Part 19

1547 Kata
    Sekali lagi Devan mematung di depan rumah Crisy. Memandang gamang pada rumah yang tampak temaram dari tempatnya berdiri. Lampu-lampu di halaman depan bahkan tak menyala. “Sepertinya kamu lupa lagi menyalakan lampu itu, Cris,” gumam Devan lemah.     Sudah satu minggu berlalu sejak terakhir ia menemani Crisy ketika gadis itu tengah sakit. Devan tak yakin jika Crisy tahu ia-lah yang merawatnya waktu itu. Tetapi, itu justru jauh lebih baik menurut Devandra. Ia ingin Crisy melupakannya. Jadi biarlah kebencian di hati Crisy menjadi dinding tebal yang akan membuatnya melupakan Devan dengan mudah. Berbeda dengan harapannya untuk Crisy, Devan justru melakukan hal yang sebaliknya. Ia tak ingin melupakan gadis itu walau hanya sedetik pun. Itulah kenapa setiap hari ia akan datang ke rumah itu dan berdiri di sana tanpa diketahui oleh si pemilik rumah.     Devan menyadari hatinya telah sepenuhnya berpindah pada mantan kekasihnya itu. Apa yang dilakukan papanya waktu itu sungguh membuat dilema. Devan tahu, suatu saat mungkin ia bisa kembali menumbuhkan cintanya untuk Valeri. Namun, itu tak akan mudah dan hasilnya pun tak akan pernah sama lagi. Kehadiran Crisy yang singkat, ternyata mampu menggeser Valeri hingga titik terdalam keberadaan gadis itu di hatinya. Jika dulu jantung Devan berdetak untuk Valeri, sekarang jantung itu hanya berdebar untuk Crisysian Valenci. Ya, ketika berhadapan dengan Valeri, ia tak lagi merasakan getaran seperti dulu. Fakta itu menyadarkan Devan bahwa hati dan cintanya untuk Valeri memang sudah berakhir.     Hingga beberapa jam lamanya Devan berdiri di tempat itu, di bawah pohon rindang yang tumbuh di luar pagar rumah Crisy. Mobilnya berhenti di sana dan ia akan selalu berdiri bersandar di badan mobil sampai kedua kakinya terasa kebas. Tak jarang bahkan sampai tengah malam. Setelah itu barulah ia akan pulang dengan rasa sakit yang semakin mengacaukan hidupnya. Sejak Crisy mengundurkan diri dari kantornya, Devan tak seramah dulu lagi. Suasana kantor pun jadi begitu tegang, dengan wajah Devan yang selalu hadir dengan ekspresi datar tanpa senyuman.     Seringkali ia datang ke ruangan Crisy dan duduk di sana selama berjam-jam. Ruangan itu dibiarkan kosong, meski sudah ada pegawai baru yang menggantikan posisi Crisysian. Devan tak peduli jika semua karyawan berguncing mengenai sikapnya yang terlalu mendramatisir keadaan. Devan hanya ingin semua kenangan Crisy tetap terjaga utuh, setidaknya sampai ia siap melepaskan gadis itu sepenuhnya. Hari ini tepat dua minggu Devan mendatangi rumah itu. Devan turun dari mobil dan membuka gerbangnya agar ia bisa masuk dan memarkir mobil di halaman rumah. Segera ia turun setelah mobilnya terparkir rapi pada tempatnya. Pemuda itu melangkah pelan dengan membawa kunci rumah itu.     Devan menyentuhkan tangannya di pintu kayu yang jadi pintu utama rumah sederhana itu. Setitik air mata jatuh membasahi pipi Devandra. Ia sangat, sangat merindukan Crisy. Perlahan Devan pun memutar kunci dan membuka pintu itu. Suasana gelap langsung menyapanya. “Cris,” panggil Devan pada ruangan kosong dan kegelapan yang menyambutnya. Rumah itu sudah berpindah tangan setelah ia membelinya dua hari lalu. Crisysian pun tak ada lagi di sana. Seperti yang ia tahu Crisy sudah berangkat ke Hongkong kemarin. Bukannya menyalakan lampu, Devan malah melorot jatuh terduduk bersandar di balik pintu. Menangis tersedu, ia tak lagi menutupi luka-luka di hatinya. Mengabaikan jiwa laki-lakinya, Devan terus menangis sambil berulang kali menyebut nama Crisy.     “Aku sangat merindukanmu, Cris, kembalilah ... kumohon ...,” ratapnya, “bagaimana caraku melewati hidup tanpa kamu di sisiku, Cris. Aku tahu aku salah, tapi haruskah kamu pergi sejauh itu? Aku sangat merindukanmu.” Devan terus menangis hingga matanya terasa bengkak dan sembab. Ia pun bangkit, berderap pelan menuju kamar Crisysian. Aroma vanila kesukaan Crisy masih membekas di kamar itu. Devan menghirup dalam, membayangkan jika Crisy sekarang sedang ada di kamar yang sama. Setidaknya ia berharap agar aroma vanila itu bisa sedikit mengobati rindunya.     Devan pun merebahkan dirinya di atas ranjang Crisy, menarik napas dalam-dalam menghirup seluruh aroma Crisy yang tertinggal, meskipun itu sangat samar. Jika saja Crisy tahu, sejak mereka berpisah, Devan tak pernah lagi bisa tidur nyenyak. Kepalanya sering sakit karena terlalu memikirkan gadis itu. Ia bahkan sering bolos kerja karena beberapa hari tak bisa memejamkan mata. Sekarang kamar itu adalah satu-satunya harapan Devan untuk bisa sejenak terlelap. Devan membayangkan Crisy mendampinginya, memeluk dengan hangat hingga ia bisa terlelap dan tidur nyenyak setidaknya hanya untuk hari ini saja. ***     Devan kembali membuka pintu rumah sederhana itu untuk kesekian kalinya. Sudah sebulan berlalu dan Devandra masih betah untuk tetap tinggal di sana. Mengawali seluruh harinya dengan menyapa foto crisy yang di cetak dengan ukuran 20R yang terpasang di dinding kamar gadis itu. Foto itu memang sengaja dibuat oleh Devan sendiri, diambil dari memori ponselnya yang banyak menyimpan kenangan tentang kebersamaan mereka. Valeri yang tak mempermasalahkan sikapnya itu membuat Devan bisa berulah dengan tindakannya yang sejatinya melukai hati Valeri.     Jika saja ia bisa bersikap tegas dan menolak semuanya, maka sekarang Devan tak akan menyakiti dua hati secara bersamaan. Ia sungguh laki-laki yang begitu egois. Setelah terjebak dalam kebingungan cukup lama, kali ini Devan pun memutuskan untuk mengakhiri segalanya. Ia akan berbicara dengan kedua orang tuanya untuk membahas masalah hati yang terus-menerus menyakitinya. Devan memutuskan untuk mengejar Crisy ke Hongkong dan melepaskan Valeri. Ia ingin mencoba sekali lagi untuk medapatkan hati kekasihnya yang telah hilang.     Berbekal keteguhan hati yang baru ia dapat setelah sebulan berlalu, akhirnya Devan pun memacu kendaraannya ke rumah utama. Kebetulan juga kedua orang tua Valeri sedang ada di sana. Mereka baru saja datang dari Amsterdam. Sementara kedua orang tua Devan memang sudah ada di Jakarta sejak seminggu lalu. Devandra melajukan kendaraannya dengan kecepatan standar, melewati jalan Tamrin, ia berbelok di tikungan depan. Hatinya terlalu bahagia membayangkan bahwa orang tuanya pasti akan mengizinkan pembatalan pertunangan itu, hingga ia bisa kembali pada Crisy.     Sayangnya semua kondisi itu membuat Devan malah lengah, hingga Devan tak menyadari di depannya ada mobil yang mengarah padanya dengan kecepatan tinggi. Tepat setelah tikungan tadi, mobil Devan pun tertabrak disusul bunyi decitan dan hantaman yang sangat keras. Mobil Devandra terguling beberapa kali. Ia terjepit di dalam mobilnya dengan kepala bersimbah darah. Bayangan Crisy terlintas di benaknya. Senyum gadis itu yang berubah dengan deraian air mata membuat hati Devandra teriris-iris, sakit.     “Cris, mungkin ini adalah akhir hidupku, aku tak akan mengeluh karena aku sudah pernah bahagia bersama cintamu, tapi yang akan selamanya kusesali adalah, aku yang tak bisa membuatmu tetap tersenyum. Cris, jika reinkarnasi itu ada, di kehidupan lain nanti bolehkah aku meminta agar kau menjadi pasangan hidupku sekali lagi dan untuk selamanya?”     Pandangan Devan mengabur, juga pendengarannya. Bau anyir darah menyeruak semakin dalam menusuk indra penciumannya. Devan tersenyum sebelum memejamkan mata. Sebelum semuanya gelap, Devan masih mampu menggerakan bibirnya dengan gemetar menahan sakit. “Cris, aku sa‒ngat men‒cintaimu ... ma‒af  karena … aku sudah membuat‒mu menangis ....” Devan pun terkulai dengan napasnya yang berhembus pelan dan semakin melemah. ***     Kepanikan terjadi di jalanan itu. Beberapa orang mulai berkerumun mencoba membantu Devandra, mobil salah satu orang yang ada di sana pun digunakan untuk mengangkut Devan ke rumah sakit. Tubuh Devandra yang melemah langsung di tangani di ruang ICU.     Segera pihak rumah sakit menghubungi keluarga Devandra. "Kenapa bisa begini?" tangis sang ibu meratapi kemalangan anaknya. "Aku sudah bepikir semuanya pasti akan berakhir seperti ini. Aku melihat keraguan dan kebingungan itu setiap hari di matanya. Ia telah kehilangan arah sejak kau mengumumkan pertunangan itu."     "Apa maksudmu?" tanya suaminya bingung.     "Kau telah salah mengumumkan pertunangannya. Ia mencintai orang lain, bukan mencintai Valeri," tutur wanita itu menjelaskan. Air matanya berlinang menyaksikan lampu ruang operasi yang menyala merah. Hatinya benar-benar hancur.     "Apa maksumu?" tanya suaminya. "Bukankah selama ini anak kita mencintai Valeri, dan setelah pertunangan itu diumumkan dia terlihat baik-baik saja."     "Itu ... itu karena Devan tak ingin menghancurkan ikatan persahabatanmu dengan keluarga Atrama. Padahal aku tahu ia tak memiliki perasaan apa pun lagi pada Valeri."     "Lalu siapa orangnya, Bu, katakan padaku," tanya sang suami dengan raut kebingungan dan rasa bersalah yang semakin mendera.     "Ia, Crisy, namanya Crisysian Valenci, gadis itu kini telah menghilang dan pergi meninggalkan Indonsia, itu pasti sangat melukai hati Devan. Semua kesalahpahaman ini telah mengorbankan hati putraku," isak sang ibu menangis dalam pelukan suaminya. Ayah Devan pun terdiam. Air mata mengalir membasahi pipinya. Rasa bersalah semakin menusuk dalam jiwanya.     "Jadi putraku mencintai gadis itu. Dia yang meluncurkan program ECV, 'kan? Putraku mencintainya dan aku menghancurkan cinta mereka berdua. Kenapa Devan diam saja. Harusnya dia mengatakannya dan aku akan mencakupkan tangan meminta maaf pada sahabatku atas kesalahpahaman ini. Sekarang apa yang harus kulakukan untuk mengembalikan keadaan ini. Inikah alasan anakku selalu diam dan menutup dirinya. Ayah apa aku ini yang tidak bisa melihat kesedihan putranya sendiri."     Rasa gundah dan khawatir kini menyelimuti keduanya. Sementara Devan sedang ditangani di dalam sana. Beberapa saat kemudian Valeri datang bersama keluarganya.     "Paman, bagaimana keadaan Devan, maaf aku baru tahu beritanya."     "Dia masih ada di dalam sana, dan tak ada yang tahu apa yang akan terjadi.     "Dev ...," lirih Valeri, mendekat ke arah pintu ruang operasi. Bulir-bulir bening air matanya sudah jatuh membasahi pipinya. Rasanya tak sanggup untuk membayangkan kekasihnya terkapar tak berdaya di dalam ruangan itu. Ingin sekali ia masuk ke dalam sana untuk menemani Devandra. Namun, jelas saja hal itu tak mungkin bisa dilakukannya.      Valeri mondar mandir di depan ruang operasi, sampai kemudian terdengar derit pintu itu perlahan terbuka. Valeri dan seluruh keluarga Devandra segera menemui dokter yang merawatnya.     "Bagaimana putraku, Dok?"     Dokter itu memasang wajah sendu, ia mendesah pelan. "Kami sudah berusaha melakukan apa yang bisa kami lakukan untuk menyelamatkannya, tapi Devandra dia ...."       
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN