Devan memandang lekat gadis manis yang duduk di sebelahnya. Kaki Crisy sedikit bengkak setelah kejadian semalam. Itulah kenapa kini mereka hanya menghabiskan waktu di taman villa sewaan. Kemarin dokter sudah memeriksa kondisi Crisy, beliau mengatakan gadis itu akan sembuh setelah tiga atau empat hari. Semua rencana yang disusun Devan berakhir gagal.
“Jadi, Kenzo itu ...?” Devan menggantung ucapannya. Crisy menoleh sekilas, lalu kembali memandang kolam ikan di depannya. Membiarkan n****+ yang sedang ia baca tergeletak di atas meja. Semilir angin berhembus mencoba memainkan lembar demi lembar dari buku itu.
“Kami pacaran selama kurang lebih dua tahunan. Ken bahkan pernah berencana melamarku,” tutur Crisy, sesekali menunduk memerhatikan jemarinya yang kosong tak memakai cincin. Barulah kemudian mengangkat wajah dan tersenyum.
“Mungkin belum jodoh. Aku bersyukur Tuhan menunjukkan kebejatannya sekarang. Tak bisa kubayangkan jika tahu ia bermain serong setelah kami menikah. Itu akan buruk sekali.”
Devan menatap Crisy sambil tersenyum. Menyampirkan rambut gadis itu ke belakang telinga membuat Crisy terdiam dan memandangnya tak berkedip. “Apa kamu percaya padaku?” tanya pemuda itu.
Crisy hanya mematung, diam tak memberi respon. Sampai Devan dengan lancang menarik hidung mancungnya. “Kamu boleh nggak percaya padaku sekarang, tapi jangan lama-lama sekarang kamu pacarku, jadi coba berikan kepercayaan itu pada hubungan kita.” Devan mengacak poni Crisy. Kemudian bangkit meninggalkan gadis itu. Crisy memegang d**a, jantungnya selalu saja bermaraton setiap Devan bersikap manis seperti itu. Itulah kenapa ia ingin memberi kesempatan pada hubungan yang dimaksud Devan. Ya, semalam ketika di tengah hujan Devan menyatakan cinta, Crisy menerimanya.
“Kamu tahu, padahal aku sengaja mengajakmu ke sini untuk jalan-jalan. Tapi yang ada sekarang malah seperti ini, aku jadi merasa bersalah.” Devan kembali dengan dua cangkir the di tangannya. Sembari menyodorkan secangkir teh camomile yang ia buat, Devan mendudukan dirinya kembali di atas kursi. Mengambil buku n****+ dari tangan Crisy, lalu memutar kursi kayu gadis itu agar berhadapan dengannya.
Crisy menatap Devan dengan rasa gugup yang luar biasa, sebulan wara-wiri bersama Devan mengurus ECV membuat Crisy semakin mengagumi pria di depannya. Bagaimana Devan melindunginya dari Kenzo adalah point yang begitu berharga bagi Crisy. Gadis itu merasa dispesialkan dan membiarkan cintanya tumbuh sekali lagi. Mungkin dengan Devan, hubungan itu akan tercipta dengan lebih baik. Tangan Devan terulur, kembali merapikan anak rambut Crisy yang berantakan diterbangkan angin. Menyampirkannya di kedua telinga sang kekasih. Sembari mengulas senyum manis, pria itu memerhatikan setiap lekuk wajah cantik di depannya membuat Crisy menunduk malu.
“Jangan menatapku dengan cara seperti itu, aku jadi sangat gugup, Dev,” ucap Crisy sedikit menyembunyikan wajah. Devan pun tersenyum semakin lebar.
“Benarkah?” Ia mengangkat dagu Crisy. “Aku hanya sedang berpikir tentang betapa bodohnya Kenzo telah menyakitimu, bahkan selingkuh dengan sekretarisnya yang jelas tak secantik dirimu.”
“Apa semua hal harus dinilai dari kecantikan?” Crisy melepaskan diri dari tatapan Devan. Ia mengambil novelnya kembali sebelum berucap, “Kita sama-sama dewasa, baik kamu maupun Kenzo sama-sama pernah mengenyam bagaimana bebasnya hidup di dunia barat. Jadi jika kamu menginginkan apa yang diinginkan Kenzo dariku, kukatakan sejak awal itu akan sia-sia. Aku tak akan melakukannya.”
Devan mengerutkan dahi, sesaat kemudian ia menyesap teh hangat buatannya. Barulah menanggapi ucapan Crisy. “Maksudmu ... tidur bersama ... s*x ...?”
Crisy hanya diam, bahkan menunda gerakan membalik halaman buku. Ingatannya memutar sekelumit peristiwa ketika Kenzo pernah ingin merayakan malam bersama dengannya. Namun, berakhir Kenzo pulang dengan wajah kecewa. Sejak saat itulah Kenzo sedikit berubah. Berdalil selalu tugas keluar kota. Hingga Crisy tahu Kenzo berbohong. Pria itu ketahuan masuk kamar hotel bersama sang sekretaris. Kebetulan saat itu Crisy sedang punya jadwal meeting di hotel yang sama. Bersama Rio, Crisy langsung menangkap basah kekasihnya.
Berpura-pura sebagai room service, ia mengetuk pintu kamar itu. Kenzo membukanya dengan bertelanjang d**a, hanya menutupi bagian bawahnya dengan handuk. Sementara wanita itu menanti di atas ranjang dengan tubuh tanpa busana. Bisa dibayangkan bagaimana hancur perasaan Crisy saat itu. Namun, dasarnya ia sudah terlanjur cinta maka hampir saja Crisy kembali menerima pria itu. Kalau saja Rio tak menghalangi dan memberinya nasehat. Crisy sangat bersyukur punya sahabat sebaik Rio, dia selalu ada untuk Crisy. Mendukung gadis itu dalam segala situasi. Sayangnya Rio sudah punya pacar, jika tidak bisa-bisa Crisy jatuh hati pada pemuda itu.
Mencintai, bukan berarti rela menyerahkan segalanya. Kesucian dan harga diri wanita terletak pada sejauh mana ia menempatkan diri dan melindungi diri hingga tak terjatuh hanya atas nama cinta. Crisy bisa berbangga diri dengan semua itu, karena kenyataan Kenzo bukanlah pria setia. Coba bayangkan bagaimana jika ia menyerahkan mahkotanya pada pria busuk itu. Maka hidup Crisy sekarang pasti benar-benar hancur.
“Aku suka wanita yang memiliki nilai moral ketimuran seperti itu. Peradaban yang terlalu bebas kadang menimbul banyak masalah. Bebas bukan berarti kita bisa memberi segalanya.” Devan menjeda ucapannya. Melempar pandangan pada awan yang berarak di langit lalu kembali menoleh Crisy yang masih diam.
“Skin ship mungkin aku butuhkan dalam mengikat hubungan, ciuman dan pelukan aku anggap itu biasa. Tapi jika kamu melarang aku akan menghargainya.” Crisy menoleh pada Devan, menatap tak percaya akan setiap ucapan yang keluar dari mulut pria di sebelahnya.
“Kurasa kamu terlalu arogan mengatakan semua itu,” cibir Crisy kemudian. “Buktinya semalam kamu ingin menciumku, padahal kita belum terikat hubungan apa pun.”
Devan terkekeh pelan. “Jangan lupakan fakta kamu bersiap menerimanya, Sassy girl.” Devan mencondongkan wajahnya ke telinga Crisy dan berbisik, “Kamu memejamkan mata, Sayang.”
Crisy kembali merona, jantungnya bergemuruh luar biasa. Ia menoleh bermaksud untuk protes. Namun, tercekat diam ketika mata mereka bertemu. Wajah Devan terlalu dekat, napas keduanya beradu. Devan pun memanas, sengatan-sengatan listrik itu kembali mengusik impuls sarafnya. Keduanya saling memandang lekat, tak ada yang mau melepaskan diri lebih dulu. Tangan Devan terulur, menyusupkan jemari di sela-sela rambut Crisy yang terurai. Rasa mereka membuncah satu sama lain, degup jantung keduanya bahkan terdengar bertalu tak seirama.
Ada sesuatu yang menggelitik di dalam perut Crisy ketika Devan kembali memperlakukannya seperti semalam. Bahkan ketika kini Devan mengikis jarak di antara mereka, Crisy pun terlalu lemah untuk menolak tatapan cinta di mata sang kekasih. Pada akhirnya, Crisy memilih menutup mata ketika bibir Devan bertemu dengan bibirnya. Mungkin ini terlalu cepat bagi Crisy untuk membuka diri kembali setelah dikhianati.
Namun, Crisy bukanlah wanita yang akan larut terlalu lama dalam kesedihan. Luka hati hanya bisa disembuhkan oleh dua hal, waktu dan orang baru. Ia pernah membaca itu di salah satu buku. Itulah kenapa Crisy memutuskan untuk menerapkan dua prinsip itu. Waktu dan orang baru, Crisy akan mempercayakan masalah hatinya di sana. Apalagi menurutnya Devan juga orang yang baik, jadi tak salah jika ia mencoba lagi.
Ciuman Devan terlepas, pria itu kembali duduk dengan benar, Crisy pun mengalihkan pandangan ke tempat lain. Ia serasa terbakar, Crisy yakin jika sekarang seluruh wajahnya pasti memerah. Ia mengambil teh camomile di atas meja, segera meminumnya guna menghalau kegugupan. Diliriknya Devan juga melakukan hal yang sama. Crisy pikir hanya ia yang salah tingkah. Namun, kenyataan Devan pun sama gugupnya. Pria itu bahkan tak berani menoleh. Sungguh mereka seperti bocah yang baru saja mengenal cinta. Padahal umur mereka bahkan sudah pantas memasuki jenjang pernikahan.
“Cris.” Crisy menoleh pada Devan. Telinga pria itu memerah dan jemarinya bergerak gelisah memegang cangkir teh di atas meja. Kecanggungan menyelimuti keduanya.
“Mmm ... sepertinya langit mulai mendung, apa tak sebaiknya kita masuk ke dalam?” Crisy melirik langit sekilas. Apa yang dikatakn Devan memang benar, awan hitam sudah bergulung-gulung menutupi Jogja. Gadis itu pun mengangguk.
“Kamu benar, ayo kita masuk.” ucapnya. Crisy pun mencari tongkat penyangganya. Namun, belum lagi berhasil menemukan benda itu, tiba-tiba saja ia melayang di udara. Rupanya Devan mengangkat tubuh Crisy tanpa permisi.
“Dev, apa yang ...?”
“Sst ... kalungkan saja tanganmu di leherku dan biarkan aku melakukan tugas sebagai kekasihmu.”
“Jadi ini hanya tugas?” tanya Crisy, menatap Devan sambil mencibir.
“Sebenarnya bukan,” balas Devan dengan senyum jahil terukir di wajah. Ia mulai melangkah dengan tubuh Crisy bertumpu pada tangannya.
“Katakanlah aku sedang mencoba menaklukkan hati seorang wanita angkuh, blak-blakan dan tak tahu sopan santun. Tapi sayangnya ia sangat cantik dan menawan.”
“Aw!” Crisy mencubit perut Devan.
“Katakan sekali lagi aku kenapa, huh? Angkuh, blak-blakan dan apa lagi? Lalu bagaimana dengan Tuan pemabuk yang muntah di sembarang tempat tak tahu aturan? Merugikan orang lain, tanpa meminta maaf dan rasa bersalah.”
Devan tertawa mengingat semua kejadian konyol itu. Saat itu ia sangat kesal pada wanita yang menyiramkan jus strowbery padanya dan Andres teman minumnya. Tak disangka sekarang ia malah mencintai wanita itu. Takdir hidup manusia memang aneh, dipertemukan dengan cara yang aneh pula. Devan tersenyum dalam hati. Melangkah pelan sembari saling menatap dan mengagumi, serta diiringi celotehan-celotehan kecil yang menghangatkan suasana. Tanpa sadar langkah Devan telah sampai di dalam kamar Crisy. Pria itu menjatuhkan Crisy di atas ranjang dengan pelan penuh kasih sayang.
“Kamu aku tinggal sebentar nggak masalah, 'kan?” Crisy menggeleng sebagai jawaban.
“Ada ini,” jawab Crisy sambil mengangkat n****+ di tangannya. Ia memperbaiki posisi duduk untuk bersandar di headbed.
“Baiklah, kalau begitu selamat membaca.” Devan pun mengusap poni Crisy sebelum pergi. Sejenak ia melambaikan tangan pada gadisnya sebelum menutup pintu. Melangkah menjauh dari kamar itu, Devan mengambil ponsel yang bergetar sedari tadi dari saku celana. Ada nama Raiza di sana, Devan pun menjawab panggilan dari sahabatnya.
“Jadi bagaimana?” tanya Raiza tanpa basa-basi. Devan tersenyum miring, ada ekspresi kemenangan di wajah pemuda itu.
“Menurutmu?! Memangnya siapa yang bisa menolak pesona, Devandra Zaky Justin.”