BAB 4 – Memalukan

1365 Kata
Sesaat ruangan itu hening. Juleha dan Bambang saling tatap dengan tatapan yang sulit untuk dijelaskan. Mereka sama-sama terpaku, hingga ... “Tunggu ... tunggu ....” Bambang berjalan mengelilingi Juleha, “Kamu ... Bukankah kamu perempuan yang sudah membuat mobil aku penyot kempot, iya’kan?” Bambang berjalan berlenggak lengok seraya memerhatikan Juleha dengan saksama. Juleha terdiam, ia membeku. “Owh, jadi perempuan cantik ini yang sudah menabrak mobil kamu? Kalau begitu nggak usah dipermasalahkan lagilah, biar mama yang mengganti rugi semua kerusakan mobil itu.” Wiwik tersenyum ramah seraya membelai lembut bahu Juleha. Juleha tersenyum kecut. “Kok gitu sih, Ma? Nggak adil dong? Dia yang salah kok malah mama yang ganti rugi. Aku nggak mau.” Bambang menyilang ke dua tangannya di da-da. Sifat kemayunya begitu kentara. Edo mendekati Bambang, “Nak Bambang yang manis bak gulali pinky-pinky ... jangan begitulah sama anak om ini. Juleha itu’kan calon istrimu juganya. Atau begini sajalah, biar om yang mengganti semua kerusakan mobilmu itu. Berapa totalnya?” Edo merangkul bahu Bambang. “Dua puluh juta,” jawab Bambang, mantap. “Alamak! Banyak kali ... tak bisa diskonnya itu. diskonlah ya, tujuh puluh persen.” Edo berusaha negosiasi. “Tidak bisa, Om. Itu sudah ke bengkel temannya aku lho makanya dapat harga segitu.” “Ya sudahlah, Sayang ... jangan diperpanjang lagi ya. Biar mama yang bayar semuanya.” Wiwik dengan sikap anggun mencoba menepis permasalahan itu. “Eehhh ... Jangan begitulah, Kak. Tersinggungnya kami. Tahunya kau, Kak. Tanah warisanku di Medan, itu masih banyak. Dua puluh juta itu, kecilnya bah! Belum lagi bisnis minyakku.” Edo tidak mau kalah. “Tidak apa-apa, Pak Edo. Biar saya saja yang mengganti ruginya. Bukankah nanti warisanku dan warisan kalian juga akan jatuh ke anak-anak kita juga. Bambang anak tunggal, Juleha juga anak tunggal, jadi apa lagi?” “Waduh ... segan pulanya kami.” Edo salah tingkah. Aminah mencubit pinggang suaminya seraya berbisik, “Papa apa-apaan sih. Dua puluh juta itu bukan uang yang sedikit. Jangan sok-sokan bijaksana gitu.” “Mama, apa pulanya kau ini. Lagi pula itu’kan juga salah anakmu itu. mengapa ia ugal-ugalan di jalan raya.” Aminah semakin geram. Ia mencubit pinggang suaminya lebih keras lagi. Akan tetapi ia masih berusaha tersenyum di depan Wiwik dan Bambang, “Papa diam saja.” “Ehem ... Ehem ... begini saja, Jeng ... permasalahan mobil Bambang, lebih baik kita selesaikan saja. Biar aku saja yang mengganti rugi. Yang penting Juleha jadi menantu aku.” Wiwik mencoba menengahi. Juleha dan Bambang hanya terdiam. Di dalam hati masing-masing tengah menyimpan hasrat terpendam. Hasrat untuk saling caci dan cerca. “Ya sudah, jadi’kan permasalahan mobil nak Bambang sudah selesai. Sebaiknya sekarang kita membahas masalah penyatuan dua keluarga ini. Perjodohan antara kalian berdua.” Aminah membelai lembut dagu putrinya. Juleha berbisik, “Mami, aku nggak mau dijodohin sama dia. lebih baik aku loncat dari puncak monas dari pada harus nikah sama ban-ci kaleng kayak gitu.” Juleha menatap Bambang dengan tatapan sinis. Aminah mencubit pinggang putrinya, ia berkata seraya merapatkan giginya, “Lu bilang ape, ha? Perjodohan batal, warisan lu juga batal, jelas!” bisik Aminah. Wanita tambun itu pun kembali mengukir senyum ke arah Wiwik. Bambang mendekat ke arah Juleha. Pria gemulai yang tengah memegang kipas tangan, memukulkan kipas itu ke bahu Juleha, “Heh, wanita jadi-jadian. Kamu pikir eike mau gitu dijodohin sama kamu. Lebih baik eike dandanin singa dari pada harus kawin sama macan bekokok seperti kamu ini.” “Bambang! Berhenti berbicara, atau semua warisan akan mama hibahkan untuk kemaslahatan ummat. Termasuk rumah, mobil dan semua aset yang mama dan mendiang papa kamu punya. Kamu tidak akan mendapatkan apa-apa jika menolak perjodohan ini!” tegas Wiwik. “Mama kok gitu sih?” Dengan gaya gemulainya, Bambang yang lebih senang jika dirinya dipangil Bams, protes terhadap pernyataan ibunya. “Kami sudah sepakat, menolak perjodohan berarti menolak warisan.” Wiwik dan Aminah secara bersamaan mengucapkan kalimat itu. Seakan mereka berdua sudah menghafalnya bak yelyel di acara tujuh belasan. “Alamak ... kompak kalilah emak-emak ini.” Edo memukul kepalanya sendiri dengan telapak tangannya. Mendengar pernyataan itu, Juleha dan Bambang pun pasrah. Mereka hanya bisa diam seribu bahasa seraya menuruti semua rencana indah yang sudah dirangkai oleh orang tua masing-masing. “Jadi gimana, Jeng. Kapan dan di mana kita akan menggelar prosesi pernikahan mereka?” Aminah begitu antusias seraya menyuap sepotong stik berukuran jumbo ke dalam mulutnya. “Secepatnya saja, Jeng. Kalau perlu, besok mereka sudah menikah, hehehe ....” Juleha yang tengah menyeruput jus naganya dan Bambang yang tengah menyuap supnya, tiba-tiba sama-sama tersedak dan menyemburkan isi mulut mereka masing-masing. Sialnya, Juleha dan Bambang duduk berhadapan. “Alamak, alamat perang dunia laginya ini.” Edo menatap Juleha dan Bambang yang saling berhadapan seraya memperlihatkan muka penuh amarah masing-masing. Pria itu memukul keningnya dengan telapak tangannya sendiri. “JULEHA ....” “BAMBANG ....” Ke dua sejoli itu sama-sama berteriak dan saling memyiramkan air mineral ke wajah masing-masing. Tingkah mereka menjadi pusat perhatian semua pengunjung restoran. *** Akibat insiden memalukan dan menyakitkan namun tidak berdarah-darah itu, baik Aminah maupun Wiwik sama-sama membawa anak mereka pergi dari restoran tersebut. Jika saja mereka tidak segera dipisahkan dan dilerai, maka aksi cakar-cakaran dan tendang-tendangan tidak akan bisa terelakkan. “Leha, lu bikin malu mama aje ye ... lu kagak lihat apa tadi lu jadi pusat perhatian di sono. Masa anak orang terpandang, kelakuannya udah kayak preman pasar.” Aminah mendengus kesal. Ia masih belum berhenti mengomeli putrinya itu. Edo yang tengah membawa mobil hanya bisa diam. Ia memerhatikan wajah kesal putrinya dari balik kaca sipon kecil yang terdapat di atas kepalanya. Edo tersenyum-senyum kecil tatkala melihat bibir itik putrinya. “Papah, lu ngeledekin gue?” Aminah merasa tersinggung melihat senyum kecil yang terukir di bibir suaminya. “Eh, apa pulanya mama ini. Tak adalah itu. aku mana berani macam-macam sama kau, bisa-bisa kau smakcdownnya aku nanti, hahaha ....” Edo terkekeh. Namun kekehan Edo yang khas yang menggema di mobil itu, tidak mampu nmembuat suasana hati Juleha membaik. “Ma, kau lihatlah anakmu itu. bibirnya itu, hup ... hup ... sudah seperti itik minta kawin kulihat.” Edo menarik-narik bibirnya sendiri dengan tangan kirinya. Aminah menoleh ke belakang. Apa yang dikatakan suaminya memang benar. Bibir cantik itu maju beberapa sentimeter seraya memperlihatkan muka kesal. Aminah terdiam seraya membetulkan kembali posisi duduknya. Sesampainya di halaman rumah mereka, Juleha langsung keluar mobil tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada ke dua orang tuanya. Ia membanting pintu mobil dengan keras dan masuk begitu saja ke dalam rumah berlantai dua itu. Rumah yang cukup besar namun selalu sepi karena Juleha merupakan anak semata wayang Aminah dan Edo. “Ma, kita batalkan sajalahya perjodohan antara putri kita sama putra bu Wiwik itu. Kasihannya aku lihat si Bambang itu. Bisa mati nanti anak orang di tangan putri kita.” “Tidak ada cerita! Kali ini, gue ingin Leha nikah sama putranya bu Wiwik. Papah, warisan bu Wiwik itu sangat besar lho. Bisnis berliannya saja lancar jaya. Kebayangkan nanti putri kita bakalan sekaya apa kalau nikah sama si Bambang surambang itu.” Netra Aminah berbinar. Tangannya ia mainkan seolah sudah menggenggam jutaan berlian. “Matre kalinya kau, Ma. Untuk apa pula bisnis berlian bu Wiwik itu kau bangga-banggakan. Bisnis minyakku saja, tak habis-habisnya uangnya.” Edo menumpukan ke dua sikunya di atas kemudi. “Biarkan saja, Pa. Biar si Leha tambah kaya, eeee ....” Aminah kembali berbinar dan tersenyum lebar. “Dasar, mata duitannya kau itu!” Edo membuka pintu mobil dan keluar dari mobil itu. “Heh, Mirdong! Kalau gue kagak mata duitan, maka badan gue kagak bakalan sebesar ini.” Aminah berkata seraya keluar dari mobilnya. “Papah ... Papah ... kok mamah malah ditinggalin sih. PAPAH ...!!” Teriakan Aminah yang lantang, seketika membuat langkah Edo terhenti. Pria itu membalik tubuhnya dan merentang tangan seraya berkata, “Kemarilan cintaku ....” Wajah Aminah seketika berbinar. Ia melangkah dengan anggun menuju dekapan suaminya. Namun, sesampainya di depan pintu rumahnya, Edo tiba-tiba menghilang bagaikan tersapu angin p****g beliung. Seketika kesadaran Aminah kembali, “Awas kamu, Pah. Nggak aku kasih jatah kamu malam nanti,” gerutu Aminah seraya mengepalkan ke dua tangannya. Ia geram karena suaminya sudah meninggalkannya begitu saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN