“Siapa bilang? Dia juga akan tinggal di sini, sama seperti dia tinggal di apartementku. Kenapa lo nggak bisa terima dia ada di sini?” tanya Aletta sarkas.
“Kenapa dia harus ikut? Dia bisa tinggal di rumahnya sendiri, lalu saat pagi hari dia akan datang kalau memang harus bekerja,” jawab Regan kesal.
“Itu akan sangat melelahkan, pagi datang lalu malam pulang. Lagi pula dia akan menjagaku dua puluh empat jam, gue butuh dia setiap saat. Kalau gue butuh sesuatu, gue bisa minta dia untuk melakukan itu. Kalau lo nggak bisa terima dia tinggal di sini, yaudah gue juga nggak akan tinggal di sini. Lebih baik gue balik ke apartement,” ancam Aletta.
“Aku suami kamu. Aku juga bisa melindungi kamu dua puluh empat jam, aku yang seharusnya berhak melakukan itu untuk kamu bukan dia,” tegas Regan.
“Boleh, itu berarti lo harus tinggalkan pekerjaan lo itu. Apa bisa? Gimana bisa lo lindungi gue dua puluh empat jam kalau lo aja kerja. Satya lindungi gue karena emang itu kerjaan dia.” Regan menghela napasnya kasar serta mengusap wajahnya. Saat berargumen dengan Aletta, ia selalu saja kalah dan tak akan pernah bisa menang membuatnya sangat kesal.
“Oke dia tinggal di sini,” tegas Regan sambil menatap Satya tak suka. Pria itu tersenyum penuh arti sambil menundukkan kepalanya.
“Dia harus punya kamar sendiri, aku pikir di atas punya kamar yang banyak. Tak mungkin dia tidur jauh dari kamarku, bagaimana bisa dia melindungiku di saat jauh?”
“Di atas ada kamar lagi, dia bisa tinggal di kamar yang di ujung. Kamu puas?” Aletta tertawa mendengarnya.
“Terima kasih sudah memenuhi keinginanku. Senang bekerja sama dengan anda,” ejek Aletta sambil mengusap punggung Regan sambil berjalan melewati pria itu. “Satya, bawa semua barangku ke atas. Aku ingin melihat kamarku,” kata Aletta sambil berjalan naik ke atas.
“Baik nona,” jawab Satya dengan cepat. Satya juga melewati Regan lalu mengedipkan matanya pada pria itu membuat Regan semakin curiga dengan Satya.
***
“Kenapa lo ikut makan di sini?” tanya Regan tak suka pada Satya.
“Gue yang ajak, lo keberatan? Biasanya dia akan ikut makan kalau gue makan. Kalau lo nggak terima yaudah kita pindah,” kata Aletta sambil bangkit berdiri dan membawa piring miliknya.
“Tunggu, oke kamu duduk. Seharusnya dia bisa makan di belakang atau makan nanti setelah kita makan,” protes Regan.
“Lalu aku akan menunggunya makan?” sarkas Aletta membuat Regan menghela napasnya. “Jadi Satya boleh ikut makan di sini atau tidak?” tanya Aletta lagi dengan sarkas.
“Silahkan,” jawab Regan malas. Aletta kembali duduk dan Satya ikut duduk tak jauh dari mereka. “Hari ini kamu mau kemana?” tanya Regan lembut.
“Ke salon atau ke butik mungkin. Kenapa?” tanya Aletta tak suka.
“Aku hanya ingin tahu kegiatan istriku, apakah itu salah? Wajar bukan seorang suami tahu kemana istrinya pergi?” Aletta menjulurkan lidahnya seperti orang mual karena perkataan Regan.
“Tak perlu bersikap berlebihan,” balas Aletta cuek.
“Besok rekan kerjaku ada yang ulang tahun dan ada perayaan. Mereka minta untuk kita datang, ada Papa juga di sana. Aku harap kamu bisa mengosongkan waktu untuk besok, kamu harus ikut menemaniku,” kata Regan memberitahu.
“Kalau Papa aja ngajak gue pergi malas, apa lagi nemenin lo udah pasti gue nggak mau,” balas Aletta sarkas.
“Kamu istriku, semua orang tahu itu. Apa kata mereka kalau kamu nggak ikut? Kamu mau Papa bertanya-tanya kenapa kamu nggak ikut?” tanya Regan membuat Aletta menghela napasnya kasar.
Wanita itu tak lagi membantah membuat Regan tersenyum. Setelah selesai sarapan Regan berpamitan untuk berangkat kerja. Di saat Regan hendak mencium puncak kepala Aletta, wanita itu langsung saja bergerak mundur.
“Jangan mengambil kesempatan di dalam kesempitan, pergi,” usir Aletta.
Wanita itu masuk ke dalam mobilnya, Satya sudah menunggu di sana. Regan menghela napasnya lalu masuk ke dalam mobilnya. Keduanya pergi dengan mobil masing-masing dan jalan yang berbeda juga.
“Apa kamu sudah menemukan tempat yang tepat?” tanya Aletta begitu mereka sudah jalan.
“Sudah, aku juga sudah pastikan tempatnya aman dan tak akan ada yang mengenal kita. Dokternya juga bisa di ajak bekerja sama, tapi cukup jauh dari sini. Mudah-mudahan pulangnya kita tidak sampai malam, mudah-mudahan jalan tak begitu macet,” kata Satya memberitahu.
Aletta tak lagi bertanya, wanita itu menikmati perjalanan mereka dengan bersandar di jendela mobil. Satya melihat Aletta dari kaca spion yang ada di depan. Mereka tidak pergi ke butik ataupun salon milik Aletta.
Namun mereka pergi ke dokter kandungan untuk memeriksa kehamilan Aletta. Bagaimanapun mereka belum benar-benar memeriksa kandungan Aletta. Setelah menempuh beberapa jam akhirnya mereka tiba di sebuah klinik kecil, namun khusus untuk Ibu dan anak.
Klinik tersebut sangat jauh dari kota, mereka memang membutuhkan waktu untuk tiba di sana. Aletta memakai topi serta masker menutupi wajahnya, bagaimanapun ia tetap takut ada yang mengenalnya.
Begitu turun dari mobil Aletta melihat sekitar cukup takut ada yang mengenalinya serta sedikit takut melihat tempat itu. Satya yang seakan paham langsung saja menggenggam tangan Aletta membuat wanita itu terkejut. Aletta melihat tangan Satya yang menggengga tangannya.
“Aku hanya mau menguatkan kamu, ayo kita masuk,” ucap Satya pelan namun mampu menenangkan Aletta.
Wanita itu dengan mudah menganggukkan kepalanya dan Satya membawa Aletta untuk masuk ke dalam klinik itu masih dengan menggenggam tangannya. Mereka mendaftarkan kedatangan mereka dan menunggu di ruang tunggu sampai nama Aletta dipanggil. Wanita itu hanya mendaftarkan nama depannya saja tanpa nama belakang.
“Nyonya Aletta.” Nama Aletta dipanggil dan wanita itu langsung saja bangkit berdiri. Satya menggenggam tangan Aletta untuk masuk ke dalam.
“Mari silahkan Bapak dan Ibu,” kata dokter laki-laki tersebut. “Sudah pernah periksa sebelumnya? Bagaimana tahu hamil?” tanya dokter tersebut. Aletta langsung saja menatap Satya meminta jawaban.
“Dari testpack saja dok, garisnya dua. Maka itu kita langsung periksa,” jawab Satya berbohong. Dokter tersebut menganggukkan kepalanya paham.
“Bapak namanya siapa? Suami nona Aletta, kan?” tanya dokter tersebut memastikan. Aletta tertegun mendapat pertanyaan tersebut. “Saya ingin menulis dibuku pemeriksaan ini, biasanya memang diminta nama suaminya,” kata dokter tersebut menjelaskan.
“Iya dok, saya suaminya,” tegas Satya entah mengapa membuat Aletta jadi salah tingkah. Dokter tersebut tertawa.
“Kalian sangat gelisah, tapi saya tak melihat anda memakai cincin pernikahan berbeda dengan istri anda,” kata dokter tersebut sambil tertawa menuliskan sesuatu dibuku yang dimaksud. Satya langsung saja melihat jari manisnya yang tak ada cincin berbeda dengan Aletta yang memakai cincin pernikahannya dengan Regan.
“Iya dok, ketinggalan di rumah. Makanya istri saya dari tadi diam karena marah sama saya yang kelupaan,” jawab Satya memberikan jawaban membuat Aletta speechless. Tak pernah terpikirkan olehnya kalau Satya akan menjawab seperti itu.
“Pak Satya harus lebih sabar menghadapi Ibu hamil, mari naik ke atas bangkar saya akan periksa,” kata dokter itu mempersilahkan naik ke atas bangkar. Satya membantu Aletta untuk naik ke atas bangkar.
“Nanti untuk pemeriksaan selanjutnya pakai baju yang nyaman saja Bu supaya mudah untuk diperiksa. Izin saya naikkan gaunnya ya,” kata perawat tersebut meminta izin. Aletta menganggukkan kepalanya, kakinya diberikan selimut dan gaunnya dinaikkan ke atas. Satya ikut serta membantu Aletta tanpa beban melakukan hal itu, seperti sudah biasa. Lalu perut rata Aletta dioleskan gel bening.
“Ibu Aletta takut?” tanya dokter tersebut yang melihat Aletta sepertinya gugup. Satya dengan sigap menggenggam kembali tangan Aletta dengan erat.
“Tenang okey, aku ada di sini sama kamu,” bisik Satya pelan di telinga Aletta. Perkataan Satya itu seperti obat untuk Aletta, karena ketika mendengar itu Aletta benar-benar tenang.
“Semuanya baik dan sehat, tumbuhnya juga baik. Kita akan lihat lagi perkembangannya bulan depan, Ibu harus makan makanan yang sehat. Supaya bayinya juga sehat, nanti setelah beberapa bulan kita bisa mendengar langsung dengan keras detak jantungnya.” Entah mengapa detak jantung Aletta berdetak dengan sangat cepat begitu melihat hasil USG tersebut.
“Kamu senang?” tanya Satya dengan berbisik membuat Aletta sadar bahwa dari tadi pandangannya pada USG tersebut.
“Sudah pasti senang, siapa yang tidak senang mempunyai seorang anak. Siapapun pasti akan senang, Ibu dan Bapak mau anaknya laki-laki atau perempuan?” tanya dokter tersebut ramah.
“Apa saja yang penting sehat dok, ini anak pertama kita,” jawab Satya dengan tersenyum senang.
“Saya sudah duga, melihat Bapak yang sangat bersemangat. Tapi untuk saat ini saya sarankan jangan berhubungan dulu sampai kandungan Ibu Aletta kuat. Kalau memang sangat ingin sekali harus mengeluarkannya diluar agar tidak memancing pendarahan,” goda dokter tersebut membuat pipi Aletta memerah karena paham arah pembicaraan tersebut.
“Baik dok, kita akan ingat. Terima kasih dokter, apakah ada resep vitamin atau s**u untuk ibu hamil untuk istri saya?” tanya Satya.
“Saat ini belum perlu, kita akan lihat bulan depan. Karena Ibu dan bayinya sangat sehat, sepertinya Bapak hebat menjaga keduanya. Nanti kalau perlu pasti akan saya resepkan, hanya saja Ibu tidak bisa sembarangan makan obat. Kalau sakit hubungi saya atau datang ke sini, supaya bisa meresepkan obat yang tepat,” jelas dokter tersebut.
Satya tersenyum senang mendengarnya dan menganggukkan kepalanya. Setelah bertanya beberapa hal Satya dan Aletta akhirnya keluar dari ruangan tersebut. Satya langsung saja menuju kasir untuk membayar, namun Aletta menahannya.
“Kamu mau ngapain? Aku aja yang bayar,” kata Aletta sambil mengeluarkan dompetnya.
“Simpan aja uang kamu, aku juga punya uang. Kamu pikir kamu aja yang punya uang?” tanya Satya dengan sarkas. “Itu juga anakku, aku berhak menafkahinya. Walaupun uang kamu lebih banyak dari aku tapi bukan berarti aku nggak bisa menafkahi kamu sama anakku,” tegas Satya membuat Aletta terdiam.
Kini pria itu kembali bersikap dingin dan tegas padanya. Sikap Satya memang berubah-ubah. Terkadang bisa bersikap manis, tapi terkadang bersikap dingin. Aletta benar-benar dibuat bingung oleh Satya.