Seperti janjinya pada Valerie hari ini Devan pun mengajak gadis itu jalan-jalan. Ia menelepon ke kantor dan membatalkan semua janji temunya dengan beberapa klien hari ini. Berdua kini mereka mengitari kota Jakarta. Bahkan karena tak ingin diganggu oleh siapa pun Devan sampai harus mematikan ponselnya.
Kebahagiaan tergambar jelas di wajah keduanya. Benar seperti kata Raiza, sangat terlihat jelas bagaimana Devan memperlakukan Valerie dengan sangat spesial. Seperti layaknya cinta pertama yang sudah lama tak bertemu, Devan merasakan debar jantung yang tak biasa saat bersama dengan gadis itu. Sejenak ia pun lupa pada Crisy yang baru beberapa hari ini resmi menjadi kekasihnya.
"Dev, ambil foto dong," pinta Valerie dengan gayanya yang manja. Devan pun memenuhi keinginan gadis itu untuk mengambil foto-fotonya di depan rumarumah tradisional di Taman Mini Indonesia. Setelah bebrapa foto berhasil diabadikan, Valerie meminta Devan untuk membawanya naik ke kereta luncur untuk bisa menyaksikan seluruh keindahan Taman Mini dari udara.
Devan tak tahu kalau selama ia bersama dengan Valerie beberapa kali Crisy sudah mencoba menghubunginya. Namun, karena telepon itu terus memunclkan pemberitahuan telepon sedang dialihkan akhirnya Crisy pun menyerah dan mengabaikannya. Ia kembali fokus pada pekerjaannya.
Di atas kereta gantung, Devan dan Valerie melanjutkan moment kebersamaan mereka hingga lupa waktu. Devan baru ingat akan Crisy setelah malam tiba. Bergegas ia ingin mengakhiri acarnya hari ini dengan Valeri. Akan tetapi, ia mengurungkan niatnya saat Valeri memintanya untuk mengajak makan malam di sebuah restaurant.
"Dev, gadismu tak akan marah kan kita menghabiskan waktu berdua seperti ini?" tanya Valeri di sela-sela makan malamnya.
Devan menggeleng sembari memasukkan sejumput pasta ke mulutnya. "Tidak, dia gadis yang pengertian, jadi kau tak perlu khawatir."
"Oh, baguslah, karena aku akan sering-sering menculikmu. Bahkan mungkin juga merebutmu darinya."
Mendengar perkataan Valerie, Devan pun hanya tersenyum, entah apa arti senyumannya hanya dirinyalah yang tahu itu.
***
Perayaan grand opening untuk lounching produk baru ECV yang akan dikeluarkan oleh Travel J tinggal dua minggu lagi. Hal itu memaksa Crisy untuk berada di Blok M Plaza hingga malam tiba. Bu Farah dan Devan mempercayakan semua kontrol padanya. Karena program itu hasil pemikirannya, maka menurut Devan hanya Crisy yang mengerti apa yang pas dan apa yang diperlukan untuk acara pembukaan nanti. Crisy memang tidak bekerja sendiri, ada team yang membantunya. Namun, semua kontrol di bawah kendalinya. Setelah persiapan hari ini beres, Crisy melirik arloji di tangan. Waktu sudah menununjukkan pukul 11.03 malam.
“Rupanya sudah larut, pantas saja aku begitu lelah,” monolognya.
“Cris, pulang bareng gue, nggak?” Crisy menoleh ke belakang. Rio dan Aulia ada di sana.
“Nggak, kalian pulang aja. Gue bawa mobil,” sahut Crisy pada akhirnya. Melihat Aulia sampai datang menjemput, rasanya tidak enak bagi Crisy untuk mengganggu mereka.
“Serius, Cris. Lo nggak mau pulang bareng kita? Mobil lo titip aja, ambil besok. Atau kalau nggak gue teleponin adek biar ngambi mobil lo, gimana?” tawar Aulia.
“Nggak, usah.” Crisy melempar senyum. “Kasian adek lo, lagian gue nggak terlalu capek, masih bisa nyetir, kok.” Akhirnya, Aulia dan Rio pun meninggalkannya sendirian di sana. Sesaat kemudian Crisy memutuskan untuk pulang, ia membenahi posisi tas di bahu, membalik arah dan berjalan menuju pintu. Namun, baru dua langkah kakinya berhenti. Sebuah senyuman terbit di wajah cantik Crisy saat mendapati seorang pemuda mendekat padanya.
“Kenapa nggak bisa dihubungi, heum?” Pria tampan itu mengusap lembut pucuk kepala kekasihnya. “Aku pikir kamu sudah pulang, untung tadi sempat bicara pada Rio di telepon.”
“Ponselku mati, Dev. Dan, aku lupa bawa chargernya jadi, ya ... begitulah.” Devan pun tersenyum mendengar jawaban sang kekasih.
“Sampai malam begini, kamu pasti sangat lelah. Ayo biar kuantar pulang,” ajak Devan sembari menautkan jemarinya pada jemari Crisy. Crisy memandang pria itu dengan rona merah di wajah. Bagaimanapun ia belum terbiasa.
“Mobilku gimana?” tanya Crisy.
“Aku datang bareng supir, nanti biar dia yang bawa mobil kamu ke kantor, besok pagi kamu akan kujemput.” Crisy pun mengangguk mengerti.
Jantung Crisy berdetak cepat ketika bergandegan tangan dengan bos yang sekaligus pacar barunya. Jelas sekali Crisy terlihat begitu gugup. Sesekali Devan melirik sang kekasih. Melihat Crisy yang malu-malu membuat Devan tersenyum. Sejatinya apa yang dirasakan Crisy juga sedang memborbardir perasaan Devan. Ketika mereka melangkah menuju pintu, tanpa sengaja Crisy terpeleset hampir jatuh. Devan dengan sigap menangkapnya, Crisy pun menoleh hingga mata keduanya saling menyapa. Mendapati wajah Devan yang begitu dekat, jantung Crisy berdetak semakin kencang, Criys terpaksa membuang muka ke arah yang berlawanan berusaha menghindari tatapan cinta kekasihnya.
Devan tersenyum melihat tingkah sang kekasih. Ia mendekatkan bibirnya di telinga Crisy. “Kamu blushing, Beb,” bisiknya dengan suara rendah.
Crisy kembali menoleh, saling memandang untuk sesaat barulah menjauhkan diri. Merapikan penampilannya sejenak, ia mencoba merubah ekspresi. “An‒Anda duluan saja, Pak Dev,” ucap Crisy sedikit memundurkan langkah.
Devan memerhatikan tingkah kekasihnya, sungguh menggemaskan. Tanpa mendengarkan perkataan Crisy tadi, Devan pun melangkah mundur dan merangkul gadis itu untuk melangkah bersama. “Kamu kenapa jadi menggemaskan gini, sih. Aku jadi gregetan,” ucap Devan mencubit kedua pipi Crisy.
“Sakit, Dev,” protes Crisy mencebik. Devan pun terkekeh, kemudian mereka melangkah bersama saling berpelukan. Hanya butuh waktu dua puluh lima menit dari Blok M Plaza menuju rumah Crisy. Rumah itu tampak gelap. Crisy memandangnya dengan wajah menyendu tanpa ia sadari Devan meliriknya. Devan pun turun lebih dulu, lalu membuka pintu untuk sang kekasih.
“Rumahmu nggak ada orangnya, ya? Kok gelap.” Crisy tersenyum.
“Mungkin sudah pada tidur,” bohongnya.
Ini pertama kalinya Devan mampir ke rumah itu. Dilihatnya Crisy memasukkan tangan melalui celah kecil di gerbang rumah. Sedikit bertenaga menarik sesuatu hingga pintu terbuka. “Pulang, gih. Sudah malam nggak enak dilihat tetangga.” Crisy bersiap masuk, tapi tiba-tiba tubuhnya sudah menabrak Devan. Pria itu memeluknya erat.
“Crisy, aku nggak tahu apa yang kamu sembunyikan tentang keluargamu. Dan, aku juga nggak akan maksa kamu untuk cerita. Aku ngerti kalau kamu mungkin butuh waktu untuk terbuka sepenuhnya padaku, aku akan menunggu untuk itu. Namun satu hal yang harus selalu kamu ingat, aku ada di sini untuk mendukungmu.”
Crisy tertegun, sudah sangat lama ia tak pernah mendengar kata-kata seperti itu lagi. Matanya berkaca, tetapi kemudian ia tersenyum manis. Crisy mengurai pelukan Devan, satu tangannya mengelus lembut rahang tegas sang kekasih. “Terima kasih, kamu menyentuh hatiku, Dev. Suatu saat akan kuceritakan segalanya. Sekarang pulanglah ini sudah malam. Ibu-ibu kompleks sini garang-garang, ntar kamu digebukin.” Devan tersenyum, menurunkan wajahnya sesaat, ia mencium kening Crisy.
“Masuklah, aku tunggu sampai kamu masuk ke dalam rumah. Rumahmu gelap sekali, aku takut terjadi sesuatu.” Crisysian mengangguk, menjinjit kakinya kemudian mencium pipi kanan Devan. Pemuda itu pun tersenyum.
“Good night,” ucap Crisy baru melangkah masuk. Menyalakan seluruh lampu di rumahnya, Crisy berdiri di depan pintu utama sembari melambaikan tangan pada Devan yang mulai melajukan kendaraan menjauh dari sana.
Sejenak Crisy mematung, memandangi mobil Devan yang menghilang di tikungan. Ada sesuatu yang menggelitik hati Crisy sejak tadi, sejak Raiza menceritakan soal Valeri. Entahlah mungkin ia sedikit cemburu, karena sejak tadi Devan tidak mengangkat teleponnya. Maka Crisy pun memutuskan menonaktifkan ponselnya kemudian mengatakan kalau ponsel itu lowbat. Pikiran Crisy sibuk menerka apa saja yang dilakukan Devan dengan Valeri. Ditambah lagi tadi ketika menjemputnya, Devan menguarkan aroma parfum wanita. Sudah bisa Crisy tebak itu pasti milik Valeri.
Crisy sedikit curiga, bertanya dalam hati jika seandainya apa yang dikatakan Raiza itu benar, bagaimana ia harus mengambil sikap? Jika ternyata Devan hanya menjadikannya pelarian lalu bagaimana? Atau lebih buruk lagi, bagaimana jika Devan memanfaatkannya untuk memancing kecemburuan Valeri? Entahlah, kebingungan menghinggapi hati Crisy, rasanya semua itu tak mungkin mengingat bagaimana Devan bersikap tadi. Crisy mendongak menatap langit tanpa bintang, pertanda langit mendung. “Kenapa pula ada hujan di bulan Juni? Seperti judul film saja,” gumamnya.
“Apa kisah cintaku juga akan kembali mendung?” lanjut gadis itu bermonolog sambil mematung. Menghela napas pelan, Crisy pun masuk ke dalam rumah menuju kamar pribadinya.
Segera ia membersihkan diri di kamar mandi sebelum naik ke atas ranjang setelah mengenakan baju tidur. Crisy mengaktifkan ponselnya. Mengecek mungkin ada sesuatu yang penting yang ia lewatkan ketika mematikan ponsel tadi. Selain panggilan dari Devan ternyata tak ada yang lain lagi. Ia pun melihat notif pesan, ada beberapa dari Bu Farah yang mengatakan kalau atasannya itu meminta laporan pengiriman tamu ke China minggu lalu. Selain Bu Farah ada juga pesan dari Devan, mengabarkan kalau dia sudah sampai di rumah. Belum sempat menjawab Devan kembali mengiriminya pesan.
From Si Boss
Crisysian Valenci, tolong segera tidur dan jangan stalking sss-ku. Kamu harus istirahat yang cukup untuk kencan kita besok, aku nggak mau lihat mata panda.
“Kencan apaan, paling juga disuruh kencan sama tumpukan berkas, dasar bossy,” gumam Crisy sambil terkekeh. Kemudian mengetik pesan dengan cepat.
To Si Boss
Makasi perhatiannya, Mr. Bossy. Selamat bobo ... jangan lupa buka pintu mimpinya aku mau datang.
Balasan dari si bos pun datang dengan cepat membuat Crisy tersenyum manis.
From Si Boss
Tentu, Sayang. Datanglah, aku menunggu. Welcome to my dream world. Have nice sleep.
To Si Boss
You too, Dev. Good night, have nice dream.
Crisy mengetik balasan dengan cepat, barulah meletakkan ponsel itu di sebelahnya. Ia memejamkan mata, tetapi tiba-tiba Crisy kembali teringat sesuatu. “Ada apa dengan sss-nya?” monolognya. Berpikir sejenak, ia pun kembali mengambil ponsel untuk membuka akun sss. Seketika matanya membeliak tak percaya. Valeri menandai Devan dalam postingannya dengan caption yang menyentil hati Crisy. Ada rasa sakit sejenak mampir di hati gadis itu ketika memandang foto mereka berdua. Betapa mesranya sejoli itu.
“Cih,” desis Crisy. “Dasar wanita munafik.”
Crisy menutup ponselnya, mencoba menghapus bayang-bayang gambar Devan dan Valeri yang berpelukan di salah satu rumah daerah di taman mini. Rupanya mereka jalan-jalan sepanjang hari pantas saja Devan tak bisa dihubungi. Bolehkah sekarang Crisy merasa dikhianati?