Jika bukan karena barang-barangnya yang masih tertinggal di kantor Travel J, rasanya Crisy tidak ingin lagi menginjakkan kaki di tempat itu. Seminggu menghilang dari sana tak lantas mampu membuatnya melupakan semua yang terjadi malam itu. Crisy tahu Devan mencarinya, mungkin ingin meminta maaf atau sekedar memberi penjelasan yang tidak penting lagi. Bagi Crisy semua sudah berakhir. Ya, berakhir dengan ia yang menertawakan dirinya sendiri.
Bukankah Crisy memang bodoh? Berharap waktu dan orang baru menyembuhkan luka-lukanya karena Kenzo, tetapi pada kenyataannya hanya dijadikan tokoh tak penting untuk mengejar cinta wanita lain. Ini menggelikan. Bolehkah sekarang ia membeci dirinya dan kebodohannya? Crisy melangkah masuk ke dalam lift yang akan membawanya ke lantai lima belas ketika Valeri berdiri di dalam lift yang sama. Ingin membatalkan niat untuk masuk rasanya tak mungkin, sebab ia sudah terlanjur ada di dalam sana. Sekali lagi ia jadi gadis i***t yang sama sekali tak awas dengan keadaan. Padahal jika ia sedikit memerhatikan sekitar, Crisy tidak mungkin terjebak di dalam lift yang sama.
“Sudah mengerti 'kan apa yang kumaksud malam itu?” Suara Valeri terdengar lembut dan elegan, tetapi terasa bagai belati yang menembus jantung Crisysian.
Crisy mengulas senyum tipis, menyugar rambutnya ke belakang, ia tetap mencoba terlihat tegar. “Yah, mungkin aku memang bodoh karena tak menyadari hal itu. Tapi, entahlah ... aku malah bersyukur karena tak terjerat dengan pria b******k seperti itu untuk seumur hidupku.”
“b******k?” desis Valeri tak terima karena Devan dihina.
“Jika seorang pria bisa memanfaatkan perasaan seorang wanita tanpa rasa bersalah, lalu apa lagi namanya kalau bukan b******k?”
Valeri menggeram menahan kesal, ia bahkan tanpa sadar mengepalkan jemari tangan hingga buku kuku tangannya memutih. Baru kali ini ada orang yang berani menghina Devandra seperti itu, Valeri sungguh tak bisa menerimanya. Sejenak gadis itu berdehem mengatur nada bicaranya agar tak bergetar terbawa emosi. Biar bagaimanapun Valeri wanita yang berkelas. Meski rasanya ia ingin mencakar Crisy, tapi ia tak akan melakukannya. Itu bukan standarnya.
“Baiklah, anggap saja demikian, lalu kenapa kau kemari? Masih betah dimanfaatkan oleh Devan? Atau keenakan karena difasilitasi barang-barang mewah?”
“Cih.” Crisy mendesis, menyunggingkan senyum miring. Tangannya terulur untuk menekan tanda open, tapi sebelum keluar ia membalik badan.
“Maaf bukan kelas saya unduk merendahkan diri seperti itu, apalagi sampai menjadi pengganggu dan penghancur hubungan orang, atau apa istilahnya? Ah, PELAKOR!” tegas Crisy menunjukkam seringaiannya yang sukses membuat Valeri naik pitam. Gadis itu bergerak cepat menyusul Crisy dan ingin menjambaknya.
“VALERI!” Niat Valeri terhenti ketika tangan Raiza mencegahnya. Kedua gadis itu menoleh hampir bersamaan saat mendengar suara Raiza yang sedikit membentak. Di sebelah Raiza berdiri Devan yang hanya diam saja sembari menatap Crisy dengan ekspresi tak terbaca.
“Pagi, Pak Devan. Pagi, Pak Raiza.” Crisy pun sedikit membungkuk memberi hormat. “Saya permisi mau keruangan saya,” lanjut gadis itu tenang, mencoba menekan gejolak dalam dadanya.
“Sayang, kamu di sini,” ujar Valeri mendekati Devan dan memeluk tangan kanan Devandra. “Tadi dia menghinamu jadi aku—”
“Cris, tunggu.” Mengabaikan sikap manja Valeri di sisinya, Devandra mempercepat langkah mencegah Crisysian menjauhinya. Raut kekesalan pun kini tercetak jelas di wajah Valeri. Sementara itu Raiza hanya diam memandang Crisy yang tak acuh. Jantungnya berdetak kencang membuatnya bingung dengan apa yang sebenarnya sedang ia rasakan.
“Cris ... Crisysian, aku—” Devandra akhirnya berhasil meraih lengan Crisysian. Namun, ketika ia ingin bicara, Crisy segera memotong perkataannya.
“Maaf, Pak Devan. Saya harus keruangan saya dengan segera. Ada laporan penting yang harus diserahkan pada Bu Farah. Setelah itu barulah saya akan menghadap pada Anda untuk menyerahkan surat pengunduran diri.” Devandra terdiam, perlahan genggamannya atas lengan Crisy melonggar. Ada sesak yang menyusup di relung hatinya. Ingin rasanya ia memeluk Crisy detik itu juga, tetapi niatnya langsung terhenti ketika Rio tiba-tiba datang dan mengajak gadis itu menjauh dari sana.
***
Sedikit gugup Crisy berdiri di depan pintu. Jantungnya bertalu membayangkan apa yang akan dihadapinya saat ini. Pikirannya menerka keadaan di dalam sana. Bagaimana jika yang dilihatnya nanti adalah Devan yang sedang bermesraan dengan Valeri? Crisy menekan d**a guna menghalau sesak yang tiba-tiba menyerang. Menarik napas panjang, Crisy pun berusaha menguatkan mentalnya. Ia mendorong pintu perlahan setelah mengetuk tiga kali.
Devan membalik badan, berhenti memandang keluar jendela ketika mendengar langkah seseorang memasuki ruangannya. Seketika ia mematung memandang Crisy yang sedikit membungkuk memberi hormat. Bahkan ponsel itu masih bersuara di telinganya, yang secara otomatis ia abaikan. Devan pun menyentuh tanda merah di ponselnya sebelum mendekati Crisy.
“Seperti yang saya katakan tadi, saya datang membawa surat pengunduran diri,” ucap Crisy. Terlihat jelas gadis itu tengah berusaha menekan gejolak hatinya, berusaha menahan air matanya agar tak meluruh jatuh.
“Cris, aku ....”
“Apa semua itu benar, Dev?” Crisy mengangkat wajah, menatap Devan dari balik kacamatanya. Sorot matanya yang biasa tajam kini terlihat sendu meminta sebuah penjelasan.
“Cris ....”
“Apa itu benar, kalau apa yang kamu lakukan selama ini hanya untuk menarik atensi Valeri? Apa benar kamu hanya memanfaatkanku untuk membuat Valeri mengakui cintanya padamu? Jawab aku, Dev.”
Devan melangkah ragu, ingin mendekati Crisy dan memeluk tubuh rapuh itu. Tetapi, Crisysian mencegahnya untuk berderap mendekat.
“Benar atau tidak, Dev?”
Devan menunduk tak mampu mengangakat wajah, rasa bersalah terus menerus menyesakkan dadanya. Tetapi, lebih dari itu semua, ada rasa lain yang justru lebih menyakitinya, rasa takut kehilangan. Ya, ia takut kehilangan gadis yang kini mematung di depannya menunggu jawaban.
“Be‒benar, Cris, maafkan aku. Tapi ....”
“Terima kasih, Dev. Itu sudah cukup. Ini surat pengunduran diriku.” Crisy meletakkan surat itu di atas meja tamu. “Selamat atas kesuksesan Anda. Sukses dengan program ECV dan kesuksesan Anda menghancurkan hatiku.”
“Cris, tunggu ....” Crisy membalik badan dan berlalu dengan cepat meninggalkan tempat itu. Membiarkan air matanya sekali lagi tumpah karena cinta. Mungkin sekaranglah saatnya ia berhenti percaya kalau cinta itu benar-benar ada. Devan bergerak cepat ingin mengejar gadis itu, tapi tubuhnya terdorong mundur masuk kembali ke ruangannya disusul sebuah pukulan keras menghantam wajahnya.
“Mulai sekarang jauhi Cris!” Pria itu menatap nyalang penuh emosi pada Devan yang meringis menyentuh rahangnya.
“Lo nggak pantas buat dia. Lo hanya akan menyakitinya.”
Devan mengusap darah di sudut bibirnya, berdesis pelan sebelum meninju sahabatnya. “Lalu apa lo pikir lo lebih pantas, hah?! Dasar b******k!”
“Gue tahu lo suka 'kan sama Cris. Sejak kapan, hah?! Sejak kapan lo begitu berani menyukai orang yang gue cintai?!”
“Cih! Orang yang lo cintai? Memang apa yang lo tahu soal Cris selain memanfaatkan perasaannya untuk mendapatkan apa yang lo mau. Dan, jika lo memang mencintainya lalu kenapa lo terima pertunangan itu? Kenapa lo memakaikan cincin di jari Valeri. Dasar b******n!” Raiza mendorong tubuh Devan hingga tersungkur. Sementara itu Devan tak bisa melawan, sebab apa yang dikatakan Raiza benar adanya. Ini adalah rencana awalnya, bukankah sekarang harusnya ia merasa bahagia karena Valeri sudah ia dapatkan.
“Asal lo tahu, Dev, gue sudah suka sama Cris sejak pertama lo nyakitin dia, saat lo menghabiskan waktu sarapan bersama Valeri dan membuat Cris menangis pagi itu. Rasa simpatik gue berubah jadi cinta saat gue tahu kalau Cris ternyata jauh lebih rapuh dibanding siapa pun. Kesempatan lo sudah berakhir dan sekarang gue nggak akan pernah melepaskan Cris, gue akan melindunginya dan membuatnya bahagia. Gue titip kebahagiaan Valeri sama lo, Dev. Tolong bahagiakan adik gue.”
Raiza pun meninggalkan tempat itu, membiarkan Devan mematung dengan tangan mengepal. Setetes air mata jatuh membasahi pipi pria itu. Tubuhnya tersungkur mundur sebelum akhirnya jatuh di terduduk di atas sofa. Ia menunduk menutupi wajahnya dengan kedua tangan. “Benarkah selama ini aku hanya memanfaatkanmu, Cris? Lalu kenapa rasanya sesakit ini?” batin Devandra. Ini pertama kalinya pria itu menitikkan air mata karena wanita. Bahkan penolakan Valeri dulu pun tidak membuatnya merasa begitu sesak sampai menangis. Senyum Cris melintas di ingatannya, kembali membuat Devan merutuki dirinya dalam penyesalan, ia mencintai Cris, bahkan mungkin lebih besar dari rasa cintanya pada Valeri.
Namun, apa semua itu masih berguna ketika ia sudah menyematkan duka dan memasangkan cincin pertunangan pada Valeri? Bukankah tidak mungkin membatalkan semua itu, karena hubungan keluarganya dan keluarga Etrama bisa hancur. Devan mengacak rambutnya frustasi, hatinya merasa tercabik, apalagi ketika mengingat bagaimana sorot mata Crisysian tadi yang berubah begitu kelam. Bagaimana ia akan meminta maaf?
***
Crisy mematung di taman kali Ciliwung. Ada rasa sakit dan sesak yang terus menghimpit dadanya. Rasanya saat ini ia ingin membenamkan dirinya di arus sungai yang mengalir deras. Hidup tak pernah sekalipun berpihak padanya. Itu sangat menyakitkan. Setelah Kenzo sekarang Devan, kisah cintanya tak pernah berakhir manis.
Sesaat ia melangkah, tersenyum getir saat menyaksikan beberapa pasangan yang sedang memadu kasih di bawah lampu taman. Setitik air mata tanpa sadar jatuh membasahi pipinya.
"Crisy."
Gadis itu menoleh ke sumber suara yang memanggil namanya. "Rio, apa yang lo lakuin di sini?"
"Gue? Tentu saja jadi satpam lo, Cris. Lo pikir setelah apa yang terjadi di kantor gue bakal bisa bekerja dengan tenang. Gue juga bakal berhenti dari sana."
Crisy terkekeh. "Lo sahabat yang baik, tapi gue nggak butuh solidaritas lo itu. Lagian sebentar lagi lo bakal ngelamar Aulia, 'kan? Jadi apa yang bakal lo kasi ke dia kalau lo kehilangan pekerjaan."
"Perusahaan di Jakarta bukan hanya travel J aja, Crisy, masih banyak yang mau nampung gue, so lo tenang saja."
"Tapi tak ada yang semanusiawi travel J dalam memperlakukan karyawannya."
Diam-diam Rio mengiyakan ucapan Crisy dalam hatinya. Travel J memang sangat memerhatikan kesejahteraan karyawannya. Itulah kenapa baik Crisy maupun Devan sangat betah bekerja di sana.
"Kenapa diam? Lo nggak punya jawaban, 'kan?" Berdua mereka mendudukkan dirinya di salah satu kursi taman. Memandangi rembulan yang bersembunyi di balik awan.
"Sudah jangan bicarakan itu lagi, sekarang katakan apa rencana lo?"
"Gue bakal pergi ke Hongkong. Lo bantu gue cari orang yang mau beli rumah sama mobil gue. Gue bakal cari ibu di Hongkong."
"Tapi kenapa musti jual rumah sama mobil? lo nggak akan balik?"
"Mungkin nggak. Siapa tahu gue bisa dapat kerjaan dan jodoh di sana. Lumayan bisa melupakan sakit hati karena orang-orang menyebalkan itu."
Rio menunduk sesaat, lalu merangkul bahu sahabatnya. "Apa pun itu, asal lo bahagia, gua pasti akan bantu."