Part 8

1592 Kata
    Devan terkekeh melihat Crisy yang tanpa sengaja menginjak jalanan berlubang hingga kakinya kejengklak, heels dua belas centinya patah sebelah. Gadis itu memanyunkan bibirnya kesal.     “Bantuin dong, Pak. Masa diketawain, dasar nggak peka.” Devan makin tergelak. Crisy pun mendengkus, bagian pergelangan kakinya sedikit lecet. Sedikit terseok ia menuju tempat duduk di emperan toko. Mengembuskan napas kesal, Crisy ingin sekali melempar si bos dengan patahan heelsnya. Tangan Crisy meraba kakinya yang kotor dan berdarah. Gadis itu meringis.     “Jangan disentuh,” cegah Devan. Pria itu melepaskan jasnya, menyerahkan pada Crisy.     “Ikat ini di pinggangmu.”     Bukannya menurut, Crisy malah melongo menatap si bos tampan. Ada kebingungan di wajahnya.     “Kenapa bengong, atau mau aku yang pakaikan?”     “Ah, nggak, nggak ... saya pakai sendiri. Tapi untuk apa saya pakai ini?” tanya Crisy sembari berdiri. Ia pun mengikat jas itu di pinggangnya sesuai perintah. Membiarkan jas itu menutupi bagian bawah tubuhnya. Belum lagi selesai dengan kebingungannya, tiba-tiba Devan berjongkok di depan Crisy. Gadis itu jadi gugup, Devan mendongak menatapnya.     “Lepaskan sepatumu, Sassy girl.”     “Tapi ....”     Devan sudah menyentuh sepatu Crisy yang masih utuh. Mau tak mau, Crisy pun melepaskan sepatunya, sembari menyaksikan apa yang akan dilakukan Devan. Segera setelah itu Devan membanting sepatu itu di trotoar, hingga heelsnya pun copot. Lalu memasangkan. kembali di kaki sang gadis. Banyak orang memerhatikan mereka. Namun, Devan tak peduli.      Sementara Crisy, ia terpaksa menunduk dengan wajah merona. Devan bangkit setelah berhasil memasangkan kembali sepatu gadis yang bersamanya. Berdiri sejajar kini ia merangkul bahu Crisy. Sedikit gugup Crisy menoleh hingga pandangan keduanya bertemu. Mereka berdua sama-sama terpana dan gugup dalam waktu yang bersamaan.     “Kamu masih bisa jalan, 'kan?” Crisysian mengangguk. Gadis itu pun melangkah dalam rangkulan Devan. Sedikit tertatih, karena sepertinya pergelangan kaki kiri Crisy terkilir.     Devan memerhatikannya dengan seksama. Rasa bersalah mengusik hati pria itu, karena tadi ialah yang memaksa Crisy jalan-jalan di Malioboro. Padahal gadis itu sudah mengaku lelah setelah meeting terakhir mereka dengan Bank Pembangunan Jogja. Mungkin karena kelelahan membuat Crisy kurang hati-hati hingga terjatuh. Ia tak melihat lubang kecil di jalan yang mereka lewati. Melihat Crisy yang meringis sembari sesekali memegangi kakinya, Devan pun melepaskam rangkulannya dan berjongkok di depan Crisy.     “Naiklah.” Ia menyodorkan punggungnya.     “Eh, ta‒tapi, Pak. Sa‒saya ....”     “Naik, atau aku gendong kamu dengan cara yang lain.”     Crisy membenahi penampilan, berusaha menurunkan rok pendeknya. Saat itu ia pun menyadari ada sedikit robekan di sisi kiri roknya. Crisy jadi merasa tersanjung dengan perlakuan Devan. Perlahan gadis itu mengulurkan tangan, lalu melingkarkannya di leher sang pemuda. Menjatuhkan badan pada punggung Devan dengan perasaan gugup setengah mati. Wajahnya sudah memerah bagai kepiting rebus. Apalagi ketika kedua tangan Devan bergesekan dengan kakinya. Jika saja jantung Crisy bisa berlari, mungkin sekarang jantung itu benar-benar akan melarikan diri dari tempatnya.     Apa yang dirasakan Devan tak jauh beda dengan Crisy. Baju Devan yang digulung sampai siku membuat lengannya bergesekan dengan kaki jenjang Crisy yang halus dan mulus. Pria itu tercekat, napasnya seakan terhenti seketika. Ada geleyar aneh yang mengganggu impuls sarafnya, menghantarkan sengatan-sengatan aneh yang membuat Devan kepanasan. Sungguh bertentangan dengan cuaca malam di Jogja yang dingin.     Devan melepaskan kaki Crisy, memilih melonggarkan dasi dan membuka kancing teratas kemejanya lebih dahulu. Barulah kemudian ia kembali mengunci kaki sang gadis, sebelum mengangkat naik tubuh itu. Mereka melangkah dalam diam, sama-sama berusaha menetralkan degup jantung masing-masing. Devan sesekali menarik napas dalam, ketika merasakan hembusan napas Crisy di lehernya. Perasan pemuda itu tak menentu.     “Cris,” panggilnya guna menghapus kecanggungan.     “I‒iya, Pak.” Devan terdiam sejenak.     “Jangan panggil Pak, dong. Kalau sedang berdua seperti ini, enaknya panggil nama aja, atau Mas Devan, mungkin. Lagian umurmu hanya terpaut beberapa tahun di bawahku.”     “Tap‒tapi nggak enak, Pak. Bapak, Bos saya.” Devan menghela napas, kemudian mengulas senyum tipis. Mengangkat tubuh Crisy yang sedikit melorot guna membenarkan posisi gadis itu.     “Itu kan dalam lingkungan kerja, Cris. Tapi sekarang kita kan sedang ....” Devan menggantung ucapannya. Mencoba merangkai kata dengan baik, tapi berakhir bungkam.     “Kamu pasti lapar, ya.” Pria itu mengalihkan percakapan. Menatap lampu-lampu jalan yang beradu dengan lampu toko dan restaurant yang berjajar di sepanjang Jalan Malioboro. Ada juga para pedagang kaki lima yang mewarnai tempat itu. Semuanya tampak apik dan indah di malam hari.     “Mau makan di sana?” Devan menunjuk dengan dagunya. Crisy menoleh ke arah yang sama, arah beberapa meter dari tempat mereka berada. Berpikir sejenak sebelum mengangguk.     “Boleh juga, Pak,” jawab Crisy.     “Tapi, Pak ... boleh turunkan saya dulu, nggak? Nggak enak banget dilihat orang dari tadi.”     “Kamu ternyata pemikir dan perasa, ya. Biarkan saja kenapa, kamu itu sedang sakit.”     “Ini bukan western, Pak. Kita ada di Indo dan ... Jogja.” Devan mengerti maksud Crisy. Gadis itu pasti menyinggu soal adat, tata krama dan etika. Namun, Devan melakukan itu dengan alasan tertentu, 'kan? Itu karena Crisy sedang terluka.     “Pak ...,” panggil Crisy.     “Setidaknya panggil aku, Dev. Baru akan kuturunkan.” Crisy menelan ludah. Rasanya semua tercekat di tenggorokan membuatnya sulit bernapas. Kata-kata Devan menggelitik hatinya, membuatnya berdebar tak karuan.     “Ba‒baiklah, Pak Dev.” Devan menghela napas kesal, menunggu Crisy memanggilnya Dev, serasa menunggu bintang jatuh di musim hujan. Crisysian yang menyadari itu pun mencoba menenangkan kegugupannya yang luar biasa.     “Bisa turunkan saya, Dev. Please ....” Devan tersenyum, menoleh ke arah Crisy hingga tanpa sadar mata mereka saling bertemu. Wajah Crisy merona merah, sementara Devan kembali memanas. Ia yakin telinganya sekarang juga sedang memerah. Sialan! Rutuknya dalam hati.     “Kenapa susah sekali mengendalikan perasaan ini?” gumamnya.     “Apa, Pak ... eh ..., Dev.”     “Nggak, bukan apa-apa.” Wajah dan telinga Devan makin memerah, perlahan ia menurunkan Crisy dengan sangat hati-hati. Namun, karena keduanya sama-sama gugup, Crisy terpeleset. Segera Devan menangkap tubuh gadis itu. Memeluk pinggangnya erat menariknya, hingga mereka bertabrakan. Tangan Crisy bertinggah tepat di d**a Devan. Mata mereka saling mengunci, sementara jantung mereka sama-sama memburu. Cukup lama mereka terdiam saling memandang. Devan pun memberanikan diri mengangkat tangannya. Merapikan anak rambut yang menutupi wajah cantik gadis di depannya. Menyampirkannya ke belakang telinga kemudian mengusap lembut pipi Crisy yang merona.     “Cris ...,” bisiknya rendah membuat Crisy meremang, sesak napas. Apalagi ketika tiba-tiba Devan mendekatan wajahnya, mengikis jarak di antara mereka. Sedikit memiringkan wajah, mengarahkan bibirnya untuk bertemu dengan bibir Crisy. Crisy tak bisa lagi menahan degup jantungnya. Dengan serta merta memejamkan kedua matanya merasakan sapuan hangat napas Devan yang semakin lama semakin dekat.     Namun, ketika Crisy benar-benar pasrah menyambut sentuhan bibir Devan, hujan tiba-tiba turun mengguyur keduanya. Devan menarik wajahnya lalu mendongak menatap langit. Tersenyum senang ia mengacak rambutnya kemudian mengibaskannya sembarangan. Air hujan pun terciprat ke mana-mana. Lalu tanpa aba-aba ia menarik Crisy dalam pelukannya, memutar tubuh gadis itu sambil berteriak bahagia.     “I love you my sassy girl!”     Crisy yang tak menyangka mendapatkan perlakuan seperti itu pun mengeratkan pelukannya agar tak terjatuh. Beberapa kali tubuh Crisy diputar di udara barulah Devan menurunkannya tanpa melepas pelukan. Memandang Crisy dengan binar cinta di matanya.     “Cris, kali ini aku serius bertanya padamu. Would you be my girlfriend? Cause i love you. Aku ingin berkencan denganmu ....”     Crisy terdiam dengan rona merah di wajahnya. Ia menunduk mencoba merenungkan peristiwa yang tengah dialaminya sekarang.     "Hei, apa kamu meragukanku?" tanya Devan, saat melihat Crisy hanya menunduk.      "Aa, bukan begitu, Pak. Hanya saja ini terlalu ... cepat."     Devan terkekeh, lalu menarik gadis itu dalam pelukannya. "Apa kau tak pernah dengar cinta pada pandangan pertama? Begitulah yang kurasakan. Saat melihatmu di kantor waktu itu aku sudah tahu apa yang dikatakan hatiku. Karena itulah aku berusaha untuk mendekat dan jadi lebih dekat lagi denganmu. Perasaanku ini tulus, Cris, dan aku tahu kau pun memiliki perasaan yang sama denganku. Benar, 'kan?"     "I-itu ...."     "Ayolah, Cris ...." Devan mengurai pelukannya, menatap wajah Crisy yang makin merona. "Kamu tak akan menolakku, 'kan?"     "Tidak," sahut Crisy malu-malu. "Bagaimana aku bisa menolakmu, jika hatiku pun menginginkannya."     Devandra tersenyum mendengar ucapan Crsiy, ia pun menarik wajah gadis itu dan menjatuhkan kecupan hangat di keningnya. Crisy pun menerimanya dengan senyum manis tersemat di bibirnya. Perasaanya menghangat setelah sekian lama membeku karena perlakuan Kenzo. Kini Crisy ingin mencoba sekali lagi.     "Terima kasih," ucap Devan, lalu kembali membalik badan. "Ayo naiklah, kita kembali ke hotel. Aku tak ingin kamu sakit. Lihat kita berdua basah kuyup."     Crisy mengangguk. Ia pun kembali naik ke atas punggung Devan. Pria itu pun membawa Crisy kembali ke mobilnya.     Karena keadaan keduanya yang basah kuyup tak ayal mobil Devan pun turut basah karenanya. Namun, hal itu tak membuat hati mereka membeku, sebab dengan tangan yang saling bertautan, keduanya tetap merasa hangat dalam ikatan cinta yang baru saja bersemi.     Sampai di kamar masing-masing, baik Devan maupun Crisy sama-sama membersihkan air hujan yang menempel di badan dengan mandi air hangat. Setelahnya, Clary memutuskan untuk turun ke restaurant hotel untuk makan malam.     Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Devan sudah berdiri di depan pintu kamarnya. "Makan malam di kamar?" ajaknya.     Crisy mengertukan dahi menatap curiga. "Kamu tak akan memanfaatkan kesempatan, 'kan?" tanyanya membuat Devan tertawa terbahak-bahak.     "Kamu sangat curigaan, apa jadinya jika sekarang aku tiba-tiba melakukan hal yang tak senonoh, ck, ada-ada saja." Devan menggeleng pelan, lalu masuk ke daam kamar Crisy tanpa dipersilahkan. "Aku tahu bagaimana harus menjaga sikap, kamu tenang saja."     Crisy pun menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia tersipu malu, menyusul pria itu masuk ke dalam kamar. "Kenapa tak meminta room service membawanya?" Gadis itu memerhatikan Devan yang sibuk memindahkan makanan dari atas troli.     "Bukan apa-apa, hanya tak ingin petugas itu mengganggu suasana makan malam romantis kita. Oh, ya, bagaimana kakimu?"     "Kamu bisa lihat sendiri." Clary menunjukkan kakinya. Devan pun menatap kaki Crisy yang bengkak dengan raut sedih. Sesaat ia melangkah mendekati telepon yang ada di masing-masing kamar. Meminta bantuan pihak hotel untuk memanggilkan seorang dokter.     "Tenang, ya. kamu pasti akan sembuh, dokter sebentar lagi datang."      Crisy mengangguk. Membiarkan Devan melayaninya bak seorang permaisuri. Meski dengan kaki bengkak dan berdenyut sakit, malam ini ia merasa sangat bahagia dengan kehadiran Devan di sisinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN