Crisy terduduk diam dalam mobil, membiarkan air matanya mengalir membasahi pipi. Sejak saat itu, Crisy memang tak pernah menunjukkan tangisannya pada siapa pun. Termasuk Carlos—kakaknya. Hidup seakan tak pernah adil padanya, tapi ia enggan untuk mengeluh. Tegar dan bersikap tenang adalah pilihan yang ia jalani, meski harus menjadi wanita yang sedikit angkuh itu pun tak masalah, sebab dengan demikian semua akan terlihat baik-baik saja.
Sejenak bayangan Kenzo hadir dalam ingatannya. Crisy tersenyum tipis, malam itu, masih bisa ia ingat dengan jelas bagaimana dirinya seakan dibunuh dengan keji ketika menyaksikan Kenzo bertelanjang d**a membuka pintu kamar hotel, sementara seorang wanita tanpa busana menunggunya di atas ranjang. Rasa sakit kembali menyayat hati Crisysian, bayangan indah bersama Devan berkelebat muncul ke permukaan. Kembali ia tersenyum getir. “Cih, ternyata hanya sebatas itu, keberadaanku hanya sebatas cameo yang sekedar lewat,” desisnya kecewa.
Crisy menghapus air matanya, kembali melajukan kendaraannya pulang. Hari ini diputuskannya untuk menghabiskan waktu di rumah sedirian seperti hari-hari sebelumnya. Ia akan buktikan bahwa sekali lagi, seorang Crisy akan dapat bertahan pada masalah apa pun. Hari semakin gelap, sejak tadi Crisy memutuskan untuk tiduran di kamarnya tanpa melakukan apa pun. Ponselnya dibiarkan mati agar tak ada yang mengganggungnya, tidak juga Rio dan Aulia.
Sedikit malas Crisy yang merasa lapar bangkit dari tempat tidurnya. Mungkin dengan memakan banyak camilan ia akan bisa sedikit melupakan masalahnya dengan Devan, maka Crisysian pun berniat mengambil stock makanannya di dapur. Ia membuka pintu kamar, ketika langkahnya terpaku di ujung atas tangga. Dadanya serasa diremas-remas ketika senyum Devan menyambutnya di bawah sana. Pria itu mengulurkan tangan, memakai tuxsedo hitam menunggu kedatangannya. Seketika Crisy melunglai duduk di depan pintu sambil menangis. Kenangan candle light dinner itu menguasai pikirannya hingga ia merasa sesak napas. Crisy tersedu dengan hatinya yang seolah tersayat. Begitu sakit dan menyesakkan.
“Kenapa kamu begitu tega, Dev? Apa salahku sampai kamu tega melakukan ini?” lirihnya.
Gadis itu meringkuk bersandar di depan pintu kamar. Tekanan yang diberikan Devan jauh lebih menghancurkan hatinya melebihi dari apa yang dilakukan Kenzo. Setidaknya Kenzo tak menjadikannya boneka untuk dimanfaatkan kemudian dibuang setelah tak berguna. Rasanya masih tak bisa dipercaya, Devan menghancurkan hidup dan kepercayaannya akan cinta sampai sebegitu dalam. Perlahan Crisysian bangkit, tubuhnya gemetar tak bertenaga. Seluruh kenangan indah Devan beberapa hari lalu memenuhi relung hatinya, membuatnya tak mampu untuk melangkah. Crisy terseok bahkan hampir saja jatuh terguling dari atas tangga kalau saja tangannya tak menyandar pada pinggiran tangga.
“Devan ...,” rintih gadis itu pelan, kemudian jatuh tersungkur di atas sofa. “Kenapa aku begitu mudah terjebak dalam permainanmu, Dev? Kau b******n, Dev.”
Crisy mengabaikan rasa laparnya dan memilih tidur di sofa itu. “Dev ...,” lirihnya memejamkan mata sembari terus menangis dengan isakan samar yang menyayat hati. Sementara di depan pintu gerbang rumah, sesosok pemuda menatap penuh penyesalan ke arah bangunan yang gelap gulita itu. Sejenak ia terdiam dengan tangan mengepal erat memegang kunci cadangan yang ia dapat dari Rio.
Ya, malam di mana Devan merencanakan candle light dinner itu, Rio-lah yang mengambil peran penting di dalamnya. Devandra meyakinkan Rio, bahwa ia benar-benar mencintai Crisy dan ingin membahagiakannya. Devandra berhasil mendapatkan kepercayaan Rio—sahabat Crisysian, karena itulah kunci rumah itu bisa ia dapatkan. Lelah mematung di depan gerbang dengan rasa bersalah yang terus menerus menekan dadanya, Devan pun memutuskan untuk membuka gerbang dan masuk ke dalam rumah. Hal pertama yang ia dengar ketika membuka pintu utama adalah suara isakan Crisysian yang mengiba dan frustasi. Devandra mematung, meremat dadanya yang begitu sakit.
Kegelapan menyambut netranya, sementara suara tangisan Crisy menghantam indranya, membuat Devan tergugu tanpa tenaga. Pria itu berdiri selama hampir berjam-jam sebelum akhirnya melangkah mendekati Crisysian dengan tubuh gemetar. Suara tangis Crisysian terhenti, berganti dengan suara gemeretak dan mengigau, Devan jadi semakin khawatir. Tanpa menyalakan lampu, Devan mendekati sofa tempat ia dan Crisy tertidur berdua untuk pertama kali dan juga mungkin terakhir kalinya. Samar masih bisa Devan lihat bagaimana tubuh Crisy mengigil kedinginan. Sedikit ragu, ia mencoba memberanikan diri menyentuh dahi gadis itu. Betapa terkejutnya Devandra saat merasakan suhu Crisy yang di atas rata-rata, gadis itu demam tinggi.
“I ... bu ... bawa aku, Bu ...,” lirih Crisysian lemah.
Devandra membeku, tetes air mata tanpa ia sadari jatuh membasahi pipi. Seperti inikah ia telah melukai hati seorang Crisysian yang begitu tegar dan ceria.
“Ibu ...,” batinnya. Di mana ibu Crisysian dan seluruh keluarganya ia bahkan tak mengetahuinya. Devan tak pernah bertanya pada Rio, karena ingin mendengar seluruh cerita itu dari Crisysian.
“Percayalah padaku, Cris.” Kata-kata yang pernah ia ucapkan pada gadis itu menggema di pikirannya. Ini semakin sulit bagi Devan untuk bisa berpikir dengan tenang, hatinya semakin sakit dan teriris. Setelah beberapa saat, Devan pun mengambil keputusan untuk mengangkat Crisysian, membawa gadis itu menuju kamarnya. Suhu tubuh Crisy menyapa Devandra. “Panas sekali,” gumam Devandra sambil melangkah menaiki tangga sementara Crisy sama sekali tak menyadari apa yang terjadi padanya. Demamnya yang tinggi membuat Crisysian linglung.
Tetap bertahan di rumah itu semalaman, Devandra pun berusaha merawat Crisysian sebaik mungkin. Mengompres keningnya bahkan juga sempat membelikannya obat penurun panas dan membantu Crisysian meminumnya. Hingga hampir jam lima pagi Devandra ada di sana, masih setia menemani gadis itu. Crisysian tertidur dengan nyaman tanpa menyadari keberadaan Devan di samping tempat tidurnya. Demam Crisy sudah menurun, Devan pun memindahkan bobotnya untuk duduk di sebelah Crisy. Mengusap lembut surai wanita itu mengungkapkan rasa sayangnya.
“Maafkan aku, Cris.” Devan menarik napas pelan. “Entah sekarang kamu bisa mendengar ucapanku atau tidak, aku akan tetap mengatakan hal ini padamu,” lirih Devan pelan dengan mata berkaca-kaca. “Aku tahu kamu terluka, asal kamu tahu aku juga merasakan luka yang sama, Cris. Tapi ... malam itu, aku nggak bisa menolak pertunangan itu karena ... aku nggak mungkin mempermalukan papa dan Om Etrama. Beliau mengira aku masih mencintai Valeri karena itu papa mengambil langkah yang keliru.”
“Jika aku ceritakan semua, mungkin papa akan meminta maaf dan membatalkan pertunangan ini, tapi ... aku belum bisa membayangkan dampak yang akan dialami oleh Valeri dan dua keluarga kami. Aku butuh waktu Cris, aku bingung. Kamu benar jika menganggapku b******k dan b******n, tapi ketahuilah satu hal Crisysian aku sangat mencintaimu. Awalnya kuakui aku hanya ingin memanfaatkanmu, tapi ternyata dalam sekejap kamu berhasil manguasai hatiku. Meski aku bersama Valeri, tapi kaulah pemilik hati ini sepenuhnya.”
Devan menurunkan wajahnya mengikis jarak di antara mereka sebelum kembali berbisik. “Tetaplah bahagia, Sayang. Selamat tinggal.” Devan mempertemukan bibirnya dengan bibir Crisy, melumat lembut menunjukkan betapa ia masih sangat menyayangi gadis itu. Devan meninggalkan rumah itu dengan lesu, hatinya tertahan di sana, sementara tubuhnya bergerak menjauh. Titik air mata pun kembali jatuh membasahi pipi. Setidaknya ia sudah mencoba menceritakan alasan tindakan yang dia ambil. Selanjutnya, Devan hanya bisa berharap agar Crisy bisa segera bangkit dan melupakannya. Mungkin bersama Raiza, Devan akan ikhlas dan selalu berdoa untuk kebahagiaan Crisy.
***
Clary mengerjapkan matanya pelan. Kepalanya masih terasa pening meski suhu tubuhnya sudah sedikit menurun. "Ah, kenapa sampai sakit begini," gerutunya. Pelahan ia bangkit dan menyandarkan dirinya di sandaran ranjang. Sesaat ia memijit kepalanya. Barulah kemudian memandang ke sekitar kamarnya.
"Perasaan semalam aku tidur di sofa. Siapa yang membawaku kemari? Apa Rio?" gumamnya pelan. Crisy pun memutuskan untuk bangkit, melangkah menuju kamar mandi untuk membersihakn diri. Crisy menyalakan keran air memenuhi bathtub dengan air hangat. Barulah setelah itu ia membenamkan dirinya di sana.
Rasa segar pun menyapa dirinya setelah memandikan dirinya. Tak lama, tetapi itu sudah cukup untuk menghilangkan lengket di tubuhnya. "Ah, aku jadi lapar," gumamnya pelan.
Crisy pun memutuskan untuk turun membuat bubur untuk dirinya sendiri, ketika langkahnya terhenti saat melihat brosur perjalanan wisata ke Hongkong. "Hongkong." Ia mengambil brosur itu. "Apa aku akan menemukan ibu di sana? Bagaimana jika aku tak menemukannya?"
Sesaat Clary membaca brosur itu lalu meletakkannya kembali saat rasa lapar kembali menyerang. Crisy pun membuat buburnya di dapur. Tanpa sadar tetes air mata kembali menaypa pipinya saat mengingat beberapa hari lalu Devan pernah memasak sarapan untuknya di dapur yang sama.
"Kau benar-benar mengukuhkan asumsiku kalau semua laki-laki itu jahat, Dev. Padahal aku sudah sangat memercayaimu."
Crisy masih terus mengaduk buburnya. Membiarkan seluruh rasa sakitnya keluar dari dalam hati menjadi linangan air mata yang terus mengalir tanpa henti. Tak berapa lama bubur itu pun telah matang. Crisy kehilangan nafsu makannya dan hanya memandangi buburnya yang mengepulkan asap. Tepat pada saat itulah Rio meneleponnya.
"Crisy, lo serius mau jual rumah, lo, 'kan?"
"Iya, lo bawel banget, sih," ucap Crisy. Ia mengambil sesendok bubur dan meniupnya pelan menghalau panas yang bisa saja menyapa lidahnya. Akhirnya sambil mendengarkan suara Rio diseberang sana, Crisy pun menghabiskan buburnya. Rio memang selalu mampu menjadi teman pelipur laranya. Mungkin selama ini hanya Rio lelaki yang baik menurutnya.
Sesaat Crisy memandang ke sekeliling rumahny. "Sebenarnya aku nggak relah kehilangan seluruh kenangan di sini. Tapi, terpaksa semua harus kulepaskan. Selamat tinggal semua kenanganku."