Seulas senyum manis terpatri di wajah cantik Crisy. Semua hal terkait ECV sudah tuntas, meskipun menyisakan satu masalah pada Adi Dana Bank. Namun, karena si bos memberi keputusan mutlak untuk tidak menerima dan memberikan tawaran kerjasama apa pun dengan bank tersebut, jadi Crisy diam saja.
“Cris,” panggil Rio dari dalam cafetaria. Mereka memang janjian untuk makan siang bersama hari ini. Crisy pun melambaikan tangannya dan mendekati pria itu.
“Gue pesan dulu,” ucap gadis itu setelah menyapa rekannya.
Seperti biasa, di depan tempat pemesanan makanan ia akan mematut diri cukup lama. Memerhatikan menu yang tersedia di dalam rak kaca. Ada sesuatu yang sedikit berbeda terpajang di dalam rak yang membangunkan rasa penasaran Crisy. Jika selama ini yang ada di dalam sana hanya sayur lodeh, tempe bacem, telor balado dan sejenis makanan kampung lainnya. Kini rak kaca itu dipenuhi dengan sea food yang diolah bermacam-macam.
“Ada acara apa, Bi Ijah? Perasaan acara tahunan masih lama. Tumben makanannya bervariatif.” Bi Ijah si penjaga cafetaria tersenyum malu.
“Dimarah si bos, Non. Katanya makanan yang dulu-dulu nggak mutu. Padahal makanan itu menyehatkan, iya 'kan, Non Crisy.” Gadis cantik itu manggut-manggut. Mengambil satu kue dadar gulung dan memakannya.
“Dan murah,” sahutnya sembari mengunyah dan menikmati kuenya.
“Hehehe ... iya juga, Non Crisy. Tapi makanan kali ini justru gratis, Non.” Bi Ijah tampak mengambil beberapa potong ikan untuk pelanggan yang lain sebelum mengambilkan pesanan Crisy.
“Hah?! Yang bener, Bi?” tanya Crisy tak mempercayai pendengarannya.
“Iya, Non. Pak Devan menginstruksikan memberi kupon makan gratis buat seluruh karyawan. Sudah dimulai sejak empat hari lalu. Masa Non Crisy nggak tahu.”
“Wah, kudet nih saya, Bi. Soalnya selama beberapa hari nggak pernah mampir.” Crisy mulai menunjuk makanan yang ia inginkan. Sambil terus mengobrol. Seorang karyawan yang lain pun datang dan menunggu antrean setelah Crisy memilih makanannya.
“Iya, Non Cris nggak pernah kelihatan. Dengar-dengar program yang akan berlangsung itu milik Non Crisy, ya. Bu Deswita sempet kesel banget karena programnya nggak disetujui.”
“Wah, Bi Ijah sudah kayak informan aja.” Crisy terkekeh begitupun Bi Ijah.
“Eh tapi, Non. Kalau sudah lounching Bibi boleh daftar, dong ya?” tanya Bi Ijah bersemangat.
“Tentu saja, Bi. Bibi mau ke negara mana memangnya?” Crisy berhenti memilih makanannya.
“Mau umroh, Non. Kalau bisa sama keluarga.”
“Wah, keren tuh, Bi. Nanti Bibi data aja siapa yang ingin ikut. Biar kita bisa siapkan semuanya, atau ....” Crisy mencondongkan wajahnya ke arah Bi Ijah. Kemudian bicara sambil berbisik.
“Tunggu program ini berhasil. Saya sudah usulkan sama Pak Devan untuk memberikan paket umroh gratis bagi sepuluh orang yang beruntung. Semoga Bi Ijah salah satunya. Tapi ini masih rahasia jangan sampai bocor.”
Mata Bi Ijah berbinar. “Benar, Non?” Crisy mengangguk penuh keyakinan.
“Eh, tapi saya nggak punya kupon makannya ini gimana, Bi? Saya bayar aja ya.”
“Sudah buat Non Crisy hari ini gratis, itu hadiah dari Bibi karena program Non Crisy menang.”
“Wah makasi banget, Bi. Doakan semua lancar, ya,” ucap Crisy penuh syukur.
“Iya, Non Crisy. Sama-sama, sukses selalu buat Non Crisy.”
“Buat Bibi juga,” balas Crisy sebelum pergi dari sana menuju meja Rio.
“Ngomongin apa sama Bi Ijah? Lama bener ngambil makan segitu aja.” Rio meneguk teh hangat dalam gelasnya lalu melanjutkan menyuap makanannya.
“Nggak, cuma gosip ringan seputar kantor,” sahut Crisy sambil mendudukan dirinya bersebrangan dengan Rio.
“Eh lo ama si bos ada sesuatu, ya?” tanya Rio to the point. Crisy yang baru memasukkan sesuap nasi ke mulutnya pun terdiam menatap Rio dengam terkejut.
“Maksud, lo?” Crisy mengunyah makanannya sambil mengerutkan dahi memikirkan pertanyaan Rio.
“Yah, gosip tuh gampang nyebar. Di kantor ini, nggak hanya manusia yang bisa mendengar, bahkan tembok juga. Katanya bahkan, si bos menolak Bank Adi Dana karena di sana ada Kenzo. Boss nggak mau lo deket lagi sama si Ken. Beneran?”
“Ngarang banget sih. Kalau si bos tahu siapa biang gosipnya, bos pasti bakal marah besar.”
“Eh, tapi menurut gue, si bos emang suka deh sama lo, Cris. Waktu itu aja dia ngancam gue.”
“What!? Serius lo? Ngancam apaan emangnya?” tanya Crisy penasaran. Akhirnya, Rio pun menceritakan kejadian malam itu. Crisyian hanya bisa menganga mendengarnya. Sialnya ketika ia ingin bergosip lebih banyak lagi, ponsel Crisysian berbunyi. Nama si boss terpampang di sana.
Tak berapa lama di sinilah sekarang ia berada. Di dalam ruangan dengan gambar pencapaian dan penghargaan yang didapat Travel J dari tahun ke tahun yang menempel di dinding. Mulai dari sisi kanan ada penghargaan sebagai perusahaan travel terbaik selama empat tahun berturut-turut. Kemudian ada penghargaan untuk pengusaha muda terbaik di tahun yang entah keberapa Crisysian tidak dapat melihat angkanya.
Mungkin itu pada masa presdir yang terdahulu, atau masa kakeknya Devandra sebagai pendiri perusahaan. Crisy tak begitu peduli, yang pasti sekarang ia tengah memasang tampang masam menatap nyalang pada Devandra. Sementara Devandra malah acuh, mengabaikan Crisy sambil memeriksa berkas yang menumpuk di mejanya.
“Bagaimana kesannya makan di cafetaria dengan menu baru?”
What the ... Crisy ingin mengumpat kesal pada si bos. Hanya karena ingin menanyakan hal seperti itu, ia harus merelakan sisa waktu makan siangnya hangus begitu saja. Padahal waktu itu bisa ia manfaatkan untuk bergosip.
“Mmm ... lumayan,” jawab Crisy sambil menjatuhkan tubuhnya di sofa tanpa permisi. Devan meliriknya. Sedikit tertegun karena penampilan wanita itu yang tak seperti biasanya. Rok hitam pendek ketat dengan heels sebelas centi menampilkan kaki jenjangnya yang putih mulus tanpa goresan. Sementara kemeja peach lengan panjang dengan pita di bagian leher juga melekat sempurna mengekspose bentuk tubuh Crisy.
Tanpa jas Crisy terlihat sempurna. Elegan dengan make-up tipis dan rambut diekor kuda. Devan menelan ludah, kembali menunduk menyibukkan diri dengan berkas-berkasnya sembari menyembunyikan detak jantungnya yang bertalu. Suasana di ruangan itu sangat hening, selain detak jam dinding entah kenapa tak ada dari mereka yang memulai pembicaraan. Sampai kemudian keduanya mendongak bersamaan ketika pintu ruangan dibuka tanpa permisi.
“Ah, maaf. Apa aku mengganggu kencan kalian?” Raiza berdiri di ambang pintu.
“Diam kau! Cepat masuk,” kesal Devan. Setelah itu ia berdiri dan melangkah ke arah sofa. “Lain kali bisakah kamu pakai rok yang lebih panjang, Cris?”
“Eh?!” Crisy memandang Devan yang kini duduk di sofa disusul oleh Raiza. Sejenak kemudian ia memindai penampilannya.
“Apa penampilan saya melanggar aturan? Apa ada aturan baru yang saya tidak tahu? Mmm ... seperti aturan makan di cafetaria yang memakai kupon gratis? Atau larangan memakai rok pendek di atas lutut?”
Devan mengalihkan wajah sebal, sementara Raiza malah cekikikan. Crisy pun semakin bingung. Sesaat ia mencondongkan wajah ke arah Raiza ketika pria itu memberi kode untuk mendekat dengan tangannya. “Dia sedang cemburu,” bisik Raiza membuat Devan yang sedang meminum minuman botol terbatuk seketika. Kedua orang itu pun menoleh pada si boss.
Kedua pasang mata Crisy dan Devan bertemu, saling pandang sesaat lalu Devan mengalihkan tatapannya dengan telinga yang memerah. Sial jantungnya kembali berdebar kencang. “Sudah jangan bicara omong kosong di sini!” bentak Devan pada Raiza. Ia tak sungguh-sungguh. Hanya saja harus ada sesuatu yang dilakukan Devan sebagai pengalihan dari rasa gugupnya.
“Mana laporan yang kuminta?” tanyanya pada Raiza dengan nada yang dibuat seserius mungkin. Devan pun menyerahkan berkas yang dibawanya.
“Itu, apa laporan mengenai persiapan louching ECV bulan depan?” Crisy penasaran. Devan pun mengangguk. Membuka lembaran dalam map dan membacanya dengan seksama.
“Karena ini programmu, jadi aku ingin kamu membaca perencanaan ini. Pelajari, jika ada yang tidak kamu setujui, silahkan bikin rancangan baru, akan kita bahas di meeting bersama team dua hari lagi.” Devan menjelaskan sembari menyodorkan map di tangannya.
“Jadi rancangan ini belum final, ya?” Kini Crisy yang melihat isi map itu. Hanya sekilas, karena sesaat kemudian ia langsung menutupnya.
“Koordinasikan dengan Bu Farah. Ingat aku ingin semua sempurna.” Devandra bangkit dari duduknya kembali ke meja kerjanya.
“Baik, Pak,” jawab Crisy. Ia pun berdiri ingin undur diri sebelum Devan kembali bicara.
“Cris, persiapan juga notulen rapat untuk di Jogja empat hari lagi. Kamu akan ikut denganku.”
“Lho? Bukannya itu terkait dengan progaram ECV-D dan yang akan ikut Pak Rio dan Pak Raiza?” Raiza hanya diam saja mengulum senyum dalam hati. Sementara Devan berubah kesal mendengar jawaban Crisy.
“Mau ECV ataupun ECV-D semua itu programmu, jadi siapkan saja apa yang aku minta. Kita akan menginap di Jogja empat hari.” Crisy mengerutkan dahi semakin bingung. Namun, ia tak bisa membantah perintah si bos. Akhirnya, ia pun mengiyakan lalu keluar dari ruangan itu sambil menggerutu.
“Dasar bos sinting dan semena-mena. Menyebalkan!”
“Aku mendengarnya!” teriak Devan. Crisy menoleh sesaat, tapi sebelum menutup pintu, ia mencibir kemudian menghilang menyisakan tawa mengejek di mulut Raiza. Sementara Devan mengumpat marah pada sahabatnya dengan wajah memerah sampai ke telinga.
"Kayaknya lo beneran jatuh cinta sama gadis itu."
"Sudah diamlah, jangan banyak bicara. Ngomong-ngomong bagaimana persiapan di Jogja nanti?"
Raiza berdiri mengambil sekaleng minuman dari mesin pendingin. Suara desisan pun terdengar saat ia membukanya. "Tenang saja, semua sudah diatur sesuai rencana. Lo tinggal nikmatin malam-malam indah lo berdua." Raiza kembali mendudukan dirinya di sofa.
"Eh, tapi apa lo bener-bener sudah siap dengan hati lo."
Devan mengabaikan pertanyaan Raiza. Ia memandang keluar jendela. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana. Sebuah pesawat melintas cukup jauh dari gedungnya, tetapi masih bisa ia lihat dari tempatnya berdiri.
"Jika menurut lo ini akan berhasil, demi cinta gue bisa lakukan apa pun," sahut Devan penuh keyakinan.