Di dalam rumah mewahnya, Wiwik terus menyeret tangan putranya dan menghempaskan tangan serta tubuh itu ke sebuah sofa. Bambang terpental ke atas sofa berwarna merah maroon dengan sandaran super tinggi.
“Mama ... kenapa mama malah jahatin Bams sih?” Bambang memperbaiki posisi duduknya seraya mengipaskan kipas tangan ke wajahnya. Padahal rumah sama sekali tidak panas atau gerah. Rumah mewah milik Wiwik dilengkapi AC yang membuat sejuk dan nyaman semua penghuninya.
“Bambang, Mama tidak suka dengan sikap kamu tadi terhadap Juleha. Mama malu, tahu nggak. Bagaimana kalau di sana mama bertemu dengan rekan bisnis mama? Mau ditarok di mana muka mamamu ini, Bang? Masa kamu bertengkar seperti anak kecil di sana.” Wiwik berdiri seraya menyilangkan tangannya ke da-da. Ia masih marah dan kesal dengan sikap kekanak-kanakan putranya.
“Tapi’kan dia duluan yang mulai, Ma ....” Bambang merajuk dengan logat khas meletoinya. Kipas tangan itu tak pernah lepas dari tangannya. Ia terus mengibas-ngibaskan kipas itu seakan angin surga tengah menerpa wajahnya yang memang mulus mengkilat bak porselen import.
“Ingat, Bang. Mama tidak mau lagi kejadian seperti tadi terulang kembali. Mama tidak main-main. Menikah dengan Juleha, atau jangan pernah bermimpi memiliki semua warisan mama.” Wiwik bicara tegas seraya melangkahkan kakinya menjauhi Bambang.
Heh ... kesel deh. Kalau bukan karena warisan yang bernilai milyaran ini, aku tidak akan mau menikah dengan macan bekokok itu. Bambang bergumam dalam hatinya.
Namun tiba-tiba, sebuah ide cemerlang hinggap dikepalanya.
“Aha! Aku ini’kan suami ya ... Eh, suami apa istri sih? Ah, bingung eike ... Ya sudah, anggap saja eike ini suami. Bukankah dalam agama suami itu imam. Kalau pun nanti eike menikah dengan si macan bekokok itu, eike yang akan mengatur dia. Lumayankan, warisan si wanita macan itu juga banyak, hahaha ....” Bambang terkekeh seraya melenggok berjalan menuju lantai dua dimana tempat kamarnya berada.
“BAMBANG ... JANGAN TERTAWA SEPERTI SE-TAN BEGITU, NANTI KAMU KEMASUKAN SE-TAN BENERAN ....” terdengar suara teriakan Wiwik dari dalam kamarnya yang tidak tertutup sempurna.
“Uhuk ... uhuk ... uhuk ....” Bambang seketika terbatuk. Ia mempercepat langkah kakinya menuju kamarnya. Tempat ternyaman dan terbaik yang ia punya.
Setelah sampai di kamar berukuran enam kali tujuh meter itu, Bambang dengan cepat merebahkan tubuhnya ke atas ranjang berukuran super jumbo. Ranjang yang ia pesan khusus ke pengrajin dengan ukuran tiga kali tiga meter.
Bambang merasa sangat nyaman rebahan di ranjang dengan dipan berdesain eropa berwarna silver metalik, sangat mewah dan elegan. Di bagian depan ranjang itu juga terdapat sebuah sofa dengan desain senada. Di sebelah kanan ranjang, terdapat sebuah meja rias super mewah dengan desain dan warna senada. Berbagai kosmetik, peralatan make up dan parfum ternama, tertata dengan apik di atasnya.
Di sebelah kiri ranjang itu, terdapat sebuah lemari kayu enam pintu yang menjulang tinggi hingga mencapai langit-langit kamar. Tinggi lemari sih hanya dua ratus dua puluh sentimeter saja, namun desain bagian depan dan samping atas yang dibuat penuh ukiran bak mahkota kerajaan antah barantah, dibuat tinggi hingga nyaris menyentuh langit-langit kamar. Warnanya, sebaiknya jangan ditanya deh, tentu saja senada dengan warna ranjang dan meja rias yang Bambang punya.
Apakah cukup itu saja? Owh, tentu tidak gaesss ...
Dari dalam kamar Bambang, ada sebuah pintu khusus yang akan membawanya ke sebuah ruangan lagi. Ruangan apa lagi? Mari kita tunggu saja si Bambang ini mengajak kita berjalan-jalan di kamar itu.
Bambang merebahkan tubuhnya dan meregangkannya seraya memutar-mutar tubuh itu kesana kemari dengan leluasa. Itulah alasannya si Bambang ini memesan khusus ranjang ukuran super jumbo, karena ia memang senang berputar-putar di atas ranjang itu sesuka hatinya. Walau ia hanya tidur sendiri, tapi tidak satu sudut ranjang pun yang terlewat dari tubuhnya ketika ia terlelap.
Lasak, begitulah kata orang minang dalam mendeskripsikan cara tidur pria kemayu itu. (Lasak : tidak tenang, atau suka kesana kemari).
Tidak lama, Bambang pun melabuhkan pandangannya ke arah jam dinding yang tergantung dengan cantiknya di salah satu bagian dinding berwarna silver metalik itu. Ya, pria ini memang penyuka warna-warna metalik, khususnya silver. Kamar itu terlihat semakin gojreng ketika lampu-lampu memantulkan cahaya yang berkilauan dari cat dinding, cat plafon dan perabotan yang berwarna silver metalik bling-bling. (Sudah serasa di dalam istana raja saja, hahaha)
Jam dinding berdesain eropa itu menunjukkan pukul sembilan malam. Pria itu sama sekali belum mengantuk. Ia pun mulai membuka laci sebuah nakas dan mengambil perangkat laptopnya. Ia mengambil meja yang didesain khusus agar ia bisa bekerja seraya rebahan di atas ranjang.
Ah, sungguh nikmat sekali hidup si Bambang ini. Terlahir dari keluarga yang kaya raya dan bisa memiliki apa pun yang ia inginkan.
Bambang pun akhirnya menghabiskan malam dengan ber-haha-hihi bersama-sama teman sosial medianya.
Di tempat yang berbeda, Juleha dengan kasar membuka gaun yang ia kenakan dengan paksa. Ia tidak peduli, gaun mahal yang dibeli khusus oleh Aminah untuk dirinya, rusak dan koyak. Wanita itu sama sekali tidak suka mengenakan pakaian yang membuat langkah kakinya terseok-seok.
Setelah berhasil melepaskan gaun itu, ia pun seketika merebahkan tubuhnya ke atas ranjang berukuran seratus delapan puluh sentimeter kali dua ratus sentimeter itu. Ranjang biasa dengan desain biasa saja.
Kondisi kamar berukuran empat kali empat meter itu sungguh berbanding terbalik dengan kondisi kamar Bambang. Lemari tiga pintu dan meja rias dengan desain biasa saja (minimalis) menghuni kamar milik Julia Shasmita. Tidak ada satu pun kosmetik apalagi peralatan make up yang menghiasi meja rias Juleha. Justru sebaliknya, meja rias itu terkesan berantakan dengan barang-barang dan atribut kepolisian yang ia punya. Ia bahkan meletakkan topi polisinya di sembarang tempat.
Seumur hidupnya, Juleha hanya punya dua saja kosmetik, yaitu bedak tabur bayi dan juga liptin tanpa warna. Selebihnya, Juleha tidak mengenal lagi yang namanya kosmetik apalagi skincare. Beruntung, wajah wanita berdarah campuran batak dan betawi itu sudah cantik dan mulus sejak lahir. Satu jerawat pun, tidak pernah hinggap di pipi tirus milik Juleha seumur hidupnya. Sungguh, keberuntungan yang sempurna.
Wanita tanpa pengaman apa pun yang baru saja merebahkan tubuhnya di atas ranjang itu, seketika terlelap dan mendengkur. Ia seketika tertidur dengan hanya mengenakan underwear saja. Tidur mendengkur dan tak ada manis-manisnya. Gula jawa kali ah, manis ... hahaha ...
***
“LEHA ... LEHA ... BANGUN ATAU GUE DOBRAK PINTU INI!” Teriak Aminah di saat matahari mulai menampakkan sinar terangnya yang berseri. Sayang, sinar terang itu tidak sebanding dengan terangnya hati Aminah yang harus berteriak setiap paginya oleh ulah putri semata wayangnya.
Sama sekali tidak ada jawaban apa pun dari dalam kamar sang gadis maskulin yang sebentar lagi akan melepas masa lajangnya (dengan terpaksa, hehehe).
“LEHAAAAAAA!!!” Aminah berteriak dengan penuh emosi. Suara soprannya menggema di rumah itu. Seketika terjadi gempa lokal di sana.
Walau sudah terjadi gempa lokal yang menggemparkan isi rumah hingga membangunkan si brewok—kambing kesayangan Edo—namun tetap saja tidak membuat Juleha berkutik. Wanita maskulin itu tetap saja mendengkur dengan nikmat di dalam kamarnya.
“Ya Allah, ini anak tidur apa mati sih?” Aminah bergumam kesal seraya melangkahkan kakinya dengan kasar menuju kamarnya yang terdapat di lantai satu. Ia henda k mengambil kunci cadangan untk membuka kunci kamar Leha.
Namun, baru saja Aminah sampai di tepi tangga, suaminya sudah berdiri seraya menyerahkan kunci cadangan.
“Papa ... Papah tahu aja apa yang mamah butuhkan.” Aminah tersipu malu seraya memeluk tubuh suaminya.
“Ya tahulah aku. Bagaimananya aku tidak tahu, setiap harinya kau mencari kunci ini. Sebelum kau kembali berteriak menyuruhku mengambilnya, sebaiknya aku inisiatif mengantarkannya sendiri. Biar sehat pula telingaku ini.” Edo menutup telinganya dengan ke dua tangannya.
Aminah berkacak pinggang seraya membelalakkan mata. ia menatap suaminya denga tatapan harimau yang siap menyantap mangsa.
“Alamak ... alamat gempa lokal lagi ini.” Edo mencoba mengalihkan pandangannya dengan menatap sekeliling. Ia menggerakkan kakinya seraya turun perlahan menuruni anak tangga menuju lantai satu.
Sebaiknya aku melarikan diri saja, gumam Edo seraya menekan langkah seribu menuju taman belakang rumahnya. Lebih baik ia bermain dengan si Brewok dan si Kucai dari pada harus menikmati gempa lokal di dalam rumahnya.