Crisy turun dari dalam taksi online yang mengantarnya ke kantor pagi ini. Tadi Devan sempat menghubunginya, meminta maaf tak bisa menjemput, karena ada hal penting yang mendadak harus ia kerjakan. Meskipun Crisy gadis yang sedikit sarkas, ceplas-ceplos dan hampir terlihat tanpa etika, tetapi ia tipe gadis yang cukup pengertian. Apalagi mengenai kesibukan Devan. Asalkan alasan sibuknya sampai membatalkan janji itu masuk akal. Merasa ada banyak laporan yang diminta Bu Farah yang harus ia siapkan, maka hari ini ia datang lebih awal. Crisy bergegas masuk melewati lobi menuju lantai lima belas menggunakan lift.
Sampai di lantai tujuan, sekilas Crisy melirik ke arah ruangan Devan. Ada sesuatu yang menggelitik hatinya untuk mendatangi tempat itu. Ia melihat sekeliling, masih sepi. Hanya beberapa staff yang terlihat sudah datang lebih awal. Mereka saling menyapa dengan ramah sebelum meninggalkan Crisy menuju mejanya masing-masing. Kantor Travel J yang ada di salah satu gedung bertingkat di pusat kota Jakarta sejatinya hanya untuk para manajemen kantor.
Di sini semua laporan dari branch office dikumpulkan sebelum dilaporkan ke atasan pada meeting bulanan yang dilakukan setiap awal bulan. Namun, kendati demikian tak jarang karyawan dari branch office juga datang wara-wiri berurusan dengan kepala cabang masing-masing. Sementara Crisy di sini menjabat sebagai asistan Bu Farah yang mengepalai bidang perjalanan wisata mancanegara. Namun sekarang, karena programnya yang terpilih, maka Crisy sedang dalam pengawasan Devan dalam test kelayakan menjadi assisten direktur menggantikan Raiza.
Raiza akan kembali ke Australia setelah semua urusan program baru yang akan lounching selesai. Atau, bisa dibilang setelah lounching produk berjalan lancar sesuai harapan mereka. Raiza mengepalai Travel J cabang Melbourne. Ia juga sekaligus pemegang saham kedua tertinggi setelah Devan. Maklumlah Travel J di bentuk oleh dua pentolan keluarga Justin dan Etrama di masa lalu. Setelah para penadahulunya meninggal, perusahaan pun diwariskan secara turun temurun pada putra-putra mereka yang pantas mendapatkannya. Ada banyak seleksi yang dilakukan keluarga itu untuk menentukan siapa yang layak memimpin perusahaan selanjutnya.
Devan awalnya ada di Australia bersama dengan Raiza. Ia enggan meninggalkan tempat itu karena ada seseorang yang dicintainya ada di sana. Ya, Valeri. Gadis itu cinta pertama Devan yang mungkin tak akan tergantikan oleh siapa pun. Namun, sayangnya Valeri hanya menganggapnya sebagai kakak, seperti cerita Raiza waktu itu. Maka jadilah hubungan mereka berakhir seperti itu, saling menyayangi dalam konteks yang sedikit ambigu. Valeri menolak Devan, tetapi juga tidak pernah melepaskannya dengan ikhlas. Setelah Devan mendapat nasehat dari kakak pertamanya tentang hubungan mereka yang semu, akhirnya Devan pun memutuskan untuk terbang ke Indonesia. Mungkin, ia memang harus menghindar.
Namun, nyatanya semua sama saja. Ketika Valeri kembali seluruh kehidupan Devan kembali ke satu titik yang sama. Ia tak pernah bisa menolak apa pun yang diminta Valeri. Termasuk permintaannya yang sekarang. Crisy terdiam mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka, hatinya merasa tersayat melihat pemandangan di depannya. Jadi urusan penting yang Devan bilang hingga tak menjemput, rupanya ini.
Merasa cukup menyaksikan pemandangan menyakitkan di depannya, Crisy pun melangkah menjauh menuju ruangannya sendiri. Tanpa ia sadari seseorang memerhatikannya sejak tadi. Seperti biasa Crisy meletakkan tas di laci meja, ketika ponselnya bergetar dari dalam tas itu. Crisy mengambil dan memperhatikan nomer yang tertera di sana. Rupanya itu dari Devan, pria itu menelponnya.
“Selamat pagi, Pak,” sahut Crisy sesaat setelah menggeser tombol hijau pada layar.
Terdengar Devandra terkekeh ketika Crisy menyapanya dengan bahasa yang begitu formal. Devan menanyakan posisi Crisy saat ini, rupanya pria itu masih didera rasa bersalah karena tak menjemputnya. Crisy tersenyum kecut, apa yang bisa ia pikirkan sekarang? Tiba-tiba saja ia merasa seperti wanita selingkuhan. Ketika Devan tengah saling menyuapi dengan Valeri, Devandra seolah tak melupakan selingkuhannya, hingga ia menghubungi Crisy.
Gadis itu menelan ludah pahit, secara tak sadar menyentuh tombol merah, bahkan ketika Devan masih berbicara. Ia sudah tak berminat lagi. Entah apa yang di bicarakan Devan, sungguh ia tak mau mendengarnya lagi. Sesaat kemudian Crisy pun mulai sibuk di depan layar komputer, mengabaikan Devan yang mungkin saja marah dengan kelakuannya tadi. Tepat pada saat itulah seorang office boy datang sambil membawa sebucket bunga yang begitu besar. Crisy berdiri, berjalan mendekat untuk mengambil alih bunga itu. “Dari siapa?”
“Kata kurir, ia tak boleh memberitahukan pengirimnya, Bu Cris,” jawab si office boy sembari menyerahkan bucket bunga itu.
“Hmm ... begitu, ya.” Crisy menanggapinya. “Ya sudah, deh. Makasi, ya, Pak.”
Sang office boy pun mengangguk dan pamit pergi. Crisy masih mematung, memandang rangkaian bunga-bunga indah di tangannya. Ia tak menyadari seseorang telah masuk ke ruangan itu dan memeluknya dari belakang.
“Cantik sekali, hadiah dari siapa?” Suara halus dibarengi kecupan lembut di pipi menyapa Crisy membuatnya meremang dan seketika gugup.
“Dev, ini kantor, jangan nakal.”
“Apa peduliku, ini kantorku. Aku bisa melakukan apa saja.” Crisy mencibir, melepaskan diri dari pelukan Devan kemudian meletakkan bucket bunga itu di atas rak berkas.
“Termasuk saling menyuapi dengan gadis cantik bernama Valeri?” Devandra tertegun sejenak. Namun, kemudian mengulas senyum manis dan kembali menarik Crisy dalam pelukannya.
“Pantas saja ruangan ini bau gosong, rupanya ada yang hatinya terbakar.”
“Ck, apaan, sih.” Crisy menyiku perut Devan, sedangkan Devan pura-pura meringis kesakitan, tapi semakin mengeratkan pelukannya.
“Maafkan aku, Cris.” Suara Devan menyendu. “Apa pun yang kamu lihat tadi, abaikan saja. Semua itu palsu. Aku hanya nggak enak pada Valeri dan Raiza.”
“Termasuk jalan-jalan di taman mini kemarin? Ah, entahlah, Dev. Kamu terlalu banyak kebohongan aku mulai takut,” lirih Crisy.
Pada akhirnya ia tak tahan dengan semua yang dilihatnya. Hubungan mereka bahkan baru berjalan beberapa hari, tetapi lihatlah bagaimana Devan telah membuatnya begitu sakit dan kecewa. Pacaran dengan Devan, bukannya menjadi jawaban untuknya melupakan Kenzo, sekarang malah ia ingin kembali dengan pria itu. Sikap Devan yang labil seperti itu, membuatnya merasa bukan seperti pacar. Namun, seperti wanita ketiga di tengah-tengah Devandra dan Valeri.
“Dev, aku rasa sebaiknya kita ....” Crisy menggantungkan ucapannya. Kembali melepaskan tangan Devan yang melingkar di perutnya. “Status antara bos dan karyawan akan jauh lebih baik bagi kita, Dev. Jadi sebelum semua ini benar-benar semakin menyakitkan, aku rasa lebih baik akhiri semua sampai di sini saja.”
Devandra menatap nanar pada Crisy, hatinya tiba-tiba merasa sakit. Ini seperti ketika Valeri menolaknya dulu, tidak, mungkin juga lebih sakit dari pada itu. Ada rasa takut kehilangan yang menyusup masuk menyentil hati Devan. Ia ingin memeluk Crisy sekali lagi, mengatakan kalau Valeri tak memiliki ikatan apa pun dengannya. Namun, tindakannya berhenti seketika saat sebuah ketukan pintu terdengar dari luar.
“Masuk,” jawab Crisy tegas. Devandra pun terdiam di dekat meja berpura-pura memeriksa sebuah laporan yang tadi tergeletak di meja itu.
Wajah seorang pria muncul dari balik pintu tanpa melihat situasi ia langsung berbicara, “Cris, lo nggak sarapan? Mau sarapan bareng gue, nggak?”
“Crisysian akan sarapan dengan saya.” Ketika suara seorang pria terdengar barulah Rio menyadari ada orang lain di sana. Ia membuka pintu lebih lebar, sosok Devandra yang tengah memegang map pun tertangkap matanya. Pria tampan berstatus bos itu terlihat tak acuh dengan tetap menatap pada map di tangannya.
“Eh, ada Pak Devan. Selamat pagi, Pak. Maaf saya tidak tahu, Anda tadi tidak terlihat.”
“Hm,” jawab Devan angkuh tanpa menoleh, akhirnya Rio pun undur diri.
“Kamu dengar apa yang kukatakan tadi? Ayo bangun, Cris, kita sarapan sama-sama.” Devan meletakkan map kembali ke atas meja. Sementara Crisy masih bergeming dari tempatnya.
“Cris, udahan dong marahnya, Aku tahu aku salah dan aku minta maaf. Sekarang ayo kita makan, aku nggak mau kamu sakit.”
“Kamu 'kan sudah makan, Dev. Lagipula aku nggak lapar, sebaiknya kamu kembali keruanganmu. Nggak enak sama yang lain, aku juga harus bikin laporan untuk Bu Farah.”
Mendengar jawaban Crisy, Devan pun menghela napas pasrah. “Akan kubawakan sarapannya kemari,” ucap pria itu sebelum menghilang di balik pintu.
Crisy menghentikan gerakan jemarinya di atas keyboard. Sejenak menatap pada rangkaian bunga tulip bulb dan lily in the valley di depannya. Itu pasti dari Kenzo. Tanpa melihat kartu nama yang tertera di sana pun ia sudah bisa menebaknya.
“Ternyata semua sama saja,” gumamnya, “mungkin seharusnya aku tak terlena secepat ini.” Crisy mengalihkan pandangannya ke arah bingkai foto kecil di atas meja. Wajah mamanya yang tersenyum manis tercetak di sana.
Ia pun menghela napas. “Apa semua kisah cinta hanya akan berakhir seperti ini?” Kembali Crisy bergumam sambil meraih bingkai foto itu. “Tidak ayah, Kenzo bahkan Devandra juga sama saja. Haruskah wanita selalu disakiti?”