Biasanya ketika kembali, rumah Crisy selalu kosong dan gelap gulita. Namun, hari ini semua tampak berbeda. Seseorang telah menyalakan seluruh lampu dalam rumah itu membuat Crisy mengerutkan dahi. Bertanya-tanya dalam hati, Crisy terus melajukan mobilnya ke dalam garase. Siapa yang pulang? Carlos atau ayahnya? Crisy masih belum bisa menerkanya. Perlahan Crisy pun membuka pintu utama yang sudah tak terkunci. Crisy memindai seluruh rumah sampai menemukan seseorang berdiri di depannya dengan epron yang masih menempel di tubuhnya. Sepertinya ia habis memasak.
“Oh, kamu sudah pulang, Sassy girl,” sapanya sambil tersenyum.
“Apa yang Bapak lakukan di rumah saya? Dan, bagaimana Bapak bisa masuk?” Devan melepas epronnya, meletakkannya pada sandaran kursi lalu mendekati kekasihnya.
“Itu rahasia, sekarang cepat bersihkan tubuhmu. Aku sudah buatkan makan malam special.” Devan mendorong punggung gadis itu menuju kamarnya.
“Ta—”
“Sst ... sekali ini saja jangan melawan, ya,” bisik pria itu sambil kembali melempar senyum manis. Crisy pun menyerah, ia memutuskan untuk melangkah ke dalam kamar.
“Cris, tunggu.” Devan mendekat membawa sebuah kotak. Crisy menerimanya sambil mengerutkan dahi.
“Setelah mandi pakai ini.” Dengan raut kebingungan Crisy tetap mengangguk membawa kotak pakaian itu.
Cukup lama Crisy mendandani dirinya di depan cermin meja rias. Membalut tubuhnya dengan gaun malam berwarna biru toska yang menempel sempurna. Crisy membuka pintu kamar ketika matanya disambut ruangan yang temaram dan hanya disinari cahaya lilin di sepanjang tangga, kemudian di ujungnya sosok Devan berdiri dengan pakaian yang lebih rapi. Ia tersenyum memandang Crisy dengan penuh cinta.
Seketika jantung gadis itu berdebar kencang. Crisy mendadak gugup, bahkan ketika mengambil langkah pertamanya ia pun tampak ragu. Devan yang berdiri di ujung sana, kini naik mendekatinya. Mengulurkan tangan pada sang kekasih. “Mari, Tuan Putri,” ucapnya dengan suara rendah. Membuat Crisy meremang. Gadis itu memejamkan mata sesaat sebelum menyambut uluran tangan itu.
“Dev ....”
“Sst ... hari ini kamu nggak boleh bicara. Kita hanya akan bicara dengan hati. Meski tanpa sepatah kata, Aku ingin kamu mengerti tentangku seutuhnya, Cris.” Devan masih menuntun langkah kekasihnya menuju meja makan yang ada di tengah-tengah candle light berbentuk hati. Crisy tak berhenti memandang Devan dengan rasa haru yang luar biasa. Devan terlalu romantis. Sesaat Devan tersenyum ketika menyajikan spageti carbonara di hadapan Crisy. Setelahnya pria itu mengulurkan tangan menggenggam tangan kanan Crisy di atas meja.
“Ayo makan, ini aku buat khusus untukmu.” Crisy tersipu dengan rona merah di pipi. Merasa sangat tersentuh dengan semua hal manis yang dilakukan Devandra.
Sesaat mereka pun makan dalam diam, sesekali saling memandang lalu sama-sama melempar senyum. Debar jantung keduanya sama-sama bertalu. Ada rasa gugup, juga bahagia yang membuncah di hati mereka yang dipenuhi cinta. Tak pernah sekali pun Crisy membayangkan seseorang akan menyulap rumah itu menjadi tempat makan malam yang begitu romantis. Melayaninya bak seorang putri. Sejenak ia menatap Devan, hatinya tiba-tiba mendadak takut. Bagaimana jika Devan meninggalkannya?
“Cris,” Suara rendah Devan kembali terdengar bersama rematan jemarinya yang hangat. “Do you cry?”
Crisy menggeleng, meski air mata jatuh membasahi pipinya. Tangan Devan terulur, diangkatnya dagu kekasihnya.
“Maafkan aku ... maaf karena beberapa hari terakhir ini aku sudah mengabaikanmu. Dan, malah lebih menuruti keinginan Valeri, aku ....” Devan menunduk.
“Aku takut kehilanganmu, Cris. Selama ini aku ....” Devan terdiam ketika Crisy melepas genggaman tangannya beralih mengelus rahang tegas pria itu.
“Aku tahu.” Suara Crisy setengah berbisik. “Maafkan aku yang bersikap kekanakan. Bagaimanapun Valeri adalah ... cinta pertamamu, tapi lebih dari pada itu Valeri sudah seperti saudaramu, 'kan? Kalian tumbuh bersama saling menyayangi, jadi ... akan jadi egois jika aku melarangmu untuk menyenangkannya.”
“Cris ....” Devan langsung menarik Crisy dalam pelukannya. “Terima kasih atas pengertianmu,” ucapnya. Crisy mengangguk dalam pelukan Devan.
Beberapa saat kemudian Devan mengurai pelukannya lalu mencium bibir kekasihnya. Mereka saling mengagumi dalam pandangan masing-masing, Devan pun berdiri. Mengulurkan tangan pada wanita di depannya sambil membungkukkan badan. Memberi kode lewat tatapan mata, Devan mengundang Crisy untuk turun berdansa bersamanya. Crisy pun menyambutnya dengan senang hati.
Devan mencium punggung tangan Crisy sebelum menuntunnya melangkah ke salah satu ruang kosong dekat meja makan tadi. Lantun lagu romantis terus mengalun syahdu, satu tangan Devan memeluk pinggang ramping Crisy sementara tangan yang lain saling bergenggaman. Kaki keduanya melangkah seirama, dengan satu tangan Crisy melingkar manis di leher sang pria. Mereka pun saling memandang menunjukkan cinta masing-masing.
“Kamu sangat cantik,” bisik Devan membuat Crisy kembali merona. “Saat pesta nanti akan kukenalkan kamu pada papa dan mama, apa kamu bersedia?”
“Secepat itu?” tanya Crisy sambil terus melangkah mengikuti alunan nada dari lagu yang mengiringi dansa mereka.
“Kenapa? Kau ragu?”
“Bukan begitu, Dev, aku hanya berpikir bagaimana kalau papa dan mamamu tidak menyukaiku.” Devan terkekeh. Menempelkan keningnya pada kening Crisy. Kemudian bebicara dengan nada rendah.
“Papa dan mama selalu welcome pada siapa pun gadis yang kusukai.” Crisy melepaskam diri dari pelukan Devan berbalik arah sebelum Devan memeluknya dari belakang. Menempelkan wajahnya pada pipi kanan Crisy. Sementara Crisy mencibir.
“Selain aku berapa banyak yang sudah kamu kenalkan?”
“Mmm ... mungkin ada dua puluh.”
“Devan ...!” Crisy merajuk manja, Devan pun terkekeh sembari mencium pipi kekasihnya.
“Hanya kamu, Cris. Selama ini aku pacaran karena ingin mengalihkan perasaanku pada Valeri. Bahkan juga ketika bertemu denganmu pertama kali, aku pikir kamu bisa membuatku melupakan Valeri.” Devan memutar badan kekasihnya, menangkup kedua pipi Crisy.
“Cris, aku minta maaf atas pemikiran awalku padamu. Aku pernah berpikir untuk menjadikanmu pelarian, tapi nyatanya sekarang aku benar-benar jatuh cinta. Tunggulah aku sebentar lagi agar aku bisa menyerahkan segalanya padamu, Cris.” Dielusnya lembut pipi Crisy, mata Devan memandang penuh keseriusan seolah meminta kepercayaan pada gadis itu.
“Cris, apa kamu bersedia menungguku?” Crisy tersenyum, pandangan mereka saling mengunci, perlahan Crisy melingkarkan kedua tangannya di leher Devan. Devan pun tersenyum, merunduk meraup rasa manis dari bibir sang kekasih.
***
Crisy menggeliat dalam tidurnya, merasakan Devan tak lagi memeluknya, ia pun membuka mata. Perlahan mendudukan diri di atas sofa di mana mereka berdua tidur saling berpelukan sepanjang malam.
“Good morning, Sassy girl.” Suara lembut Devan menyapa indera Crisy, gadis itu mendongak ketika tangan Devan menarik hidungnya. Ia meringis.
“Sakit ...,” manjanya.
“Mandi dulu sana terus sarapan, aku sudah buat sarapan untuk kita.” Devan mengacak rambut Crisy yang sedikit aut-autan.
Gadis itu jadi malu karena bangun siang dan membiarkan Devan mengurus semuanya sendiri. Perlahan Crisy bangkit, berlari menuju kamarnya. Melihat tingkah Crisy, Devan pun terkekeh geli. Ini pertama kalinya Crisy tidur dengan laki-laki, bahkan Kenzo yang sudah dua tahunan berpacaran dengannya belum pernah menginap di rumah itu. Entahlah, Crisy juga tak mengerti kenapa ia bisa begitu percaya pada Devan.
Percaya kalau laki-laki itu tak akan menyentuhnya lebih dari sekedar ciuman. Devan pun membuktikan kepercayaan Crisy. Selain mengobrol dan bercanda, sepanjang malam tadi, mereka tak melakukan apa pun. Devan menghormati komitmen Crisy untuk tak melakukan hubungan badan di luar nikah. Selang beberapa menit mereka berdua sudah ada di meja makan. Devan hanya memasak nasi goreng untuk mereka berdua.
“Kemarin kamu dan Raiza ke mana? Kalian bolos tanpa melapor ke kantor.” Hampir saja Crisy tersedak mendengar pertanyaan Devan. Sejenak ia meminum seteguk air sebelum mulai bicara.
“Kami ke Pantai Carita.”
“Pantai Carita? Jauh sekali pantas saja kemarin kamu pulang malam sekali. Kalian tidak ....”
“Cemburu?” ejek Crisy. “Aku juga cemburu kamu terus-terusan dengan Valeri. Kamu nggak menghargai perasaanku sama sekali,” protes Crisy.
Devan mendesah pelan, meletakkan sendok di tangannya lalu menggenggam tangan Crisy. “Maafkan aku,” lirihnya. Crisy memandang Devan dengan rasa bersalah. Bukankah semalam semua sudah baik-baik saja. Crisy pun membalas genggaman tangan kekasihnya.
“Akulah yang harusnya minta maaf, harusnya kita bisa bicarakan semua baik-baik, 'kan. Bukannya saling cemburu seperti anak abege.”
“Kamu benar, Sayang. Terima kasih pengertiannya. Mulai hari ini mari kita awali semuanya dengan cara yang lebih baik, kita harus saling terbuka.” Crisy pun mengangguk menyetujui ucapan Devan, sambil melempar senyum hangat.
“Jadi Raiza yang menceritakan semuanya padamu?” tanya Devan selanjutnya.
Crisy memasukkan sesuap nasi goreng ke mulutnya sembari mengangguk. “Sebelum itu juga aku sempat bersitegang dengan Raiza, aku mengatakan hal yang tidak-tidak soal Valeri.”
“Benarkah?” Devan sedikit terkejut. “Aku yakin Raiza pasti sangat marah, dia sangat menyayangi adiknya itu.”
“Yaah ... begitulah, tapi jika kamu ada di sana, kamu juga pasti akan marah,” ucap Crisy cengengesan. Devan pun tertawa ringan.
“Aku bisa membayangkan bagaimana caramu menjatuhkan Valeri, Sassy girl. Ah, kurasa aku pun harus sangat berhati-hati jika bicara denganmu.”
“Tentu saja, kamu harus lakukan itu, karena sekarang kamu ada dalam kuasaku,” cengir Crisy.
"Ya, baiklah, Nona. Aku mengaku kalah." Berdua mereka tertawa sangat bahagia.
***
Devan dan Crisy datang bersamaan ke kantor travel J, desas desu hubungan mereka sudah bukan rahasia lagi. Devan memang tak ingin menutupinya dan Crisy tak bisa menolak keinginan sang kekasih dan sekaligus bosnya itu.
"Nanti siang kujemput kamu untuk makan siang," ucap Devan saat keduanya telah berada dalam lift. Beberapa karyawan yang ada di sana berpura-pura tak mendengar, padahal mereka sesekali melirik Crisy dan menggodanya. Sontak semua itu membuat Crisy merona malu. Ia pun hanya mengangguk pelan mendengar perkataan Devandra.
Keluar dari list, Devan menyentuh kepala Crisy menunjukkan kemesraannya di hadapan para karyawan yang lalu lalang di koridor.
"Pak, jangan bersikap berlebihan, ini kantor. malu."
"Tidak berlebihan, hanya ingin mengusap rambutmu seperti ini masa tidak boleh."
"Ck, sudahlah, aku mau ke ruanganku. Kamu pergi sana. Bukankah sebentar lagi akan ada meeting."
"Tentu, Sayang." Devan menarik hidung kekasihnya, barulah pergi meninggalkan gadis itu.
"Ciyee ... ciyee ... yang lagi anget-angetnya!" goda beberapa rekan kerja Crisy. Rosaline memeluk Crisy, mencubit pipinya dengan gemas. "Cepatlah menikah jangan sampai pangeran ini lepas seperti Kenzo."
Crisy menunduk dengan wajah memerah. "Justru aku harus sangat hati-hati, jadi tak mau cepat menikah, Rose. Bagaimana kalau dia juga sama bejatnya dengan Kenzo. Biasa pria kaya jarang yang bisa dipercaya."
Rosaline pun terdiam, sesaat memikirkan perkataan temannya, barulah kemudian kembali tersenyum. "Pokoknya apa pun itu sebagai teman aku akan selalu mendukungmu. Jadi tetap semangat, ya. Aku juga akan memantau Pak Devan dan melaporkan tindakannya jika berkhianat padamu."
Crisyian terkekeh, memeluk sahabatnya itu. "Terima kasih, Sayang, akiuuhh," sahutnya lalu tertawa berbarengan. Barulah keduanya melangkah menuju ruangan masing-masing yang letaknya berhadap-hadapan.