Raiza mengeratkan pelukannya pada Crisysian. Rintihan gadis itu menyayat hatinya. Ia merasa berasalah karena semua ini memang rencana mereka sejak awal. Memanfaatkan Crisysian untuk menyadarkan Valeri dari keegoisannya. Sejak pertemuan pertama di kantor waktu itu, baik Devan maupun Raiza sama-sama setuju kalau Crisy wanita yang tepat untuk membuat Valeri merasa tersaingi. Ternyata semua berjalan sesuai prediksi. Baru beberapa hari Devan mengungkapkan hubungan mereka pada Valeri, gadis itu sudah terbakar emosi dan datang ke Indonesia.
Akhirnya, semua rencana pun berjalan dengan lancar. Valeri terus mengganggu hubungan itu dengan caranya. Menunjukkan kalau dia tak mau kehilangan Devan, dia mencintainya. Awalnya, Raiza pikir Crisy gadis yang kuat. Namun, kebersamaannya di Pantai Carita waktu itu menyadarkannya bahwa Crisy memiliki hati yang begitu rapuh. Raiza tahu gadis itu memiliki banyak masalah yang ia simpan sendiri hanya untuk terlihat kuat. Raiza juga menyadari kalau Crisy memiliki hati yang begitu lembut. Itulah kenapa gadis itu begitu tersentuh dengan cerita masa lalu Raiza.
“Za ... tolong antarkan aku pu—”
“Cris! Crisysian!” Belum sempat gadis itu menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba saja ia lunglai tak sadarkan diri. Raiza jadi sedikit panik. Pria itu menepuk-nepuk pipi Crisy berusaha menyadarkannya, tapi sia-sia.
“Cris kenapa?!” Baru saja Raiza ingin mengangkat tubuh gadis itu, Rio sudah berdiri di depannya dan bertanya berang.
“Rio, untung kamu datang. Cepat bantu aku, Cris harus dibawa ke rumah sakit.”
Melihat keadaan Crisysian yang tak berdaya, tak ada pilihan lain bagi Rio selain membantu Raiza. Dalam situasi seperti itu, keselamatan Crisy adalah yang utama. Masih berdiri di tepi ranjang Crisy, baik Rio maupun Raiza tidak ada yang memulai untuk bicara, mereka terjebak dalam pikiran masing-masing. Beberapa menit lalu Dokter sudah memeriksa kondisi Crisy. Selang infus kini terpasang di tangan gadis yang tertidur tenang itu.
“Bagaimana kondisi Cris, Yo?” Aulia menghampiri mereka dengan ekspresi penuh kekhawatiran, Rio dan Raiza menoleh hampir bersamaan.
“Dokter bilang nggak papa, dia cuma kelelahan. Tadi Crisy siuman, tapi dokter memberinya obat penenang agar bisa istirahat kembali. Kamu nggak usah khawatir, Au.”
“Oh, syukurlah.” Aulia menghela napas, menatap iba pada Crisy yang masih terlihat pucat. Seperti yang dikatakan Rio tadi, Crisysian baik-baik saja. Sekarang gadis itu juga sudah berada di ruang rawat inap setelah beberapa menit lalu dipindahkan dari UGD.
“Rio, apa kamu sudah menghubungi keluarganya?” Rio pun menggeleng lemah.
“Nggak akan ada gunanya, jadi biarkan saja. Aku sudah telepon mama tadi buat bantu jagain.” Raiza yang mendengar jawaban Rio tampak mengerutkan dahinya. Ada kebingungan yang jelas tergambar di sana.
“Keluarga Crisysian di mana?” Rio dan Aulia pun menoleh pada Raiza. Sesaat mereka lupa kalau di sana masih ada Raiza. Merasa harus menjaga semua rahasia hidup Crisy, akhirnya mereka saling pandang kemudian sama-sama membisu. Hingga beberapa menit hanya keheningan yang didapat Raiza, tak ada satu pun yang menjawab, baik Rio maupun Aulia. Pria itu makin penasaran dengan apa yang disembunyikan sejoli di depannya. Namun, baru saja ia hendak bertanya kembali, pintu ruang rawat itu terbuka.
“Bagaimana Crisysian, Rio? Kenapa jadi seperti ini?” Mama Rio datang bersama putra keduanya dan langsung menyerbu Rio dengan berbagai pertanyaan. Sambil mendengarkan penjelasan Rio tentang kondisi Crisysian, ibu itu mengelus lembut surai Crisy yang tengah terlelap di atas ranjang. Tampak damai kendati luka menyayat hatinya.
“Kasihan sekali kamu, Nak. Sudah ibu bilang jangan ikut program itu, tapi kamu masih saja ngeyel. Kalau mau pergi cari ibumu, kamu masih bisa pakai uang dari kami. Dasar keras kepala.”
“Mm ... Tante, kalau boleh tahu ibunya Cris ada di mana ya, Tan?” Wanita berumur empat puluh tahunan itu menoleh, baru menyadari kalau di sana ada sosok orang yang belum ia kenal.
“Kamu siapa? Pacarnya?”
“Ah ... mmm ... bu‒bukan, Tan. Saya teman kantornya.”
“Dia atasan kami di kantor, Bu,” sahut Rio mengetengahi percakapan mereka.
“Iya, Tante. Kenalkan saya Raiza,” sahut Raiza membenarkan ucapan Rio. “Dari awal Cris mengajukan program itu saya sudah penasaran dengan motivasi Cris mengikuti adu program itu. Cris mengatakan kalau ingin menggunakan hadiahnya untuk mencari ibunya.”
Ibu Rio pun menghela napas. Akhirnya, ibu itu pun menceritakan detail kehidupan Crisysian yang membuat Raiza tergugu. Rasa bersalahnya karena memanfaatkan gadis itu makin menyentil hatinya. Ia memandangi Crisy yang terbaring tenang seolah tak pernah ada masalah apa pun di hidupnya. Hati Raiza tiba-tiba saja merasa perih seperti diremas-remas. Sekarang ia sungguh membenci dirinya sendiri.
Setelah cukup lama ada di ruang rawat itu, Raiza pun pamit pulang dan kini telah kembali ke rumahnya. Ia menghempaskan tubuh di atas ranjang kemudian menatap langit-langit kamar dengan perasaan yang berantakan. Satu fakta menyakitkan dalam hidup Crisysian terus mengganggunya. Ternyata gadis itu sudah mengalami broken home dari sejak usianya baru sepuluh tahun. Ketika itu, menurut cerita Amelia—ibunya Rio—ayah Crisysian berselingkuh dengan seorang wanita hingga wanita itu hamil. Pertengkaran dan percekcokan pun terjadi di keluarga mereka. Hingga pernikahan mereka tak bisa diselamatkan.
Rasa frustasi membuat ibu Crisysian pergi keluar negeri. Awalnya tak ada yang tahu negara belahan mana yang dituju wanita itu. Namun, beberapa bulan terakhir Crisysian menemukan jawabnya. Sang ibu melarikan diri ke Hongkong, tetapi Hongkong bagian mana Crisysian tak tahu pasti. Sementara setelah perceraian itu, ayahnya semakin tak peduli dengan keberadaan Crisy dan Carlos—kakak Crisy yang saat itu duduk di bangku SMA. Ayah Crisysian menikah dengan selingkuhannya dan meninggalkan dua anaknya di rumah yang ditempati Crisysian saat ini. Ia sendiri membeli rumah baru di kawasan elit Pantai Indah Kapuk dan hidup mewah dengan keluarga barunya.
Pada akhirnya beban hidup mereka berdua ditanggung oleh Carlos—sang kakak. Carlos pun terpaksa harus bekerja paruh waktu guna membiayai sekolahnya dan Crisysian. Demi membantu sang kakak, sepulang sekolah Crisysian bahkan menjadi buruh cuci piring di warung-warung makan pinggir jalan. Tak pernah menyerah pada keadaan akhirnya, kakak Crisysian berhasil mendapatkan gelar S2nya di Oxford University dengan beasiswa penuh. Dia sangat cerdas, Crisy pun hampir sama cerdasnya dengan sang kakak. Ia juga menamatkan kuliahnya dengan beasiswa di salah satu universitas ternama di Indonesia.
Tamat di Inggris, Carlos kemudian bekerja di negara yang sama dan menikah di sana. Carlos tak peduli tentang ayah dan ibunya, yang ia pedulikan hanya Cris—sang adik. Itulah kenapa bahkan sampai Cris bekerja seperti sekarang, Carlos masih sering mengiriminya uang. Agar adik kecilnya itu tak pernah kelaparan seperti dulu. Mobil yang dibawa Crisy juga pemberian Carlos. Hidup keluarga Carlos di Inggris terbilang cukup mapan. Namun, kesibukannya tak mengizinkan Carlos untuk pulang ke Indonesia. Itulah kenapa ketika cuti tahunan di kantornya, Crisy akan pergi ke Inggris untuk bertemu keluarga sang kakak.
Hubungan kakak beradik itu mulai merengggang beberapa bulan lalu. Tepat setelah Crisy mulai mengungkapkan keinginan untuk mencari ibunya ke Hongkong. Carlos pun berhenti menghubungi adiknya. Ditambah lagi kasus penghianatan Kenzo semua itu membuat Crisy begitu rapuh. Namun, juga semakin menguatkan keinginannya untuk berangkat ke Hongkong mencari ibunya.
Raiza terduduk menyilangkan kedua kaki dan mengusap rambutnya kasar. Ia menghela napas berat, semua sangat kacau, terutama hatinya. Pria itu bangkit, mengambil air dalam botol yang ada di atas nakas, meneguknya hingga tandas. Bagaimana jika Devan tahu semuanya? Apa yang akan dirasakan sahabatnya itu? Haruskah ia memberitahu Devan? “Ck.” Raiza tampaknya tak akan bisa tidur tenang malam ini. Ia pun memutuskan untuk mengambil mantel dan jalan-jalan di sekitaran perumahan tempat tinggalnya.
Memasukkan kedua tangan di saku celana, Raiza terus berjalan tanpa tujuan. Memutari komplek hingga kemudian langkah Raiza terhenti ketika sudut matanya menangkap sosok Valeri turun dari mobil Devandra. Mereka terlihat bahagia, kebahagiaan yang malah membuat Raiza menggeram marah dan ingin menghajar Devandra. Raiza mengepalkan jari tangannya hingga buku kuku-kukunya memutih. Perasaan apa yang mengaduk-aduk Raiza sejak tadi, rasa bersalah, rasa simpatik, atau jangan-jangan ia sendiri telah jatuh cinta pada Crisysian?
Rasa cinta yang membuat hatinya menjerit sakit dan tak rela membiarkan gadis itu terluka, sebuah cinta yang membuatnya ingin melindungi Crisysian seperti keinginannya melindungi Citra—kekasihnya yang telah wafat. Benarkah Raiza telah jatuh cinta? Entahlah, karena Raiza sendiri pun tidak tahu jawabannya. Yang ia tahu saat ini hanyalah, dadanya sangat sesak. Hingga bahkan beberapa kali pukulan pun tak bisa mengurangi rasa sakit itu.
Raiza memilih mengabaikan sejoli di depannya, melangkah melewati mereka masuk ke gerbang rumahnya. Namun, kemudian langkah kakinya terhenti saat adiknya memanggil. Ia pun menoleh.
"Kak Raiza dari mana?"
"Aku hanya sedang mencari angin malam, sejak pindah ke Indo aku jadi susah tidur." Raiza menoleh pada Devandra yang sudah masuk ke dalam mobilnya. "Tak ingin mampir dulu, Dev?" tanyanya menekan rasa sakit yang menusuk hatinya. Meski sekilas bisa ia lihat kilat kesedihan di netra laki-laki itu.
"Aku harus pulang ini sudah terlalu malam," sahut Devandra, lalu menyalakan mesin mobil. "Aku pulang, ya ... bye." Ucapan itu menjadi pemutus perbincangan mereka. Devandra pun melajukan kendaraanya menjauhi kediaman Raiza.
"Kau tahu, hari ini aku benar-benar bahagia," tutur Valeri, kemudian menggelayutkan tangannya di lengan sang kakak. Ia melangkah beriringan sambil menuturkan semua yang dilewatinya bersama Devan hari ini. Sementara Raiza memilih diam dan hanya bereaksi seadanya. Hatinya sudah dipenuhi rasa bersalah pada Crisy.
"Kak, apa kakak mendengarku?"
"Ah, i-iya. tentu saja."
"Lalu kenapa kakak seperti tak berminat, apa kakak tak mau bahagia untukku?"
"Tentu saja, aku bahagia, adikku sayang." Raiza menyentuh kepala adiknya. "Kebahagiaanmu adalah yang utama untukku. Jadi tetaplah jaga kebahagiaanmu ini."
"Terima kasih, Kak." Valeri memeluk kakanya. "Semua tak akan terjadi kalau kakak tak meintaku untuk datang ke Indonesia. Jika aku masih ada di Australia, mungkin sekarang Devan akan jadi milik Crisy."
"I-iya," sahut Raiza terbata. "Ya, sudah kalau begitu aku akan ke kamar, sudah ngantuk. Kau juga istirahat, ya."
"Asiaap, Kak. Selamat malam, selamat beristirahat."
Raiza tersenyum pada adikkny lalu melangkah cepat ke kamarnya. Sampai di sana Raiza kembali mematung di balik pintu kamar. "Apa yang harus aku lakukan sekarang? Di satu sisi ada adikku, di sisi yang lain ada gadis tak bersalah, Crisy. Ini sangat membingungkan, Tuhan," keluhnya pada diri sendiri.