan siapapun jika kita terlambat sepersekian detik saja." Aku melihat mereka berdua langsung terlonjak kaget dan menundukkan kepala mereka dengan sangat dalam. Tidak ada yang berani menatapku dari antara dua orang itu. "Bersiap-siaplah saya tunggu di mobil, lima menit dari sekarang kalian sudah harus sudah siap untuk mengambil semuanya!" ucapku dengan penuh penekanan dan berjalan menuju mobil yang akan kami pakai. Mereka berdua langsung berlari kedalam ruangan mereka dan mengambil senjata yang harus di pakai, tak lama kemudian mereka keluar lengkap dengan beberapa senjata dan jaket mereka masing-masing. Aku tersenyum kecil ketika melihat dari dalam mobil, mereka yang sangat tergesa-gesa untuk menolong orang tuaku saat ini. Jika memang misi ini berhasil, aku akan membawa orang tuaku dan mereka berdua untuk tetap ikut kemanapun aku pergi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN