Sudah tiga hari Crisy menjauhi Devan, ia semakin menyibukkan diri dengan lounching ECV yang tinggal beberapa hari lagi. Persiapan acara benar-benar dibuat sedetail dan serapi mungkin agar semuanya sempurna. Crisy ingin memastikan margin error seminim mungkin.
“Masih belum puas?” Crisy menoleh ke samping. Raiza berdiri memandang ke arah yang sama. Menatap dekorasi panggung yang masih saja berubah-ubah.
“Entahlah,” jawab Crisysian. Kemudian hening menyelimuti mereka berdua.
“Kamu dan Dev bagaimana?” tanya Raiza tiba-tiba membuat Crisy menghela napas.
“Tak ada hal menarik yang harus dibahas soal, Dev.” Crisy melangkah menjauh dari Raiza, mencoba menarik salah satu pekerja yang hampir kejatuhan properti.
“Hati-hati, Pak.”
“Eh, terima kasih, Bu Cris,” ucap bapak itu lalu merapikan barang-barangnya yang berserakan.
“Pak Burhan, nggak papa, 'kan?” Pimpinan mereka mendekat setelah membentak salah satu pekerjanya yang sedikit ceroboh tadi.
“Nggak papa, Pak. Untung ada Bu Cris tadi,” sahut pria paruh baya itu.
“Cris, kamu nggak papa, 'kan?” Belum sempat pimpinan pekerja itu berbicara pada Crisy, Raiza sudah lebih dulu menanyakan keadaan Crisy lalu menyembur marah pada penanggung jawab penata panggung itu.
“Sudah, Pak Raiza. Aku nggak apa-apa,” ucap Crisy berusaha meredam kemarahan Raiza. Lalu menyeret pemuda itu pergi.
“Pak, lanjutkan saja,” kata Crisy pada para pekerja itu, sambil terus menyeret Raiza pergi keluar gedung.
“Mereka itu ceroboh sekali,” kesal Raiza. “Sudah ceroboh juga lelet. Pekerjaannya sangat lambat!”
Clary mengabaikan ocehan Raiza, memilih terus menjauh dari sana menuju tempat parkir. “Mau jalan-jalan sebentar?” tawarnya membuat Raiza diam. Menoleh pada Crisy yang tersenyum manis, ia pun tak bisa menolak.
“Baiklah,” jawabnya kemudian. Raiza masuk di bagian kemudi, sementara Crisy di sebelahnya. Mereka pun meninggalkan Blok M Plaza dalam diam. Hingga cukup jauh mobil itu melaju barulah Raiza bertanya arah tujuan gadis di sebelahnya.
Crisy memutuskan untuk ke Pantai Carita. Tak ingin membantah, Raiza pun melajukan kendaraannya ke tempat itu. Rupanya perjalanan mereka cukup jauh hingga setelah sampai di sana senja langsung menyambut mereka berdua. Raiza melepas jaket dan sepatu pantovelnya, menggulung ujung celana panjang bahan yang ia pakai hingga sebatas betis. Crisy pun melepaskan heelsnya, barulah menyusul Raiza turun dari mobil untuk melangkah menyusuri pasir pantai.
“Kamu pernah bilang ikut sayembara itu untuk mencari ibumu. Kalau boleh tahu ibumu ada di mana?” Setelah adu argument yang sedikit sengit beberapa waktu lalu, ini pertama kalinya Raiza dan Crisy kembali terlihat sedikit akrab.
Crisy menyampirkan rambutnya yang acak-acakan tertiup angin laut ke belakang telinga. Masih melangkahkan kaki di sepanjang pantai, Crisy menemukan sebatang kayu kering yang terdampar arus air laut. “Kamu tipe percaya cinta yang seperti apa?” Dahi Raiza berkerut, sejenak ia hanya diam menunggu Crisy melanjutkan ucapannya. Merasa tak mendapat jawaban Crisy pun menoleh pada pria yang mematung di sebelahnya. “Pertanyaanku sulit, ya?” tanya gadis itu kemudian sebelum melemparkan kayu di tangannya kembali ke tengah lautan.
“Nggak juga,” jawab Raiza. “Kalau mau dijabarkan cinta itu ada banyak macamnya, cinta saudara, cinta sahabat, cinta orang tua ....”
“Apa cinta yang setia dan abadi itu ada?” sela Crisy. Raiza sekali lagi diam, lalu mencari tempat yang sedikit kering untuk duduk di atasnya. Membiarkan Crisy yang masih asik memainkan kakinya di deburan ombak.
“Empat tahun lalu aku pernah jatuh cinta pada seseorang, dia mungkin tak secantik orang lain pada umumnya. Sedikit montok, dengan mata bulat dan hidung yang sedikit pesek. Dia unik,” tutur Raiza dengan suara agak keras agar Crisy mendengarnya. Sesaat, Crisy pun menoleh lalu mendekat dan duduk di sebelahnya. Raiza diam sejenak sebelum melanjutkan ceritanya.
“Setahun berpacaran dengannya, rupanya dia kerap di-bully karena bersamaku. Kau tahu itu ... boddy shaming yang mengerikan. Bodohnya dia tak pernah menceritakannya sama sekali.” Crisy mendengarkan dengan seksama sembari menatap Raiza yang bercerita dengan serius.
“Suatu ketika, ia izin pamit ke kampung halamannya selama beberapa minggu. Katanya neneknya sakit. Dan, ia harus merawat sang nenek yang sangat dicintainya.” Raiza menghela napas sejenak. “Kamu tahu, itu adalah kesalahan terbesarku,” Suara Raiza sedikit berat, seolah ada sesak yang sangat ingin ia keluarkan yang sudah lama ia pendam dalam hatinya.
Crisy menepuk pelan punggung pemuda itu. “Ungkapkan saja, itu akan lebih baik,” ucapnya lembut membuat Raiza menoleh. Mata pemuda itu berkaca-kaca, kemudian menunduk dalam.
“Dia menjauh dariku untuk melakukan diet ketat, hingga akhirnya ... Citra, dia over dosis obat diet dan ... meninggal.” Bulir bening air mata jatuh membasahi pipinya. Ini pertama kalinya Raiza menunjukkan sisi lemahnya pada orang lain. Bahkan mungkin Devan teman dekatnya pun tak tahu soal itu. Crisy mengelus punggung Raiza mencoba menenangkannya.
“Citra mungkin jelek di mata orang, tapi di mataku dia sangat spesial. Dia gadis yang sangat baik dengan sifat cerianya. Tak pernah kusangka seseorang begitu tega mem-bullynya sampai dia jadi seperti itu.” Raiza menatap gamang ke arah langit yang telah berubah warna jingga.
“Saat aku datang untuk mengunjungi pemakamannya, Citra memang terlihat jauh lebih kurus. Tapi sayangnya dia sudah tak bisa tersenyum lagi, mata indahnya terpejam sempurna.” Tubuh Raiza bergetar karena tangisannya.
Tanpa sadar Crisy menarik kepala pria itu dan memeluknya erat. Membiarkan Raiza menangis menumpahkan rasa sakit dalam hatinya. Hingga yang terdengar dari pria itu pun hanya suara isakannya saja. Crisy yang mendengar penuturan Raiza pun meneteskan air mata. Baru menyadari rupanya di dunia ini masih ada cinta seindah itu. Ia bisa membayangkan bagaimana Citra menahan seluruh penghinaan yang ia terima karena menjalin cinta dengan pemuda setampan Raiza. Namun, Crisy yakin bahwa Citra tak akan pernah merasa menyesal dalam hidupnya. Mendapatkan cinta Raiza mungkin kebahagiaan terbesarnya.
“Devan, orang yang setia. Tapi adikku merusaknya.” Raiza menjauhkan diri dari pelukan Crisy. Menyeka air matanya dengan saput tangan yang ia ambil dari saku celana.
“Merusak?”
Raiza mengangguk samar. “Adikku mencintainya, tapi ia terlalu munafik untuk mengakuinya. Seperti katamu waktu itu, Valeri sangat kurang ajar. Adikku selalu hadir di tengah-tengah hubungan Devan dengan kekasihnya. Menjadi pengacau karena ia merasa terlalu dicintai.” Crisy menunduk mencoba meresapi semua kata-kata Raiza. Ingatannya merunut peristiwa yang terjadi selama beberapa hari ini. Semuanya benar-benar kacau setelah Valeri datang.
“Aku tahu apa yang sedang terjadi di antara kalian. Sebenarnya aku nggak tega sama kamu, Cris. Tapi, aku sangat menyayangi adikku. Jadi kubiarkan saja dia mengganggu hubunganmu dan Devan.” Sejenak Raiza terdiam. Menarik napas dalam lalu kembali berkata, “Jangan abaikan Devan, bersamamu mungkin dia akan melupakan Valeri. Adikku mungkin bukan sosok wanita yang pas untuk mendampinginya. Berikan Devan kesempatan untuk mencintaimu dengan seluruh hatinya. Aku tahu dia sudah jatuh cinta ....”
“Jadi menurutmu begitu? Lalu bagaimana hubungan Devan dengan wanita-wanita pelariannya sebelum aku?”
“Jangan anggap dirimu pelarian, kamu berbeda dengan wanitanya yang dulu. Kamu tahu, akhir-akhir ini Devan terlihat sangat frustasi. Kebingungan antara mengabaikan Valeri dan menghabiskan waktunya denganmu atau melakukan apa yang dia lakukan sekarang.”
“Ikatan keluarga yang membuatnya susah untuk mengabaikan Valeri, tapi ikatan hati membuatnya susah untuk mengabaikanmu. Dia mencintaimu, aku tahu itu. Bertahanlah, karena setelah lounching ECV, aku dan Valeri akan kembali ke Australia. Saat itu hanya akan ada kebahagiaan untuk kalian berdua.”
Crisy pun masih tergugu dengan penuturan Raiza. Sesaat kemudian ia pun mendongak ketika Raiza mengulurkan tangan, pemuda itu sudah berdiri di depannya.
“Pulang sekarang?” ajaknya. Crisy mengangguk lalu tersenyum manis menyambut uluran tangan Raiza.
“Terima kasih, Pak Raiza.”
“Panggil aku Raiza, ayo mulai sekarang kita berteman baik.”
“Tentu, Raiza,” sahut Crisy dengan wajah sumringah. Seolah mendapat energi baru setelah mendengar penuturan Raiza. Ia akan mempercayainya. Mempercayai kalau Devan mencintainya, setidaknya untuk saat ini.